Kamis, 17 April 2014

Jabatan Negara dan Jabatan Politik

Jabatan Negara dan Jabatan Politik

Miftah Thoha  ;   Guru Besar Ilmu Administrasi Publik UGM
KOMPAS, 17 April 2014

                                                                                         
                                                             
TIGA jabatan ini (jabatan karier birokrasi, jabatan negara, jabatan politik) di dalam sistem administrasi negara kita sejak era reformasi tidak pernah diklarifikasikan secara tuntas. Oleh karena itu, tata hubungan di antara ketiganya tidak jelas. Pemimpin partai politik yang dipilih rakyat atau ditunjuk oleh yang terpilih menjadi pejabat negara tak jelas seberapa jauh hubungannya dengan partai politiknya. Apalagi terkait seberapa jauh pula hubungannya dengan penggunaan fasilitas negara, termasuk anggaran dan pegawainya yang menyertai jabatan itu.

Dibiarkan mengambang

Formulasi tata hubungan ini sampai saat ini dibiarkan mengambang tanpa kejelasan. Bahkan, dicari alasan pembenarannya jika pejabat negara itu menggunakan fasilitas negara. Lebih-lebih jika jabatan negara itu dijabat oleh presiden (kepala negara/kepala pemerintahan) yang merangkap pimpinan partai politik yang sedang kampanye untuk partai yang dia pimpin.

Di zaman pemerintahan Orde Baru, hanya dikenal dua macam jabatan, yakni jabatan negara, pejabatnya disebut pejabat negara, dan jabatan karier birokrasi, pejabatnya disebut PNS atau pejabat eselon. Sebenarnya jabatan politik sudah ada dalam pemerintahan Orde Baru karena waktu itu sudah ada dua partai politik dan satu golongan. Namun, Presiden Soeharto tidak suka di dalam pemerintahannya dibantu partai politik dan yang membantu pemerintahannya adalah kekuatan politik yang disebut golongan kekaryaan (Golkar). Maka, semua jabatan politik yang diduduki Golongan Karya ini dinamakan pejabat negara. Jabatan rangkap seperti ini disamarkan sejak Orde Baru.

Di dalam literatur ilmu politik disebutkan, parpol merupakan suatu organisasi sosial yang distingtif yang tujuan utamanya adalah menempatkan calon-calon pemimpinnya pada jabatan pemerintahan. Syarat minimal dari suatu partai—dilihat dari aspek peranan politiknya—adalah merancang calon-calon pejabat dari partainya untuk menduduki jabatan di dalam pemerintahan dan yang kedua mendulang suara yang mendukungnya (Encyclopedia Americana, 1995).

Dari perspektif ini, kehadiran pejabat politik dalam tatanan administrasi pemerintahan tak bisa dihindari. Bahkan, menurut Guy Peters dan Jon Pierre, editor dari buku hasil penelitiannya pada akhir tahun 1999, Politicization of the Civil Service, beberapa dasawarsa terakhir ini sektor pemerintahan telah menjadi arena yang dikuasai politisi. Hal ini berarti bahwa para pejabat dan pegawai pemerintahan harus memberikan perhatian yang lebih besar sebagai pelayan-pelayan politik kepada jabatan-jabatan politik yang memimpinnya.

Setelah pejabat politik itu masuk dalam sistem birokrasi pemerintahan, di dalamnya sudah ada sistem yang mapan,  yang dikenal dengan jabatan-jabatan karier. Mereka (pejabat politik) membawa aspirasi politik berupa visi dan kemauan partainya.

Masuknya aspirasi politik melalui jabatan yang dipegang oleh orang partai dalam sistem pemerintahan demokrasi inilah yang seharusnya ditata sehingga melahirkan tata pemerintahan demokratis yang etis. Pejabat karier ini pejabat yang menjalankan kebijakan yang dibuat oleh pejabat politik tanpa harus diintervensi kepentingan politik dari pejabat politik tersebut.

Ihwal rangkap jabatan antara jabatan pimpinan parpol dan pejabat negara (pejabat politik) telah lama dikeluhkan. Rangkap jabatan dilihat dari perspektif apa pun—etika, manajemen, sosial, politik, ekonomi, apalagi tuntunan agama—kurang patut. Selain kurang patut dan etis, rangkap jabatan berpotensi untuk berbuat menyimpang ataupun berkecamuknya konflik kepentingan.

Penggunaan fasilitas negara tak mungkin bisa dihindarkan oleh pejabat tersebut, baik besar maupun kecil, disadari atau tidak, ketika ia beraktivitas. Seorang menteri yang merangkap jabatan pimpinan partai suatu hari meresmikan proyek pembangunan pemerintah di luar Jawa, sore hari membuka rapat kerja partainya, bisakah menteri tersebut membedakan tiket dan biaya perjalanan serta akomodasi yang dipergunakan yang dibiayai negara dan yang dibiayai partainya? Belum lagi jika itu pejabat negara yang dijabat oleh presiden yang merangkap ketua umum partai politik sedang kampanye untuk partainya.

Ini baru soal tiket yang biayanya sedikit. Bagaimana jika biayanya besar, seperti menggunakan pesawat yang disewa negara, dijaga keamanannya oleh pengawal kepresidenan, diiringi para ajudan, menggunakan hotel yang dibiayai negara, dan fasilitasnya besar? Bukankah ini saluran penyimpangan yang seharusnya disadari oleh pribadi pejabat negara tersebut.

Sistem dari suatu perbuatan yang tidak etis ini seharusnya sudah diperbaiki dalam reformasi birokrasi pemerintah sejak masa reformasi ini. Sebab, gejala ini sudah lama berlaku dalam riwayat birokrasi pemerintah kita: sejak Orde Lama, Orde Baru, dan masih terjadi sampai hari ini.

Sejak sistem demokrasi di era reformasi diterapkan, kita mulai mengenal jabatan dan pejabat politik. Sebutan jabatan dan pejabat negara memang bagus karena semua itu untuk kepentingan negara meski sejatinya ia juga pejabat politik. Di sinilah mulai kabur antara penggunaan fasilitas dan kekayaan negara dengan milik golongan politik yang memerintah.

Tampaknya kejadian semacam ini luput dari perhatian pemerintah sehingga rangkap jabatan itu sengaja dibiarkan berlarut-larut tanpa penataan hubungannya yang jelas. Banyaknya korupsi yang dilakukan oleh pejabat politik yang memerintah birokrasi—mulai dari menteri, gubernur, bupati/wali kota, bahkan anggota Dewan—tidak bisa dimungkiri lagi akibat rangkap jabatan itu.

Kejadian seperti ini sebenarnya bisa diakhiri jika pemerintah jeli memperhatikan persoalan ini dan pimpinan partai menyadarinya. Dalam literatur ilmu politik dengan gamblang dijelaskan, jika pimpinan partai menjadi pejabat negara, maka harus selesai hubungan politik dengan partainya. Kesadaran ini merupakan pengendalian diri untuk membedakan antara milik negara dan milik partai politik.

Jika nanti jabatan negaranya selesai, dia bisa kembali ke jabatan partainya lagi. Semua itu bisa terwujud jika semua UU, mulai dari UU Partai Politik, UU Pemilu, UU Pemilihan Presiden dan Kepala Daerah, UU Aparatur Sipil Negara, dan UU Pemerintahan Daerah, menetapkan secara tegas larangan rangkap jabatan.

Istillah jabatan negara itu sendiri sangat bagus dipertahankan untuk dipakai mengganti istilah jabatan politik. Apalagi UU yang berlaku sampai sekarang masih memakai istilah jabatan negara. Adapun istilah jabatan politik belum pernah disebutkan dalam UU yang ada. Walaupun sejatinya orangnya bisa saja dari partai politik, setelah menjabat jabatan negara ia tidak ada lagi kaitannya dengan partainya.

Sayangnya, perubahan sistem politik yang terjadi selama pemerintahan reformasi ini tidak cepat direspons oleh pemerintah sekarang. Akibatnya, tatanan birokrasi kita tidak jelas mengatur hubungan dan prosedur kerja yang harus dijalankan mengenai jabatan politik, jabatan negara, dan jabatan karier birokrasi pemerintah.

Jabatan karier

Selain rangkap jabatan, klarifikasi jabatan politik dan jabatan karier birokrasi pemerintah harus jelas. Benarkah panglima TNI, kapolri, jaksa agung bukan jabatan politik? Mengapa selama ini pengangkatan jabatan-jabatan itu harus diuji kelayakan oleh DPR sebagai lembaga politik?

Menurut kelaziman di dalam negara demokrasi, panglima TNI adalah jabatan karier di bidang militer. Demikian pula kapolri adalah jabatan karier kepolisian. Kedua jabatan itu sama statusnya sebagai jabatan karier seperti sebutan untuk PNS. Perekrutan dan promosinya harus dijauhkan dari suasana dan arena politik yang secara melembaga diwakili oleh DPR. Pengangkatan dan promosinya berada di wilayah pemegang kekuasaan penyelenggara pemerintah, yakni presiden, bukan berada di wilayah pemegang kekuasaan perundangan atau politik.

Panglima TNI dan kapolri adalah pembantu presiden, baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan. Oleh karena itu, seharusnya pengangkatan dan promosinya berada didalam keputusan presiden dan tidak perlu dibawa dan dimintakan persetujuan atau diuji kelayakannya oleh DPR.

Kedua jabatan ini, baik panglima TNI maupun kapolri, sama dengan jabatan karier: dibatasi dengan usia pensiun, jika telah sampai umur pensiun diganti. Justru yang seharusnya diuji kelayakan oleh DPR adalah pejabat politik seperti para menteri. Sebelum dilantik oleh presiden, mereka dimintakan persetujuan politik oleh DPR seperti halnya di negara-negara parlementer.

Jabatan politik atau jabatan negara tidak dibatasi oleh usia pensiun, kecuali ada UU yang mengatur batasan usia pensiunnya. Politik dan birokrasi memang sulit dipisahkan, tetapi bisa dibedakan untuk tatanan pemerintahan yang demokratis dan untuk menciptakan tatanan sistem pemerintahan yang bersih. Sekarang semua itu telah luput dari perhatian reformasi. Jadi, kita tunggu apakah pemerintah baru nanti memerhatikan kejanggalan atau anomali seperti ini atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar