Di
Balik “Bisnis” Lembaga Survei
Ismatillah A Nu’ad ;
Peneliti dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
|
SUARA
MEREDEKA, 10 April 2014
SEBERAPA jauh tingkat independensi sekian banyak lembaga survei
yang melakukan penghitungan secara cepat (quick
count) dalam Pileg 2014, yang baru saja kita lewati? Apakah benar-benar
independen, ataukah benar anggapan dan opini sebagian masyarakat selama ini,
yang menyebut lembaga survei hanyalah kepanjangan tangan kepentingan politik
penguasa.
Penting mencermati hal itu supaya proses demokrasi dalam
masyarakat tidak dinodai oleh kehadiran lembaga survei ”tukang”. Di satu sisi kehadiran lembaga survei relatif masih
terbilang baru dan perannya makin dibutuhkan oleh sebagian kalangan, tapi di
sisi lain hendaknya kepercayaan itu jangan dinodai oleh pegiat yang
berkinerja melenceng dari jalur.
Selama ini, eksistensi lembaga survei muncul ke permukaan dan
popularitasnya sangat dominan pada sebagian masyarakat. Survei ataupun jajak
pendapat (polling) yang mereka
lakukan, sangat memengaruhi opini publik. Banyak lembaga survei naik daun dan
diminati oleh tim sukses parpol dan caleg.
Tak kurang, tingkat popularitas lembaga survei juga dibarengi
kontroversi yang menyelimuti. Misal beberapa kalangan menganggap lembaga itu
tidak lagi netral dari politic of interest tim sukses guna memenangi sebuah
kontestasi.
Selain itu, kinerja lembaga survei dianggap hanya jadi the opinion makers, yang hendak
memengaruhi pemilih terhadap parpol atau calon legislatif tertentu. Tak ayal,
lembaga survei bukan malah menumbuhkan iklim sehat demokratisasi publik
melainkan menebar kebohongan publik lewat rilis hasil survei atau jajak
pendapat yang dibuatnya.
Di AS, negara yang disebut-sebut Bapak Demokrasi, kontroversi
lembaga survei juga muncul. Lembaga itu dianggap lebih tertarik pada
industrialisasi dan bisnis atau pembentukan opini publik dengan menarik
perhatian media massa, ketimbang mengungkap opini publik senyatanya.
Gallup Poll, salah satu lembaga survei besar di AS, malah
dianggap think thank pembentuk
opini publik lewat survei ataupun jajak pendapatnya. Lembaga itu ditengarai
berselingkuh dengan kekuasaan yang menginginkan ketercapaian kesuksesan
politik di negara Paman Sam. Lewat buku The
Opinion Makers: An Insider Exposes the Truth Behind the Polls David W
Moore mengupas kebobrokan lembaga survei itu.
Dia adalah mantan orang dalam tapi kemudian berbalik arah
menguliti lembaga survei paling kontroversial itu. Buku yang ditulisnya,
hampir mirip karya John Perkins, yakni Confession
of an Economic Hit Man (2005), yang mengungkapkan kesaksian mantan orang
dalam yang mencoba ”bertobat” lalu mendeskripsikan kebobrokan lembaga yang
semula menjadi tempat kerjanya.
Moore bekerja pada Gallup sejak Maret 1993 sampai April 2006.
Tahun 2008, The Opinion Makers
terbit kali pertama di AS, dan langsung mendapat respons dari pegiat
lembaga-lembaga survei di negara itu. Moore dianggap menjilat ludah sendiri
karena mengisahkan kinerjanya selama ini.
Bahan Perenungan
Kontroversi Gallup Poll
saat Moore masih bekerja adalah sewaktu Konvensi Partai Republik, dan waktu
itu Bush unggul 3 persen, lalu naik 7 persen setelah konvensi, kemudian
bertambah lagi 6 persen dalam 10 hari berikutnya, hingga akhirnya mengungguli
elektabilitas Senator John Kerry dari Partai Demokrat dengan 55 persen versus
42 persen.
Lembaga seperti Gallup
Poll sebenarnya bisa jadi bahan perenungan bagi pegiat lembaga survei di
Indonesia, supaya tetap bekerja profesional dan independen.
Di satu sisi masyarakat Indonesia makin membutuhkan lembaga
survei tapi di sisi lain kepercayaan itu hendaknya tidak disalahgunakan.
Bagaimanapun Indonesia belum lama mengawal demokrasi pemilu yang benar-benar
dilakukan secara langsung dan demokratis.
Kiranya, masa awal tersebut tak dinodai oleh lembaga survei,
yang bekerja tidak profesional tapi demi industrialisasi dan bisnis semata.
Hasil lembaga survei ditengarai bisa membingungkan masyarakat. Kondisi itu
membuat publik kurang memercayai hasil survei yang mereka nilai tidak lagi
independen. Terbukti, sejumlah lembaga survei berkesan ingin menggiring opini
publik ke arah kontestan tertentu.
Padahal hasil survei merupakan salah satu instrumen penting
dalam demokrasi, karena itulah sudah seharusnya tidak dicederai oleh perilaku
dan kinerja para pegiatnya. Bila kita merasakan impresinya, secara perlahan-lahan
masyarakat sudah mulai sadar dan berhati-hati terhadap lembaga survei. Mereka
tak serta-merta mau terpengaruh lagi dengan opini publik yang ditebar lembaga
survei.
Semoga realitas itu menjadi titik bahwa masyarakat benar-benar menjadi demokratis, dan lembaga survei akhirnya bekerja lebih professional dan
independen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar