Golongan
Putih : Dari Alienasi ke Oposisi
AE Priyono ; Peneliti dan Pengamat
Masalah Demokrasi dan Kebijakan Publik
|
INDOPROGRESS,
28 Februari 2014
MAX Lane[1] meramalkan bahwa, seperti pada pemilu 2009 lalu,
pemilu legislatif 2014 juga kembali akan dimenangkan Golongan Putih. Ini
memang bukan ramalan yang mengejutkan. Tetapi akan tetap mengherankan jika
kita melihat beberapa kemungkinan statistik bahwa, meskipun kemenangan golput
kali ini akan jauh lebih mutlak, namun fakta itu tetap tidak akan mengubah
keadaan. Kemenangan golput tetap bukan sebuah kemenangan politik. Itu karena
golongan ini masih akan merupakan ‘passive-abstentious-voters,’ pemilih pasif yang tak-hadir, atau yang
keberadaannya tak punya signifikansi politik. Demokrasi kita masih akan tetap
dikendalikan partai-partai elitis.
Pemilu 2014 adalah pemilu besar di antara pemilu-pemilu lain
yang pernah diselenggarakan di seluruh dunia. Pemilu ini akan memilih sekitar
19.700 kandidat legislatif yang tersebar di 2.450 daerah pemilihan. Pemilu
ini juga akan diikuti oleh sekitar 186 juta pemilih.[2]
Perludem (2014) menyebutkan kecenderungan naiknya jumlah pemilih
yang tak mau menggunakan haknya sejak 1999 sampai 2009. Data KPU secara resmi
juga memperlihatkan terus naiknya angka golongan putih, dari 8 persen (1999),
23 persen (2004), hingga 39 persen (2009). Beberapa pengamat memiliki proyeksi yang berbeda-beda mengenai angka golput
pada 2014, yakni antara 40 persen hingga 70 persenan. Perkiraan tertinggi
dikemukakan oleh Tamrin Amal Tomagola,
hingga 75 persen.[3] Dengan mengambil angka moderat dari semua perkiraan itu,
kita bisa menetapkan 57 persen sebagai proyeksi yang masuk akal.
Golput01
Perkiraan semacam ini yang mungkin membuat Max Lane mempunyai
kesimpulan di atas. Pada pemilu 2009 lalu, angka golput melebihi perolehan
suara di atas semua partai, termasuk Partai Demokrat yang mendapatkan suara
paling unggul. Jadi, sejak lima tahun lalu golongan putih sebenarnya sudah
‘memenangkan pemilu.’
Perolehan Suara Pemilu
2009: Dua Versi Perhitungan
Golput00
‘Kemenangan’ golput itu akan lebih terasa lagi jika kita melihat
proyeksi berbagai pengamatan mengenai bakal merosotnya perolehan suara semua
partai. Max Lane sendiri memprediksi, suara tertinggi pada pemilu 2014 akan
diperoleh PDIP dengan angka sekitar 20 persen, merosot 14 persen dibanding
perolehannya pada 1999; disusul Golkar yang merosot jadi 12 persen; lalu
Partai Demokrat yang juga akan jeblok di bawah 10 persen.[4]
Proyeksi Enam Besar
Perolehan Suara 2014
Golput02
Dari 12 partai peserta pemilu, diperkirakan hanya separonya yang
berhasil lolos ketentuan parliamentary treshold.[5] Di samping tiga partai
besar di atas, PKB dan PPP diperkirakan masih bisa lolos karena basis
dukungan tradisionalnya yang fanatik. Di pihak lain, seperti disebutkan dalam
editorialnya baru-baru ini, The Jakarta Post menempatkan Gerindra di posisi
empat besar perolehan suara, melejit melampaui suara PKB dan PPP, dengan
perolehan suara sekitar 7 persen.[6] Jika proyeksi ini tepat, maka partai ini
juga akan membenamkan PKS dan PAN yang selama ini berada pada posisi partai
menengah. Mereka akan merosot jatuh bersama empat partai kecil lainnya, yakni
Hanura, Nasdem, PBB, PND, dan PKPI. Kesemua partai ini menurut proyeksi SSS
(Sugeng Saryadi Syndicate) tidak bakal bisa melampaui 3,5 persen
parliamentary treshold.[7]
Keseluruhan proyeksi di atas tampaknya mengisyaratkan kenyataan
yang tak terbantahkan, bahwa kompetisi politik pada periode elektoral keempat
sejak jatuhnya Suharto itu adalah kompetisi yang terjadi di kalangan elite
lama. Empat partai besar (Golkar, PD, Gerindra, dan PDIP) serta dua partai
menengah (PKB dan PPP) sebenarnya masih mewarisi pemilahan politik kepartaian
peninggalan Orde Baru: kuning, merah, dan hijau. PDIP adalah kubu yang masih
solid, yang akan dibayang-bayangi oleh pecahan partai Golkar (Golkar dan
Gerindra) plus partai Demokrat. Sedangkan PKB dan PKB yang mewakili kubu
Islam berada di papan bawah.
Apapun-Partainya
Kompetisi Elite Ahli Waris
Orde Baru
Mari kita lihat bagaimana partai-partai warisan Orde Baru itu
merancang kandidasi untuk perebutan posisi kepresidenan. Golkar jelas sekali
adalah pelanjut par excellence Orde Baru. Baru-baru ini Ketuanya, Abu Rizal
Bakri, bahkan menegaskan agar kader-kadernya tidak perlu minder dan justru
harus bangga dengan kenyataan itu. Di lain kesempatan, Ical juga pernah
mengatakan akan melanjutkan ‘Trilogi Pembangunan’ jika ia terpilih jadi
presiden.
Pendiri Partai Demokrat, Presiden SBY, juga adalah salah seorang
jenderal Orde Baru. Di luar politisi Golkar yang pecah dan mendirikan
partai-partai kecil – misalnya Hanura, Gerindra, PKPI, dan Nasdem – Partai
Demokrat belakangan digunakan oleh SBY untuk membangun dinastinya sendiri.
Ini terbukti ketika ia mencongkel Anas Urbaningrum dan merebut posisi sebagai
Ketua Umum sekaligus Ketua Dewan Pembina partai; serta menempatkan anaknya,
Ibas, sebagai Sekjennya. Belakangan adik ipar SBY, Jenderal Edhie Pramono
Wibowo, dianggap sebagai pilihan SBY untuk memenangkan konvensi partai dan
menggantikannya jadi Presiden.
Dinasti lain ada di PDIP. Sejauh ini Megawati masih terus
mempertimbangkan dirinya atau putrinya, Puan Maharani, untuk didampingi atau
mendampingi Jokowi. Sebagai tokoh pengatrol suara partai, posisi Jokowi
sangat menentukan untuk mencegah kemerosotan perolehan suara PDIP. Itulah
yang membuat harga tawar Jokowi sangat tinggi untuk posisi sebagai calon
Presiden. Tapi dalam dua kemungkinan, tidak ada jaminan bahwa jika Jokowi
naik dinasti Soekarno akan tetap dipertahankan; begitu juga sebaliknya apakah
Jokowi bisa didikte terus menerus oleh Megawati.
Di urutan berikutnya, Gerindra, sudah mencalonkan ketuanya
Prabowo Subianto sebagai calon Presiden. Berbagai survei menyebutkan,
dibandingkan Ical atau Edhie Pramono, Prabowo jauh lebih populer. Tetapi
popularitas Prabowo yang didukung oleh mesin partai yang bekerja cepat, tetap
akan dibayang-bayangi oleh masa-lalunya sebagai jenderal Orde Baru dengan
berbagai kasus pelanggaran HAM.
Terakhir, PPP dan PKB adalah kekuatan politik yang terus mengalami
kemerosotan sehingga manuvernya makin terbatas untuk berbagai bargaining.
Kemungkinan besar mereka bahkan mengalami kesulitan dalam berbagai negosiasi
koalisi karena suaranya yang kecil.
Alhasil, apa yang sesungguhnya terjadi adalah perebutan kekuasaan
di kalangan elite lama. Kehilangan patron besar tunggal yang menjadi
protektor mereka di masa lalu, kini mereka saling berlomba untuk merebut
posisi tertinggi itu. Oligarki pasca Orde Baru sama sekali tidak mengubah
dasar-dasar kehidupan politik patronase yang telah dibangun Suharto selama
tiga dasawarsa.
Menuju Politisasi Gerakan Putih
Seperti disebutkan Max Lane, praktek politik demokrasi elitis
yang sepenuhnya dikuasai elite lama itu telah membuat rakyat kebanyakan
mengalami alienasi. Kenyataan ini bisa dilihat secara kasat mata. Masyarakat
luas makin menyadari bahwa pemilu hanya menjadi ajang para politisi korup
untuk mendulang suara. Selama tiga kali periode elektoral (1999-2004,
2004-2009, 2009-2014), mereka menyaksikan praktek demokrasi semakin elitis,
semakin jauh dari kepentingan rakyat.
Dengan persepsi yang meluas ini, pemilu – bahkan demokrasi –
dianggap tidak relevan dengan masalah kehidupan sehari-hari mereka. Mereka
juga menyaksikan bahwa para politisi partai – yang berkolaborasi dengan
birokrasi yang juga korup, dan kekuatan modal yang rakus dan agresif –
ternyata hanya memanfaatkan demokrasi untuk menumpuk kekayaan dan menguber
kekuasaan. Dalam pandangan mereka demokrasi mengalami malfungsi, karena telah
disalahgunakan. Inilah yang bisa menjelaskan dua fenomena penting dalam
demokratisasi Indonesia selama ini: pembajakannya oleh elite di satu pihak,
dan apatisme publik di pihak lain.
Bagaimanakah mengubah agar alienasi ini tidak berlarut-larut
menumpuk menjadi ledakan yang destruktif? Bagaimanakah membuat pasivisme
politik yang melumpuhkan ini mengalami transformasi menjadi gerakan publik
yang kreatif dan secara politik signifikan?
Merebut kembali demokrasi dari tangan elite oligarkis adalah
skenario besar yang harus dipikirkan agar golongan putih punya imaginasi
mengenai tujuan mereka melakukan politisasi gerakannya. Kita tidak boleh
membiarkan demokrasi hanya dipakai sebagai sarana kompetisi elite untuk
berebut kuasa sesama mereka sendiri. Demokrasi harus dikembalikan pada tujuan
dasarnya untuk membangun sistem politik di mana rakyat menjadi berdaulat
untuk mengurus dirinya sendiri; di mana kehidupan publik bisa dijaga dan
dikembangkan oleh publik sendiri.
Imaginasi bahwa melalui demokrasi publik bisa bangkit itulah
yang selama ini hilang dalam benak orang banyak. Menghidupkan kembali ruang
publik untuk kepentingan publik menjadi langkah awal untuk menghidupkan
kembali partisipasi publik. Partisipasi publik inilah persisnya yang selama
ini absen dalam kehidupan demokrasi kita. Pada kenyataannya ruang-ruang
publik kita justru telah dikuasai demi kepentingan mengejar profit atau
memperbesar pengaruh politik oleh kepentingan-kepentingan yang sifat
non-publik. Dengan kata lain, privatisasi ruang publik telah membuat publik
terasing dari kehidupan publik.
Karena itu, bagaimana menjadikan kelompok-kelompok masyarakat
mempunyai komunitas-publiknya masing-masing, berinteraksi dengan
kelompok-kelompok lain di ruang-publik yang terbuka dan egaliter, untuk
membahas isu-isu publik secara bersama, itulah yang perlu dirumuskan sebagai
strategi politisasi gerakan politik putih.
Menolak pemilu adalah jalan pertama untuk membangun imaginasi
baru mengenai demokrasi popular, demokrasi kerakyatan, demokrasi
partisipatoris, demokrasi deliberatif. Apa yang kita kenal sekarang sebagai
demokrasi elektoral-elitis itu pada hakikatnya bukan demokrasi, tetapi
oligarki dan plutokrasi. Di banyak tempat lain, demokrasi model representatif
yang diwakili partai-partai juga sedang mengalami krisis. Gagasan ‘perwakilan’
itu sendiri kini telah kehilangan makna karena partai-partai politik lama
ternyata hanya bekerja demi kepentingannya sendiri atau demi kepentingan
kekuatan-kekuatan korporat yang berada di belakangnya. Semua praktek
demokrasi yang seperti itu kini sedang digugat – sebuah gejala yang
sebenarnya juga sedang menguat di di Indonesia.
Demikianlah, penguatan gerakan golongan putih harus diarahkan
kembali untuk memperkuat keterlibatan dan partisipasi dalam kehidupan publik;
dan dalam jangka panjang mentransformasikan
demokrasi-representatif-elitis-yang-eksklusioner-dan-anti-publik menjadi
demokrasi-delegatif-emansipatoris-yang-melibatkan-publik.
Dalam konteks itulah, adalah penting membangkitkan kesadaran
publik untuk terus melakukan kontrol terhadap praktek politik demokrasi
Indonesia. Dengan tema membongkar praktek demokrasi elektoral oligarkis,
kelompok-kelompok democracy watch-dog itu harus bekerja ke arah tujuan-tujuan
di atas, sambil: menciptakan imaginasi baru, diskursus baru, dan praktek
alternatif untuk lahirnya demokrasi yang lebih susbstansial, yang melibatkan
semua kekuatan sosial-politik yang tumbuh secara otentik dari
kepentingan masyarakat banyak.
Basisnya adalah delegasi-delegasi publik dengan kepentingan-kepentingan
publiknya masing-masing.
Krisis Demokrasi Liberal
di Tingkat Global: Relevansinya dengan Politisasi Golput
Eksperimen agar kekuatan publik bangkit dan menjadi basis
politik baru dewasa ini sebenarnya juga sedang berlangsung di berbagai
belahan dunia. Krisis demokrasi liberal bahkan sedang melanda negara-negara
dengan sistem demokrasi yang sudah mapan. Demokrasi politik liberal yang
bersekutu dengan ekonomi kapitalis neoliberal telah menciptakan krisis
partisipasi publik. Diadopsinya ideologi neoliberal untuk mentransformasi
seluruh bangunan relasi-relasi sosial menjadi pasar-bebas telah membuat
warganegara mengalami depolitisasi, mengubah political-citizen menjadi
sekadar economical-consumers. Peranan politik warganegara dengan sengaja
dilucuti untuk mengeliminasi potensi kritisnya terhadap tatanan yang
berlaku.[8]
Sementara itu persekutuan liberalisme politik dengan
neoliberalisme ekonomi juga telah menciptakan akibat yang meluas di mana
negara-negara dipreteli peran publiknya. Dalam doktrin politik demokrasi
liberal, peran publik negara memang seharusnya diminalkan begitu rupa karena
kepentingan publik akan diurus oleh mekanisme pasar. Tetapi doktrin ekonomi
neoliberal yang dibangun dengan imaginasi bahwa dunia harus menjadi
pasar-global telah membuat negara-negara akhirnya hanya menjadi agen-agen
lokal bagi kepentingan korporasi-korporasi finansial global. Begitu krisis
kapitalisme terjadi dalam skala dunia, maka akibat langsungnya secara telak
juga akan menimpa setiap negara. Inilah yang menjelaskan mengapa krisis
finansial global yang terjadi sejak 2008, telah membuat negara-negara
demokrasi kapitalis juga langsung kolaps.
Di Eropa Selatan misalnya, tiga tahun lalu PM Yunani bahkan
diganti oleh sebuah badan yang mewakili kepentingan IMF. Negara-negara
nasional tunduk oleh dikte korporasi finansial global. Krisis ekonomi Spanyol
dan Italia memaksa pemerintahnya menerapkan kebjakan ‘economic-austerity’
yang sangat ketat – meningkatkan pajak dan mencabut semua subsidi – di
tengah-tengah bangkrutnya perusahaan-perusahaan dan meluasnya pengangguran.
Semua ini membuat rakyat Eropa marah, sementara partai-partai politik tidak
bisa melakukan apa-apa. Melalui apa yang disebut gerakan ‘indignados,’
masyarakat Eropa Selatan kini bangkit melawan demokrasi kapitalis. Mereka
menginginkan terjadinya perombakan struktur ekonomi-politik yang selama ini
didikte oleh lembaga-lembaga finanasial global. Gerakan seperti ini pula yang
sedang terjadi di Irlandia, Ukraina, Bulgaria, Boznia-Herzegovina, dan
lain-lain.
Di Timur Tengah, di mana otoritarianisme bersekutu dengan, atau
didikte oleh, negara-negara kreditor Barat yang menjadi agen IMF atau Bank
Dunia, krisis kapitalisme global yang sama telah melahirkan apa yang disebut
‘Arabellion’ – sebuah revolusi yang memuncak di lapangan Tahrir (Cairo) dan
menjungkalkan Hosni Mubarak. Bahkan rezim-rezim di bawah partai Islam moderat
seperti di Turki juga telah membuat rakyat marah di lapangan Taksim
(Istanbul), karena kebijakan-kebijakan neoliberalnya. Hampir pada saat yang
bersamaan, perlawanan publik seperti itu juga terjadi di Brazil atau
Argentina, seperti pada gejolak yang disebut gerakan ‘horizontalidad.’
Gerakan ini meledak ketika rakyat berbondong-bondong untuk merebut kembali
ruang-ruang publik dan menyatakan kekecewaannya terhadap kebijakan-kebijakan
pasar bebas yang menyengsarakan.
Mengapa persekutuan demokrasi liberal di Indonesia dengan
kebijakan ekonomi neoliberal yang bergitu agresif diterapkan sejak naiknya
SBY, belum juga menimbulkan akibat yang sama dengan yang terjadi di tingkat
global itu? Sampai kapan kita masih akan terus membiarkan rezim predatorial
pasca Orde Baru ini menjadi makin destruktif dan menghancurkan lingkungan
alam dan lingkungan kehidupan sosial kita? Sampai kapan kita akan bersikap
apatis terhadap partai-partai korup yang bersekutu dengan birokrasi yang juga
korup terus memfasilitas berbagai kejahatan korporatis di bawah dukungan
negara neoliberal yang tak lain merupakan kaki tangan World Bank dan IMF ini?
Apakah momentum perlawanan rakyat masih belum tiba?
Sambil menunggu matangnya situasi, ada baiknya kita
memproyeksikan bahwa satu-satunya kemungkinan munculnya perlawanan itu akan
datang dari korban, yakni publik politik Indonesia sendiri. Publik yang sadar
politik harus dibangkitkan agar semakin tumbuh menguat. Dan seperti kita
lihat pada semakin membesarnya jumlah golongan putih, modal politik kita
adalah sikap oposisi mereka kepada partai-partai politik dan penyelenggara
kekuasaan korup lainnya.
Dengan proyeksi seperti itu, kemungkinan-kemungkinan memperluas
basis gerakan politik putih perlu mempertimbangkan agenda-agenda di bawah
ini:
·
Mengembangkan kekuatan
publik melawan kelompok-kelompok plutokratik yang menguasai negara.
·
Mencetuskan gerakan
spontan solidaritas horisontal, bukan melalui komando hirarkis kepartaian yang
bersifat vertikal
·
Membangun
eksperimen-eksperimen demokrasi langsung untuk menciptakan alternatif atas
demokrasi representatif
·
Memperluas eksperimen
untuk terciptanya proses-proses politik deliberatif menyangkut berbagai isu
publik, bersandar pada aspirasi lokal, otonomi publik, dan perluasan
partisipasi lintas-sektoral
·
Mengembangkan gerakan
pengembangan organisasi-organisasi masyarakat sipil dan gerakan sosial lokal
yang bersifat poliarkis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar