Kamis, 17 April 2014

Membuka Selubung Ilusi

Membuka Selubung Ilusi

Trisno S Sutanto  ;   Koordinator Penelitian, Biro Penelitian dan Komunikasi (Litkom) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Jakarta
KOMPAS, 17 April 2014
                                     
                                                                                         
                                                                                                                
SETIAP kali masa Paskah tiba, saya selalu teringat pada kisah perjalanan dua murid ke Emaus yang dituturkan dengan indah oleh Injil Lukas. Dalam narasi pendek dan memikat khas Lukas itu–karena tidak ditemukan di bagian Injil lain, entah itu Markus, Matius, ataupun Yohanes–seluruh misteri Paskah menemukan bentuknya yang utuh.

Tak perlu mencari tahu, atau berdebat sengit, apakah perjalanan ke Emaus itu sungguh- sungguh sebuah laporan. Injil tidak (hanya) ditulis sebagai laporan jurnalistik mengenai apa yang sungguh-sungguh terjadi dalam kehidupan Yesus. Apalagi sebagai ”biografi” Yesus.

Gagasan tentang biografi atau laporan obyektif jurnalistik adalah konsep-konsep yang berkembang dalam dunia modern dan akan sangat anakronistis–serta menimbulkan kesulitan yang tak perlu–jika diterapkan pada karya klasik seperti Injil, atau epos-epos Homeros, atau dialog-dialog Platon.

Ambillah satu contoh. Biasanya orang melihat Injil sebagai semacam biografi Yesus. Itu salah. Sebab, kalau memang biografi, mengapa catatan-catatan Injil tidak memberi informasi apa pun mengenai masa remaja Yesus, saat dia mencapai pubertas. Atau mengapa tidak ada informasi apa pun tentang proses sosialisasi awal Yesus dalam keluarga? Padahal, dua fase itu–sosialisasi dalam keluarga dan masa pubertas–biasanya akan sangat membantu pembaca guna memahami tokoh yang riwayatnya sedang ditulis.

Jawabannya sederhana: karena Injil memang ditulis bukan sebagai biografi Yesus, melainkan mau menuturkan yang lain. Para penulis Injil, atau setidaknya mereka yang mengumpulkan dan menyunting catatan-catatan lepas tentang Yesus, memang mengolah hidup dan karya Yesus sekaligus menyingkapkan dimensi-dimensi lain bagi para pembaca. Jadi, di situ ada aspek-aspek historis-konkret tentang figur Yesus, tetapi sekaligus dimensi lain: pengalaman ”penyingkapan” misteri, disclosure event, tentang figur itu yang dialami dan mengubah orang- orang yang berjumpa dengannya.

Mesias yang menderita

Persis pada titik itu, pada disclosure event tentang figur Yesus, kisah pendek Lukas mengenai perjalanan dua murid ke Emaus jadi sarat makna. Dalam narasi yang pendek, Lukas seakan-akan memadatkan seluruh pengalaman Paskah bagi umat beriman di masa gereja perdana.

Ceritanya sederhana. Dua orang murid kecewa karena Yesus yang mereka elu-elukan dan diharapkan menjadi Sang Mesias justru mati di kayu salib sebagai orang hina, baik di hadapan orang Yahudi maupun Romawi. Bagi agama Yahudi, mati tergantung di salib berarti kutukan dari Allah sendiri; sementara bagi penjajah Romawi, salib merupakan hukuman bagi para penjahat maupun pemberontak.

Pengalaman itu terlalu mengguncang kedua murid tadi. Selama ini mereka telah mengikuti Yesus, berjalan dari satu tempat ke tempat lain untuk mengabarkan bahwa ”kerajaan Allah sudah dekat”, dan mungkin melihat sendiri mukjizat-mukjizat yang dibuatnya. Diam-diam dalam hati mereka berharap, inilah Sang Mesias yang dinanti-nantikan kedatangannya untuk membebaskan bangsa Israel dari penjajah Romawi, lalu menegakkan takhta Daud di Yerusalem untuk selamanya, seperti disebut para nabi.

Akan tetapi, mereka kecewa. Gambaran tentang Sang Mesias yang digdaya penuh keagungan justru luluh lantak oleh peristiwa penyaliban Yesus. Karena itu, mereka pergi meninggalkan Yerusalem dengan hati yang hancur untuk menguburkan harapan. Namun, di tengah jalan, seseorang bergabung dengan mereka, mengajarkan bahwa jalan yang harus ditempuh Mesias memang jalan penderitaan. Mesias harus turun ke tempat paling bawah, mengosongkan diri, dan menjadi hamba sehingga manusia kembali menemukan wajah kemanusiaannya lewat sesamanya yang menderita.

Pemahaman baru ini membuat hati mereka bergetar dan harapan kembali bernyala. Namun, orang asing itu menghilang, saat roti dipecahkan dan anggur dituangkan. Keduanya menjadi sadar, orang itu Yesus. Yang jelas, disclosure event itu mengubah mereka sehingga mereka pun kembali ke Yerusalem membawa harapan Paskah.

Dari ilusi ke doa
                                 
Kisah pendek Lukas adalah kisah tentang perjalanan kita, Anda dan saya. Selama ini mungkin tanpa kita sadari, diam-diam kita membangun ilusi tentang sosok seseorang yang diharapkan dapat menyelesaikan segala persoalan. Seseorang yang kita anggap sebagai Sang Mesias (’dia yang dinantikan’) atau Satrio Piningit, atau lainnya.

Masa Paskah–apa yang dalam liturgi gereja disebut pekan suci, dan dimulai oleh Minggu Palmarum–justru merupakan perjalanan di mana selubung ilusi-ilusi itu dikoyak satu demi satu. Kerumunan orang banyak yang bersorak-sorai melambaikan daun palma dan menyambut masuknya Yesus ke Yerusalem adalah mereka yang tiga-empat hari kemudian berteriak untuk menyalibkannya.

Bahkan, pada lingkaran paling dalam, para murid Yesus sendiri satu demi satu ditelanjangi ilusinya. Ada yang mengkhianati dan menjual Yesus, ada yang bersumpah setia tetapi justru menyangkalinya di akhir, dan ada yang melarikan diri tetapi akhirnya kembali dengan harapan baru.

Pada setiap peristiwa itu, dengan caranya sendiri-sendiri, Injil melukiskan disclosure event yang mengubah kehidupan. Setiap orang pada akhirnya ditantang melucuti ilusi-ilusi yang dibangun, lalu mengambil tanggung jawab sebagai pribadi.

Di situ, meminjam istilah Henri Nouwen, ilusi diubah menjadi doa. Bahkan, Yesus pun harus mengalaminya, tetapi lalu menyadari apa yang harus ia tanggung: ”Bukan kehendakku (yang ilusif itu, Pen), tetapi kehendak-Mu yang jadi.”

Itulah Paskah. Pengalaman disclosure event yang melucuti selubung ilusi-ilusi kita, yakni keterarahan pada diri sendiri, dan mengubahnya jadi doa: kepasrahan untuk meniti jalan Sang Mesias, walau harus menderita.

Selamat Paskah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar