Jumat, 11 April 2014

Di Balik “Bisnis” Lembaga Survei

Di Balik “Bisnis” Lembaga Survei

Ismatillah A Nu’ad  ;   Peneliti dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
SUARA MEREDEKA, 10 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
SEBERAPA jauh tingkat independensi sekian banyak lembaga survei yang melakukan penghitungan secara cepat (quick count) dalam Pileg 2014, yang baru saja kita lewati? Apakah benar-benar independen, ataukah benar anggapan dan opini sebagian masyarakat selama ini, yang menyebut lembaga survei hanyalah kepanjangan tangan kepentingan politik penguasa.

Penting mencermati hal itu supaya proses demokrasi dalam masyarakat tidak dinodai oleh kehadiran lembaga survei ”tukang”. Di satu sisi kehadiran lembaga survei relatif masih terbilang baru dan perannya makin dibutuhkan oleh sebagian kalangan, tapi di sisi lain hendaknya kepercayaan itu jangan dinodai oleh pegiat yang berkinerja melenceng dari jalur.

Selama ini, eksistensi lembaga survei muncul ke permukaan dan popularitasnya sangat dominan pada sebagian masyarakat. Survei ataupun jajak pendapat (polling) yang mereka lakukan, sangat memengaruhi opini publik. Banyak lembaga survei naik daun dan diminati oleh tim sukses parpol dan caleg.

Tak kurang, tingkat popularitas lembaga survei juga dibarengi kontroversi yang menyelimuti. Misal beberapa kalangan menganggap lembaga itu tidak lagi netral dari politic of interest tim sukses guna memenangi sebuah kontestasi.

Selain itu, kinerja lembaga survei dianggap hanya jadi the opinion makers, yang hendak memengaruhi pemilih terhadap parpol atau calon legislatif tertentu. Tak ayal, lembaga survei bukan malah menumbuhkan iklim sehat demokratisasi publik melainkan menebar kebohongan publik lewat rilis hasil survei atau jajak pendapat yang dibuatnya.

Di AS, negara yang disebut-sebut Bapak Demokrasi, kontroversi lembaga survei juga muncul. Lembaga itu dianggap lebih tertarik pada industrialisasi dan bisnis atau pembentukan opini publik dengan menarik perhatian media massa, ketimbang mengungkap opini publik senyatanya.

Gallup Poll, salah satu lembaga survei besar di AS, malah dianggap think thank pembentuk opini publik lewat survei ataupun jajak pendapatnya. Lembaga itu ditengarai berselingkuh dengan kekuasaan yang menginginkan ketercapaian kesuksesan politik di negara Paman Sam. Lewat buku The Opinion Makers: An Insider Exposes the Truth Behind the Polls David W Moore mengupas kebobrokan lembaga survei itu.

Dia adalah mantan orang dalam tapi kemudian berbalik arah menguliti lembaga survei paling kontroversial itu. Buku yang ditulisnya, hampir mirip karya John Perkins, yakni Confession of an Economic Hit Man (2005), yang mengungkapkan kesaksian mantan orang dalam yang mencoba ”bertobat” lalu mendeskripsikan kebobrokan lembaga yang semula menjadi tempat kerjanya.

Moore bekerja pada Gallup sejak Maret 1993 sampai April 2006. Tahun 2008, The Opinion Makers terbit kali pertama di AS, dan langsung mendapat respons dari pegiat lembaga-lembaga survei di negara itu. Moore dianggap menjilat ludah sendiri karena mengisahkan kinerjanya selama ini.

Bahan Perenungan

Kontroversi Gallup Poll saat Moore masih bekerja adalah sewaktu Konvensi Partai Republik, dan waktu itu Bush unggul 3 persen, lalu naik 7 persen setelah konvensi, kemudian bertambah lagi 6 persen dalam 10 hari berikutnya, hingga akhirnya mengungguli elektabilitas Senator John Kerry dari Partai Demokrat dengan 55 persen versus 42 persen.

Lembaga seperti Gallup Poll sebenarnya bisa jadi bahan perenungan bagi pegiat lembaga survei di Indonesia, supaya tetap bekerja profesional dan independen.

Di satu sisi masyarakat Indonesia makin membutuhkan lembaga survei tapi di sisi lain kepercayaan itu hendaknya tidak disalahgunakan. Bagaimanapun Indonesia belum lama mengawal demokrasi pemilu yang benar-benar dilakukan secara langsung dan demokratis.

Kiranya, masa awal tersebut tak dinodai oleh lembaga survei, yang bekerja tidak profesional tapi demi industrialisasi dan bisnis semata. Hasil lembaga survei ditengarai bisa membingungkan masyarakat. Kondisi itu membuat publik kurang memercayai hasil survei yang mereka nilai tidak lagi independen. Terbukti, sejumlah lembaga survei berkesan ingin menggiring opini publik ke arah kontestan tertentu.

Padahal hasil survei merupakan salah satu instrumen penting dalam demokrasi, karena itulah sudah seharusnya tidak dicederai oleh perilaku dan kinerja para pegiatnya. Bila kita merasakan impresinya, secara perlahan-lahan masyarakat sudah mulai sadar dan berhati-hati terhadap lembaga survei. Mereka tak serta-merta mau terpengaruh lagi dengan opini publik yang ditebar lembaga survei.

Semoga realitas itu menjadi titik bahwa masyarakat benar-benar menjadi demokratis, dan lembaga survei akhirnya bekerja lebih professional dan independen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar