Merebut
Hak atas Kota
(Catatan
Perlawanan Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri)
Dicky Dwi Ananta ; Aktivis Serikat
Mahasiswa Progresif (Semar) UI
|
INDOPROGRESS,
21 Februari 2014
Pendahuluan
TERHITUNG sejak November 2012 hingga Mei 2013, para Pegiat Usaha
Stasiun[1] di Jabodetabek, menghadapi masa mencekam sekaligus menentukan.
Pada rentang waktu itu, satu per satu Pegiat Usaha Stasiun di Jabodetabek,
dari Bogor hingga Kalideres sampai Kranji, digusur secara sepihak oleh PT.
Kereta Api Indonesia (PT. KAI). Proses penggusuran tersebut melahirkan
berbagai perlawanan dari para Pegiat Usaha yang tergabung dalam Persatuan
Pegiat Usaha Stasiun se-Jabodetabek (PERPUSTABEK).
Salah satu stasiun yang mengalami penggusuran adalah Stasiun Pos
Duri, yang berlokasi di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Penggusuran
dilakukan pada 27 Mei 2013 dengan membongkar 176 kios dan 48 rumah warga.[2]
Proses penggusuran menimbulkan perlawanan sengit yang dilakukan oleh Pegiat
Usaha beserta warga di sekitar stasiun. Akibatnya, bentrok tak terelakkan
antara Pegiat Usaha, yang didampingi mahasiswa Universitas Indonesia (UI) dan
sejumlah aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dengan aparat gabungan
dari PT. KAI, Kepolisian, Brimob, dan Marinir. Dari bentrokan tersebut,
setidaknya terdapat sepuluh orang petugas PT. KAI dan satu aktivis LSM
terluka.[3]
Perlawanan Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri disebabkan oleh
keengganan PT. KAI untuk memberikan solusi atas penggusuran yang
dilakukannya. Padahal, Pegiat Usaha secara resmi telah membeli kiosnya dan
membayar sewa tanah secara rutin.[4] Dengan demikian, kios yang dimilikinya
adalah sah secara hukum. Sementara, kepemilikan tanah adalah milik PT. KAI.
Jika ditinjau dari asas hukum yang berlaku di Indonesia, kita mengenal
horizontal sliding, yaitu pengakuan hukum atas pemisahan kepemilikan antara
tanah dan bangunan. Oleh karena itu, sah dan benar secara hukum, bila Pegiat
Usaha menuntut hak kepemilikan atas kiosnya. Penggusuran, dalam konteks ini,
dilakukan dengan merebut secara paksa hak milik Pegiat Usaha tanpa ganti rugi
sedikit pun. Alih-alih memberikan ganti rugi, dialog pun tidak pernah
terjadi. Walaupun proses dialog pernah ditawarkan oleh berbagai pihak,
termasuk lembaga negara seperti Komnas HAM, Polres Depok, Kementerian BUMN,
Kemenkokesra, dan Walikota DKI Jakarta.[5] Namun, PT. KAI tidak pernah
sekalipun mau datang untuk itu.
Menurut penulis, ada beberapa hal menarik yang terjadi saat
penggusuran di Stasiun Pos Duri ini. Pertama, kondisi sosial yang telah
terjalin di Stasiun Pos Duri. Para Pegiat Usaha sebagian besar merupakan
penduduk sekitar yang telah tumbuh dan berkembang di sana selama
berpuluh-puluh tahun sehingga mengganggap daerah tersebut seperti kampung
halaman. Hal itu membuat identitas sosial mereka terbangun sangat kuat
sebagai warga asli. Dengan begitu, penggusuran tersebut dirasakan oleh mereka
sebagai pengusiran PT. KAI dari kampung halaman mereka.[6]
Kedua, perlawanan di Stasiun Pos Duri termasuk sangat keras dan
konsisten. Selama rentang Januari—Mei 2013, Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri
beberapa kali berhasil menggagalkan rencana penggusuran. Selain itu, mereka
juga aktif melakukan proses advokasi ke lembaga-lembaga negara untuk mencari
keadilan. Bersama Pegiat Usaha Stasiun UI, Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri
merupakan motor dari PERPUSTABEK.[7] Oleh karena itu, Stasiun Pos Duri adalah
kedua paling yang digusur sebelum stasiun UI karena risiko bentrok yang
tinggi.[8]
Penulisan ini adalah propaganda melawan lupa atas peristiwa
peminggiran dan pemiskinan yang nyata. Bagi mahasiswa UI, tulisan ini adalah
sebuah usaha untuk melindungi ingatan kolektif atas peristiwa yang terjadi di
depan mata sendiri—stasiun yang sering digunakan sebagai alat transportasi
mahasiswa. Dengan alasan tersebut, penulisan narasi peristiwa penggusuran ini
dirasa sangatlah mendesak. Selain itu, tulisan ini juga akan menjadi dokumen
otentik atas salah satu peristiwa yang menjadi sejarah dalam akumulasi
kapital di area Jabodetabek. Tentu, juga sebagai pembelajaran bagi mereka
yang berakal atas dampak pembangunan ala neoliberal yang semakin gencar di
Indonesia.
http://media.viva.co.id/thumbs2/2013/08/11/217574_penertiban-pkl-tanah-abang_663_382.jpg
Latar belakang peminggiran
massal terhadap Pegiat Usaha Stasiun
Penggusuran secara sepihak oleh PT. KAI ini berawal dari
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2011 tentang Penugasan kepada PT.
Kereta Api Indonesia (Persero) untuk Menyelenggarakan Prasarana dan Sarana
Kereta Api Bandar Udara Soekarno-Hatta dan Jalur Lingkar
Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi. Secara umum, Perpres tersebut
memberikan tugas kepada PT. KAI untuk membuat sarana dan prasarana kereta api
yang dapat menghubungkan area Jabodetabek dan Bandara Soekarno-Hatta. Perpres
83/2011 ini yang kemudian menjadi dasar hukum dan justifikasi PT. KAI atas
proses penggusuran Pegiat Usaha Stasiun. Hal itu didasarkan pada pasal 5 ayat
1 poin (b) yang menyebutkan bahwa, ‘Dalam rangka pelaksanaan penugasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Pemerintah dan pemerintah daerah terkait,
sesuai dengan kewenangan masing-masing memberi dukungan untuk peningkatan
kapasitas jalur kereta api, berupa: (b) penataan area stasiun.’ Frasa
‘penataan area stasiun’ ini dimaknai oleh PT. KAI sebagai proses penggusuran
Pegiat Usaha Stasiun karena dianggap mengganggu kenyamanan penumpang dan
merusak keindahan area stasiun. Pemaknaan seperti itu dapat dilihat dari kata
yang digunakan oleh PT. KAI dalam menyebutkan penggusuran ini sebagai proses ‘sterilisasi
stasiun.‘ [9]
Kemunculan Perpres yang menjadi latar belakang penggusuran
tersebut, tidak terlepas dari program pembangunan ekonomi yang sedang
dijalankan negara saat ini. Program pembangunan tersebut tertuang dalam
Master Plan Percepatan Perluasan Ekonomi Indonesia (selanjutnya disebut
MP3EI). Dalam dokumen MP3EI, disebutkan bahwa salah satu program utama yang
dijalankan untuk menjadi titik pertumbuhan ekonomi adalah area
Jabodetabek.[10] Untuk mendukung proses perputaran modal yang dimotori dari
titik pertumbuhan tersebut, dibutuhkan jalinan konektivitas nasional yang
saling terkait. Untuk itu, perlu dibangun infrastruktur yang dapat
memperlancar perputaran modal yang dibutuhkan oleh pelaku ekonomi. Bila
dikaitkan dengan hal itu, kemunculan Perpres 83/2011 dapat dibaca sebagai
bagian dari program pembangunan tersebut.
Dalam dokumen MP3EI, disebutkan bahwa pembangunan jalur kereta
lingkar Jabodetabek merupakan bagian integral dari koridor ekonomi Jawa,
spesifiknya area Jabodetabek. Pembangunan jalur kereta lingkar Jabodetabek
dan Soekarno-Hatta merupakan proyek untuk menyediakan konektivitas nasional
yang kuat di area Jabodetabek. Oleh karena itu, dibutuhkan infrastruktur yang
layak untuk mendukungnya, salah satunya penyediaan jaringan massal kereta
api. Menindaklanjuti hal tersebut, Presiden mengeluarkan amanat kepada PT.
KAI melalui Perpres 83/2011 untuk menyediakan jalur kereta lingkar
Jabodetabek dan Soekarno-Hatta. Hal itu dilakukan beberapa bulan setelah
MP3EI ditandatangani.[11]
Dalam Perpres itu, terdapat justifikasi PT. KAI untuk menggusur
Pegiat Usaha Stasiun dengan dalih ‘penataan stasiun.’ Dengan demikian,
program ‘penataan stasiun’ berkaitan dengan usaha menyediakan infrastruktur
untuk konektivitas nasional yang dapat memperlancar arus modal yang
dibutuhkan pelaku ekonomi.
Di sisi lain, jika memperhatikan kembali Perpres No. 83/2011,
akan kita dapati bahwa pembangunan sarana dan prasarana itu tidak dibiayai
oleh negara. Ini bisa kita lihat pada pasal 4.
‘Pendanaan penyelenggaraan prasarana dan sarana perkeretaapian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan biaya pengadaan lahan yang diperlukan,
bersumber dari dan diusahakan oleh PT. Kereta Api Indonesia (Persero) sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak bersumber dari
Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
terkait.’
Secara logis, PT. KAI
harus mencari dananya sendiri dari usaha yang dijalankannya. Sementara,
subsidi untuk PT. KAI telah dikurangi oleh negara. Hal itu karena pengaruh
privatisasi yang dijalankan dengan perubahan bentuk institusi perusahaan
kereta dari Perumka menjadi PT. KAI pada 1999.[12] PT. KAI pun berada di antara dua kondisi,
di satu sisi ia diharuskan untuk membangun sarana dan prasarana sendiri tanpa
uang dari APBN, sedangkan di sisi lain, subsidi untuk mereka dikurangi oleh
negara. Kondisi demikian membuat PT. KAI harus memaksimalkan profit dari
kerja sama bisnis guna menutupi pos anggaran dalam pembangunan tersebut,
selain dari pendapatan regular mereka. Kerja sama bisnis ini dibenarkan dalam
pasal 3 ayat 1 Pepres 83/2011 bahwa dalam membangun sarana dan prasarana
tersebut, PT. KAI dapat bermitra dengan badan usaha lain dengan mengikuti
kaidah bisnis yang baik.
Dalam hal ini, penulis meletakkan konteks di atas sebagai latar
belakang penggusuran yang terjadi di stasiun-stasiun. Penggusuran dilakukan
dalam rangka memberikan ruang dan akses investasi bagi sektor swasta untuk
menanamkan modalnya di area stasiun. Dengan itu, pembiayaan pembangunan
infrastruktur diperoleh dan program tadi dapat dilaksanakan.
Dengan demikian, proses ‘penataan stasiun’ bukan dilakukan demi
perbaikan dan kenyamanan stake holder stasiun, baik dari Pegiat Usaha
Stasiun, penumpang, atau pengelola stasiun. Pegiat Usaha tidak pernah diajak
dialog secara demokratis dalam kebijakan yang menentukan masa depan mereka.
Walaupun berbagai usaha telah diusahakan, bahkan yang difasilitasi lembaga
negara sekalipun, proses dialog tidak pernah ada. PT. KAI menggunakan alasan
‘demi kenyamanan penumpang’ untuk melakukan penggusuran tersebut. Namun, di
beberapa stasiun, ritel-ritel seperti Alfamart dan Indomaret tidak digusur
walaupun tempatnya berdampingan dengan tempat usaha mereka (PUS). Dengan itu,
sangat naïf jika alasannya hanya demi ‘kenyamanan.’ Kondisi demikian yang
menyulut perlawanan dari Pegiat Usaha di berbagai stasiun.
Perlawanan oleh Pegiat Usaha dilakukan, selain untuk
mempertahankan haknya, juga untuk ikut berpartisipasi dalam proses
pembangunan stasiun. Pegiat Usaha Stasiun bukan anti terhadap penataan,
melainkan anti atas penggusuran yang meminggirkan mereka. Mereka mendesak
untuk dilibatkan dalam proses penggambilan kebijakan dalam ‘penataan’
tersebut agar dapat terlibat langsung dalam proses perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan yang menentukan masa depan mereka.
Dalam kajian perkotaan, perlawanan Pegiat Usaha Stasiun ini
dikenal dengan usaha untuk merebut hak atas kota. Adanya usaha merebut hak
atas kota merupakan respons atas kondisi yang melatarbelakanginya, yaitu
peminggiran dalam pembangunan kota. Restrukturisasi perkotaan, menurut David
Harvey, selalu melewati fase ‘creative destruction‘ dengan meminggirkan orang
miskin, dan mereka yang terpinggirkan dari kekuasaan politik. Mereka menjadi
kelompok yang paling pertama menderita dari proses restruksturisasi
perkotaan. Peminggiran ini akibat dari terampasnya lahan yang dimiliki atau
ditempati mereka. Inilah yang dinamakan dengan ‘akumulasi melalui perampasan’
(Accumulation by Dispossesion).[13]
Menurut Harvey, hal itulah yang menjadi inti dari urbanisasi di bawah
kapitalisme. Akumulasi dengan perampasan adalah cermin dari penyerapan modal
melalui pembangunan kembali kota. Perampasan ini kemudian menimbulkan
berbagai konflik karena mengambil tanah dari penduduk berpenghasilan rendah,
yang mungkin telah tinggal di sana bertahun-tahun. Hal demikian yang kemudian
menjadi sebab dari timbulnya pemberontakan di kota-kota, yang terjadi hampir
di seluruh dunia. Dalam hal ini, penggusuran Pegiat Usaha Stasiun dari tempat
usaha mereka adalah bentuk accumulation
by dispossesion, par excellence!
Konsep hak atas kota sendiri merupakan konsep hak yang
dikembangkan David Harvey untuk menjadi pelampauan atas fenomena peminggiran
masyarakat dari kotanya karena perkembangan kapitalisme. Menurutnya, jawaban
yang paling menjelaskan atas apa yang dilakukan para ‘pemberontak’ tersebut
adalah kontrol demokratis yang lebih besar atas produksi dan pemanfaatan
surplus kapital. Hal ini berdasarkan sebuah asumsi bahwa proses perkotaan
merupakan saluran utama dari penggunaan surplus produksi, membangun manajemen
demokratis atas penyebaran surplus produksi di perkotaan merupakan hak atas
kota. Ini yang disebut sebagai, ‘hak untuk mengubah diri kita sendiri dengan
mengubah kota.’[14]
Demokratisasi yang benar dan pembangunan sebuah gerakan sosial
yang luas sangat penting untuk mengambil kembali kendali yang mereka miliki,
yang telah begitu lama lepas, dan melembagakan model baru atas kehidupan
kota. Hak ini memberikan ruang bahwa pengambil kebijakan tertinggi atas perubahan
kota adalah stake holder kota itu sendiri dengan aktif berpartisipasi secara
kolektif. Titik tolak dari hak atas kota, adalah partisipasi rakyat terhadap
pembangunan kotanya. Dengan demikian, ia merupakan sebuah perspektif politik
baru untuk melawan sebuah proses pembangunan perkotaan ala neoliberalisme,
seperti privatisasi ruang perkotaan, komersialisasi penggunaan kota,
mendominasinya kawasan-kawasan industri dan perdagangan yang tidak pernah
melibatkan proses demokratis dari stake holder kota.[15]
Catatan Perlawanan:
Desember-Mei
Awal Bergabung Perpustabek
dan Ancaman Penggusuran Pertama
Perlawanan yang dilakukan oleh Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri
termasuk yang terpanjang dan konsisten. Mereka mulai berjuang dari akhir
Desember 2012 hingga semua kios mereka roboh di akhir Mei 2013. Dalam rentang
lima bulan tersebut, mereka telah melakukan berbagai usaha advokasi untuk
mendapatkan solusi dari permasalahan penggusuran tersebut. Awalnya, Pegiat
Usaha Stasiun Pos Duri bersama PERPUSTABEK berusaha menyelesaikan masalah ini
dengan jalur diplomasi. Mereka mendatangi instansi pemerintah yang terkait
untuk dapat berdialog dengan PT. KAI. Hal itu ditempuh untuk menunjukan bahwa
mereka tidak anti pada penataan, tetapi menolak pada penggusuran yang memiskinkan.
Upaya untuk mendapatkan keadilan ini berbarengan dengan proses penggalangan
kekuatan secara internal, sebelum akhirnya bentrokan terjadi di hari-H
penggusuran. Dalam bagian ini, penulis akan memaparkan bagaimana perjalanan
proses perlawanan yang dilakukan Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri dari rentang
waktu tersebut. Dengan pemaparan ini, diharapkan dapat mematahkan anggapan
banyak orang selama ini yang beranggapan bahwa Pegiat Usaha Stasiun hanya
membuat kerusuhan saat penggusuran tanpa memperhatikan proses yang telah
ditempuh sebelumnya.
Penggusuran Pegiat Usaha di Stasiun Pos Duri ini berawal dari
turunnya surat perintah pengosongan kios pada akhir Desember 2013. Dari surat
tersebut, PT. KAI memberikan perintah kepada Pegiat Usaha untuk pindah dari
kiosnya paling lambat dua minggu kemudian. Alasan yang diberikan adalah kios
telah habis masa kontrak dan lahannya akan dibuat tempat parkir. Selain itu,
Stasiun Pos Duri akan dijadikan stasiun besar sehingga akan terjadi pelebaran
stasiun.[16] Para Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri rencananya akan digusur pada
15 Januari 2013. Turunnya surat tersebut, menandakan proses awal dari
penggusuran kios Pegiat Usaha stasiun dan rumah warga. Tanpa dialog terlebih
dahulu, PT. KAI langsung mengeluarkan surat ‘penggusuran’ dan memberikan
waktu tinggal maksimal dua minggu kepada Pegiat Usaha dan warga. Turunnya
surat tersebut menjadi dalih yang digunakan PT. KAI bahwa mereka telah
melakukan sosialisasi kepada Pegiat Usaha dan warga. Menurut PT. KAI, dialog
tidak perlu dilakukan karena tanah yang ditempati oleh Pegiat Usaha dan warga
tersebut memang milik PT. KAI sehingga wajar jika diambil kembali.[17] Saat
memberikan surat tersebut, petugas PT. KAI didampingi aparat bersenjata,
dalam hal ini TNI-Marinir lengkap dengan laras panjang. Hal itu tentu membuat
Pegiat Usaha takut sehingga mereka mau saja menandatangani kertas kosong,
yang belakangan ternyata dijadikan legitimasi bahwa para Pegiat Usaha telah
sepakat dengan surat ‘penggusuran’ itu.[18]
Menghadapi situasi demikian, Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri lalu
mulai mengonsolidasikan diri. Hasil dari konsolidasi tersebut, mereka sepakat
untuk melawan perintah PT. KAI ini. Berbarengan dengan itu, terdapat info
bahwa stasiun lain di Jabodetabek juga mengalami hal serupa. Mereka juga
mendengar adanya sebuah persatuan Pegiat Usaha yang melawan, salah satunya
dari Pegiat Usaha Stasiun Universitas Indonesia (UI) dan Pondok Cina (Pocin).
Berbekal informasi tersebut, Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri sepakat untuk
menggabungkan dirinya dalam perjuangan Perpustabek. Proses penggabungan diri
ini dimulai saat Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri mendatangi rapat konsolidasi
yang dilakukan Perpustabek di lobi Fakultas Hukum (FH) UI pada 2 Januari
2013. Konsolidasi dilakukan untuk merespons ancaman penggusuran di Stasiun
Pocin yang akan dilakukan pada 3 januari 2013. Di rapat tersebut, Pegiat
Usaha Stasiun Pos Duri diterima oleh Bu Ayu sebagai koordinator Perpustabek
dan Suma Mihardja, pendamping Perpustabek.[19] Secara resmi Pegiat Usaha
Stasiun Pos Duri pun bergabung dengan perjuangan Perpustabek. Semangat yang
dibawa adalah untuk selalu bersolidaritas jika ada kawan Pegiat Usaha lain
mengalami ancaman penggusuran. Dan, tentunya sepakat untuk melawan proses
penggusuran yang dilakukan PT. KAI.
Alasan yang mendasari mengapa para Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri
melawan proses penggusuran didasarkan pada ancaman hilangnya pekerjaan mereka
pasca-penggusuran dan tidak adanya tawaran solusi.[20] Mereka tidak diberikan
solusi yang berupa ganti rugi ataupun relokasi dari penggusuran tersebut.
Padahal, sebagian besar dari mereka hanya menggantungkan hidupnya dari
berdagang di tempat itu saja. Ketidakpastian atas pekerjaan pasca-penggusuran
akan membuat mereka menjadi pengangguran dan itulah yang membuat khawatir. Kondisi
itu tentunya akan berdampak pada kehidupan, baik secara material maupun
non-material.
http://media.viva.co.id/thumbs2/2012/12/13/183886_penggusuran-pedagang-di-stasiun-depok-baru_663_382.jpg
Menurut warga, penggusuran ini juga seolah mengusir mereka dari kampung halaman
sendiri. Setelah tinggal berpuluh tahun di sana, penggusuran ini seperti
mengusir sepihak tanpa melihat kondisi warga saat itu. Mereka bukannya tidak
sepakat untuk dipindah, tetapi mereka minta ditunda, misal sampai habis
lebaran, agar persiapan untuk mencari tampat tinggal dan kebutuhan untuk
proses kepindahan dapat terpenuhi dahulu. Warga sendiri juga menyadari bahwa
tanah tersebut bukan milik mereka.[21]
Alasan lainnya berkenaan dengan hak kepemilikan pada bangunan
kios yang mereka tempati. Sebagian besar Pegiat Usaha adalah pemilik kios
yang sah dan legal secara hukum. Hal itu didasarkan pada akta jual beli yang
mereka lakukan saat membeli kios-kios tersebut. Dalam praktiknya, terdapat
beberapa Pegiat Usaha yang berjual beli dengan PT. KAI secara langsung,
maupun melalui pihak kedua, artinya kios tersebut telah diperjualbelikan dari
pemilik sebelumnya. Kios di stasiun sendiri mulai dibangun tahun 2000 dan
ditempati sejak 2001. Pada waktu itu, harga kios sebesar Rp25 juta/kios. Kios
yang dimaksud di sini merupakan bangunannya, sedangkan tanahnya mereka sewa
dari PT. KAI dengan harga bervariasi. Ada kios yang memiliki sewa tanah
sebesar Rp150—200 ribu/meter/bulan, ada pula Rp400 ribu/bulan.[22] Hal yang
dipermasalahkan oleh Pegiat Usaha adalah mengenai kepemilikan mereka pada
bangunan kios tersebut.
Dengan penggusuran itu, bangunan kios yang dulu dibeli tak
dihargai lagi karena tak adanya ganti rugi, padahal mereka membelinya dengan
sah dan legal. Mereka mengharapkan adanya solusi jika nanti terjadi
‘penataan’ dari PT. KAI serta berharap dapat berdialog dan saling menyepakati
solusi yang ditawarkan, misalnya ganti rugi atau relokasi. Dengan adanya
solusi yang tepat, mereka berharap dapat melanjutkan hidup dengan layak.
Pasca bergabung dengan Perpustabek, Pegiat Usaha Stasiun Pos
Duri langsung terlibat aktif dalam perjuangan melawan penggusuran yang
dilakukan oleh PT. KAI. Pada 3 Januari 2013, mereka berdatangan ke Stasiun
Pondok Cina (Pocin) untuk bergabung dengan aksi solidaritas di sana. Pada
aksi tersebut, Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri menurunkan ‘pasukan’ sebanyak
satu bus penuh, yaitu sekitar lima puluh orang. Akhirnya, penggusuran itu
bisa digagalkan.
Proses perlawanan berikutnya dilakukan dengan aksi demonstrasi
di depan Istana Presiden pada 14 januari 2013. Namun, tanpa diduga
sebelumnya, hari itu Stasiun Pocin digusur. Penggusuran itu sendiri tidak
dilakukan oleh petugas dari PT. KAI, melainkan oleh preman yang dibayar. Saat
itu, di Stasiun Pocin hanya ada
ibu-ibu dan anak-anak karena para suami mereka sedang berdemonstrasi di
Istana. Untungnya, dalam kondisi demikian, masih terdapat beberapa aktivis
yang melihat dan segera membantu. Di antara mereka adalah Garda Sembiring dan
beberapa kawan mahasiswa. Perlawanan seadanya pun dilakukan, sembari
menghubungi kawan-kawan mahasiswa yang masih di Depok.
Jumlah yang tidak seimbang mengakibatkan beberapa mahasiswa
terluka dan kerusakan barang-barang elektronik.[23] Beriringan dengan jumlah
mahasiswa dan warga yang berdatangan, proses ‘pengrusakan’ itu berakhir.
Informasi ini diterima oleh para Pegiat Usaha yang sedang demonstrasi di
depan Istana, dan menimbulkan kemarahan di antara mereka. Kemarahan itulah
yang menjadi latar belakang adanya aksi blokir rel di Stasiun Pocin pada 14
Januari 2013. Dalam aksi tersebut, Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri juga
terlibat di dalamnya. Jumlah mereka cukup besar, sekitar tujuh puluh orang,
baik yang ikut aksi demonstrasi maupun blokir rel.[24] Blokir rel ini
berakhir dengan dibubarkannya aksi oleh Polisi dengan perjanjian bahwa
Kapolres akan memediasi dialog antara Pegiat Usaha dan PT. KAI esok harinya.
Dan, ternyata dialog itu tidak dihadiri oleh PT. KAI.
Pada 15 Januari 2013, giliran Stasiun Pos Duri yang akan
digusur. Menanggapi hal demikian, malam hari sehabis aksi blokir rel,
mahasiswa langsung memimpin rapat teknis lapangan (teklap) untuk persiapan
mengadang penggusuran. Hasil rapat tersebut, adalah akan ada aksi menolak
penggusuran yang dijalankan dengan skema mengadang aparat, baik dari arah rel
(naik kereta) maupun dari arah jalan (naik angkutan). Titik kumpul massa
adalah di halaman depan stasiun dengan membuat borders secara rapi. Pada
titik ini, Pegiat Usaha menyatakan siap bentrok untuk mengamankan kios
mereka. Tak ingin kejadian di Stasiun Pocin terulang kembali siaga Pegiat
Usaha sudah dilakukan sejak pagi. Di samping itu, mahasiswa dan Pegiat Usaha
akan bertemu dengan Kepala Stasiun (KS) untuk menyepakati dialog dengan PT.
KAI.[25]
Keesokannya, tanggal 15 Januari 2013 sejak pukul 07.00 WIB,
massa sudah memadati halaman depan stasiun. Tepat pukul 10.00 WIB,
demonstrasi dimulai dengan massa aksi sekitar 500 orang. Aksi dipimpin oleh
Yudi dari mahasiswa UI, dan Pak Hamzah, sebagai koordinator Perpustabek
Stasiun Pos Duri. Selain itu, juga terdapat Bang Melvi dan Bang Andri sebagai
koordinator massa aksi. Secara bergantian, mahasiswa, Pegiat Usaha, dan warga
berorasi menolak penggusuran. Ibu-ibu dan anak-anak pun ikut aksi.
Saat demonstrasi tersebut, polisi yang berjaga relatif sedikit.
Pasukan PKD yang dipersiapkan oleh PT. KAI untuk menggusur pun juga lebih
sedikit dibandingkan di Stasiun Pocin sebelumnya. Bersamaan dengan itu,
rencana diplomasi dijalankan. Pegiat Usaha, diwakili oleh Pak Hamzah, bersama
beberapa mahasiswa bertemu dengan KS. Dalam pertemuan tersebut, KS terlihat
sangat tertekan dan gugup saat menghadapi Pegiat Usaha dan mahasiswa.
Akhirnya, KS menjamin bahwa tidak akan ada penggusuran pada hari tersebut.
Pasca-pernyataan tersebut dikeluarkan, Pegiat Usaha dan mahasiswa meminta KS
untuk menarik mundur pasukan PKD dan Polisi. Akhirnya, hal itu dilakukan.
Namun, KS tidak mau mengeluarkan pernyataan secara tertulis bahwa tidak akan
ada penggusuran di hari-hari berikutnya. Setelah aparat ditarik mundur, aksi
tetap dilanjutkan hingga bubar sekitar pukul 14.00 WIB. Penggagalan
penggusuran hari itu pun sukses.[26]
Perjuangan Diplomasi
Setelah ancaman penggusuran yang pertama di Stasiun Pos Duri ini
gagal, Perpustabek berusaha merumuskan ulang strategi untuk menghadapi ancaman-ancaman
penggusuran berikutnya. Hasil kesepakatan dalam rapat-rapat yang diinisiasi
oleh Forum Transportasi Rakyat (FTR)[27], strategi perjuangan akan diarahkan
pada aksi-aksi yang lebih diplomatis, selain aksi massa pas hari-H
penggusuran. Perpustabek akan mendatangi beberapa lembaga pemerintahan untuk
mengadukan masalah mereka dan meminta solusi atas penggusuran yang dilakukan
secara sepihak oleh PT. KAI. Selain itu, juga untuk menuntut adanya dialog
yang demokratis antara Pegiat Usaha dan PT. KAI. Beberapa instansi yang masuk
ke daftar tersebut, antara lainKantor Pusat PT. KAI dan Daerah Operasi
(Daops) 1, Kantor Gubernur Jakarta (Balai Kota), Kementerian BUMN,
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra), Ombudsman,
Wantimpes, DPR RI, dan media massa. Strategi perjuangan dijalankan
Perpustabek selama rentang waktu Februari hingga April 2013. Pegiat Usaha
Stasiun Pos Duri sepakat dan selalu mengikuti perjuangan tersebut.[28]
Pada 18 Februari 2013, Kelurahan Duri menginisiasi adanya pertemuan
antara Pegiat Usaha dan warga Stasiun Pos Duri dengan PT. KAI yang diwakili
oleh Daops 1, Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, PT. KAI bersedia datang,
tetapi tidak untuk bermusyawarah dengan Pegiat Usaha dan warga mengenai
solusi atas penggusuran. Mereka justru kembali mengeluarkan ancaman untuk
menggusur kios dan rumah warga pada 28 Februari 2013, bagaimanapun caranya.
Menurut PT. KAI, tanah di stasiun adalah milik mereka sehingga
mereka berhak untuk mengambilnya kapan saja. PT. KAI akan membutuhkan tanah
tersebut untuk parkir stasiun dan pelebaran stasiun. Pihak PT. KAI berjanji
bila nanti di tanah tersebut terdapat pertokoan, maka Pegiat Usaha dan warga
yang digusur dipastikan bisa menempati kembali. Selain itu, di tanah itu juga
tidak akan dibangun ritel seperti Alfamart dan Indomaret. Hal itu dikuatkan
dengan salah satu poin dalam perjanjian antara PT. KAI dengan Pegiat Usaha
dan warga, bahwa sewaktu-waktu PT. KAI membutuhkan tanah tersebut, harus
dikembalikan. Hal demikian sudah disadari oleh Pegiat Usaha dan warga bahwa
tanah itu bukan miliknya dan hanya sewa. Namun, yang menjadi keberatan Pegiat
Usaha adalah tentang hak milik bangunan kios dan solusi setelah itu.
Pertemuan berakhir dengan deadlock tanpa kesepakatan apa pun, kecuali tekad
PT. KAI yang akan tetap membongkar kios Pegiat Usaha dan rumah warga.[29]
Menanggapi buntunya pertemuan tersebut, Pegiat Usaha Duri dan
Perpustabek menggelar aksi demonstrasi di depan Balai Kota, Jakarta pada 21
Februari 2013. Aksi tersebut diikuti oleh sekitar 350 massa aksi yang
merupakan gabungan Pegiat Usaha dari berbagai stasiun. Mereka menuntut Jokowi
mengambil sikap mengenai penggusuran paksa yang dilakukan PT. KAI. Mereka
juga menagih janji Jokowi yang ketika berkampanye berjanji tidak akan ada
penggusuran lagi di Jakarta. Selain itu, Pegiat Usaha menagih janji Jokowi
untuk memediasi pertemuan PT. KAI dengan Pegiat Usaha. Pada pertemuan
tersebut, Pegiat Usaha akhirnya diterima oleh Jokowi. Mereka berdialog
mengenai solusi atas penggusuran ini. Dalam janjinya, Jokowi akan segera
meninjau kasus ini dan menerjunkan staff-nya ke stasiun-stasiun di wilayah
Jakarta. Selain itu, Jokowi juga akan menyurati PT. KAI untuk menunda
penggusuran hingga ada dialog yang komprehensif, dan Jokowi siap
memfasilitasi itu.[30]
Setelah bertemu dengan Jokowi, aksi dilanjutkan ke Kemenkokesra.
Pada aksi tersebut, Pegiat Usaha akhirnya bertemu dengan Sujana Rohyat,
Deputi Menkokesra. Dalam pertemuan tersebut, Kemenkokesra sepakat dengan
adanya dialog yang komprehensif sebelum penggusuran. Mereka berjanji akan
memfasilitasi dialog tersebut dan akan melakukan koordinasi dengan
kementerian terkait kasus ini.
Namun, meski telah dijanjikan adanya dialog dari dua lembaga
tersebut, implemantasinya tidak pernah terealisasi. Bahkan, janji Jokowi
untuk segera menerjunkan stafnya guna pendataan Pegiat Usaha dan
mempertemukan Pegiat Usaha dengan PT. KAI, juga tak pernah dilakukan. Oleh
karena itu, Pegiat Usaha Duri terus mengawal dan mendesak hal tersebut agar
segera dilaksanakan. Meski tak bersama dengan Perpustabek, Pegiat Usaha
Stasiun Pos Duri beberapa kali ke Balai Kota untuk menagih janji tersebut.
Menurut Pak Hamzah, setidaknya mereka telah lima kali ke Balai Kota. Namun,
hanya sekali ditemui oleh pihak Balai Kota.[31]
Perpustabek juga beberapa kali mengadakan audiensi ke
Kementerian BUMN sejak Desember 2012. Perpustabek mengadukan tindakan PT. KAI
yang anti-dialog, menggusur dengan paksa, dan menggunakan kekerasan dalam
penggusuran. Mereka mendatangi Kementerian BUMN karena secara struktural PT.
KAI berada di bawah kementerian tersebut. Pegiat Usaha berharap bisa bertemu
Dahlan Iskan, tetapi pada akhirnya hanya ditemui oleh pejabat Kementerian
BUMN, seperti Humas Kementrian, dan Kabid. II Infrastruktur dan Logistik. Pada
beberapa pertemuan tersebut, Kementerian BUMN mengaku telah menyurati PT.
KAI, tetapi menurut penuturan mereka, tak pernah ditanggapi. Kementerian BUMN
sendiri tak bisa menjanjikan apa-apa atas kasus ini, selain hanya akan
mendesak PT. KAI menunda penggusuran sebelum ada dialog. Dengan demikian,
bisa disimpulkan Kementerian BUMN melepas tanggung jawabnya.[32]
Setelah mendatangi beberapa kementerian, tetapi tak membawa
hasil yang baik, Perpustabek mengadukan kasus penggusuran paksa ini kepada
Ombudsman pada 17 April 2013. Kepada lembaga yang melayani aduan publik atas
pelayanan lembaga-lembaga negara ini, Perpustabek meminta agar ada dialog
antara PT. KAI dan Pegiat Usaha dapat terealisasi. Akhirnya, dialog tersebut
dilakukan pada 25 April 2013.[33] Pertemuan tersebut dihadiri oleh PT. KAI,
perwakilan Pemerintah Propinsi Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, serta
Perpustabek. Dalam pemaparannya, ketiga Pemprov tersebut sepakat bahwa
penggusuran paksa tidak menyelesaikan masalah, malah justru menimbulkan
masalah baru. Mereka juga tidak sepakat dengan cara PT. KAI selama ini.
Menurut mereka, PT. KAI harusnya mengedepankan dialog dan kerja
sama dengan daerah setempat agar tidak merugikan Pegiat Usaha.[34] PT. KAI,
diwakili oleh Irjen. (purn) Erdward Aritonang, selaku komisaris, dan beberapa
petingginya, menyatakan bahwa mereka akan tetap menggusur Pegiat Usaha dan
tidak akan memberikan kompensasi apa pun karena mereka tidak merugikan hak
siapa pun. Pada akhirnya, solusi untuk masalah ini tidak bisa ditemukan karena
sikap PT. KAI yang arogan. Ombudsman pun pada kasus ini hanya mempertemukan
saja, tanpa mengambil sikap yang jelas dan tidak memberikan solusi apa pun.
Pada 13 Mei 2013, Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri bersama Pegiat
Usaha dari beberapa stasiun di Jabodetabek, menggelar aksi di depan DPR
RI.[35] Mereka menuntut penggusuran terhadap para Pegiat Usaha stasiun
dihentikan. Massa menolak penggusuran sebelum adanya solusi bagi para Pegiat
Usaha. Aksi di DPR ini bukanlah yang pertama bagi Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri.
Sebelumnya, mereka pernah berudiensi dengan anggota dewan yang ditemui oleh
Eva Sundari dari PDIP. Namun, hasil audiensi pun tak membawa hasil apa pun
mengenai kasus penggusuran mereka. Hasil aksi kali ini pun juga sama.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, selain strategi diplomasi,
aksi-aksi massa tetap dijalankan dalam menolak penggusuran di
stasiun-stasiun. Mulai April hingga Mei, PT. KAI kembali bersifat agresif.
Satu per satu penggusuran dijalankan di stasiun-stasiun yang menjadi anggota
Perpustabek. Berturut-turut, kios Pegiat Usaha digusur dari Stasiun
Kalideres, Tebet, Cawang, Universitas Pancasila, dan Pasar Minggu. Perlawanan
di beberapa stasiun pun tak terelakkan hingga berujung bentrok. Pada masa
ini, Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri selalu terlibat dalam perjuangan aksi
massa. Menurut pengakuan Pak Hamzah, Stasiun Pos Duri selalu turun dengan
kekuatan besar, setidaknya selalu di atas lima puluh orang.[36] Hal itu
merupakan wujud solidaritas perjuangan dalam Perpustabek. Sehingga dalam hal
ini dapat dilihat bahwa Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri selalu terlibat dalam
aksi diplomasi dan aksi massa menolak penggusuran paksa oleh PT. KAI.
http://pbs.twimg.com/media/BHdaYUJCcAA0p_E.jpg
Perlawanan di Bulan Mei
Setelah beberapa stasiun rata dengan tanah, kini giliran Stasiun
Pos Duri menerima surat ‘cinta’ dari PT. KAI. Pada 19 Mei 2013, surat
penggusuran turun. Dalam surat tersebut, PT. KAI memberitahukan akan
menggusur Pegiat Usaha dan warga pada Senin, 27 Mei 2013. Oleh karena
berbagai usaha yang telah dilakukan tidak menemui hasil yang baik, maka pada
penggusuran kali ini, Pegiat Usaha dan warga sepakat untuk pasang badan
menghadapi penggusuran paksa dari PT. KAI. Rapat-rapat koordinasi mengenai
hal tersebut pun dilakukan, yang melibatkan mahasiswa, Pegiat Usaha yang
tersisa di Perpustabek, LBH, serta Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri itu sendiri.
Rapat teknis lapangan (teklap) aksi dilakukan pada 26 Mei 2013 di gedung
Kelurahan dipimpin atau dimoderatori oleh Algif LBHJ.[37] Sebelumnya,
ditekankan bahwa seluruh elemen pertahanan, baik Pegiat Usaha, mahasiswa,
maupun LBHJ, harus mengambil sikap non-agresif, dalam artian tidak menyerang
dulu sebelum diserang (pada saat itu, boleh mengambil tindakan membela diri).
Rencananya, aksi akan difokuskan pada tindakan antisipasi berupa sabotase
pada peralatan penggusuran milik aparat, pertahanan melalui bungker yang
rapi, serta cara-cara non-konvensional untuk membubarkan aparat (seperti
pelemparan feses).
Ditentukan pula di mana saja titik-titik yang akan dijadikan
pertahanan, serta pintu-pintu akses masuk yang harus diawasi. Juga di mana
saja massa aksi bertahan dan rencana-rencana pendukung jika barisan jebol
atau aparat sudah terlalu banyak masuk. Ditentukan koordinator-koordinator
lapangan, penanggung jawab beberapa bidang strategis, serta penentuan peran
dari tiap-tiap orang yang hadir saat teklap, termasuk dari mahasiswa. Para
koordinator lapangan (Hamzah, Melfi) tidak mengambil posisi depan, justru
harus dilindungi agar tidak tertangkap oleh aparat (karena akan dijadikan
sasaran utama).
Sejak malam, 26 Mei 2013, Pegiat Usaha dan warga telah bersiaga.
Hal ini karena adanya ancaman bahwa PLN akan memutus aliran listrik dan
penggusuran dilakukan malam hari. Selain itu, menurut pengakuan Pak Warsito,
intel telah berkeliaran sejak malam untuk memantau pergerakan Pegiat Usaha
dan warga.[38] Hingga pagi, ancaman itu ternyata tidak terjadi. Selain itu,
beberapa pihak dari Perpustabek mulai mengintai pergerakan alat-alat berat
(backhoe) yang dirumorkan akan menyerang besok pagi. Diawasi pula rute-rute
evakuasi melalui jalan-jalan kecil yang dapat ditempuh jika memang kondisi
sudah tidak memungkinkan. Dari mulai malam hari, kios-kios sudah mulai
dikosongkan semua, termasuk toko-toko besar beserta segala perlengkapannya.
Masih pada malam hari, massa aksi mendapatkan kabar bahwa
backhoe akan menyerang dari arah Mal Season City. Akhirnya, dua jalan utama
menuju areal pasar diblokade melalui pilar-pilar beton yang disusun agar
memberhentikan atau paling tidak menghambat pergerakan backhoe. Pada saat
bersamaan, tim khusus dari Pegiat Usaha mempersiapkan feses dalam kuantitas
yang banyak untuk dijadikan ‘senjata.’ Dini hari, massa aksi mendapatkan
kabar bahwa PKD sudah datang dan menginap di dekat stasiun. Kabar yang
beredar adalah bahwa mereka bukan PKD resmi, tetapi merupakan preman-preman
bayaran yang diseragamkan (ini didapatkan antara lain dari Pegiat Usaha
Stasiun yang mengurusi seragam PKD, yang tiba-tiba dapat orderan seragam baru
yang banyak untuk diberikan kepada preman-preman tersebut).
Pada pukul 06.00, massa aksi sudah siap siaga semua dan
menempati posisi bertahan di tengah plasa depan loket tiket. Massa aksi pada
saat itu terdiri dari para Pegiat Usaha (baik bapak-bapak, ibu-ibu, maupun
anak-anak), mahasiswa dari UI dan UIN, serta elemen-elemen dari LBHJ, Dompet
Dhuafa, dan lain-lain. Setiap orang dari massa aksi diberikan pita pengenal
agar meminimalisasi terjadinya penyusupan oleh intelijen dan
provokator-provokator lainnya. Massa aksi bertahan dan mengadakan aksi damai
dengan orasi, menghadap kepada para aparat yang sudah penuh berada di
belakang pagar stasiun (tetapi, belum mengambil posisi untuk memulai
penggusuran).[39]
Seperti perkiraan sebelumnya, penggusuran pada pagi hari itu
berada dalam suhu yang ‘panas.’ Pasukan yang diturunkan sangat besar, menurut
Pak Hamzah, sekitar seribu pasukan gabungan dari TNI-Marinir, Brimob Polri,
Polres Jakarta Barat, dan PKD. Nuansa bentrok pun telah ada sejak awal. Pada
titik ini, Pegiat Usaha berusaha melobi kepolisian untuk tidak terlibat dalam
penggusuran, apalagi melakukan kekerasan kepada Pegiat Usaha dan warga.
Pegiat Usaha justru berharap kepolisian berpihak pada Pegiat Usaha dan warga.
Polisi dari Polres Jakarta Barat mengaku hanya mengamankan saja. Bahkan
menurut mereka, bila Pegiat Usaha dan warga mampu mengadang PKD dalam waktu
satu jam, mereka akan mengambil alih dan membubarkan penggusuran dari PT. KAI
ini. Namun, mereka tak bisa bertanggung jawab dan mengontrol Brimob karena
berbeda garis komando.[40]
Akhirnya, aparat penggusur yang dipimpin oleh Drajat mulai
mengambil posisi menyerang sekitar pukul 10.00. Terjadi aksi saling mendorong
antara aparat dengan Pegiat Usaha yang membentuk barisan bungker. Tiba-tiba,
seseorang dari dalam barisan Pegiat Usaha melemparkan botol kepada para PKD.
Seketika, terjadi chaos—PKD-PKD ‘preman’ tersebut langsung membalas dan
memborbardir Pegiat Usaha dengan botol dan batu. Bungker pecah, barisan
langsung terlibat penyerangan secara langsung dengan aparat, yang beberapa memegang
linggis. ‘Pasukan khusus’ dari Pegiat Usaha melempari aparat dengan feses,
sementara aparat penggusur menembakkan gas air mata bertubi-tubi. Pertempuran
akhirnya menyempit dalam koridor-koridor samping kios, dengan pelemparan batu
secara besar-besaran dari kedua belah pihak. Di saat bersamaan, aparat mulai
merobohkan kios-kios yang ada di sekitar plasa. Saling memukul dan melempari
batu berlangsung hingga sekitar setengah jam ke depan.
Para Pegiat Usaha terdesak mundur hingga ke jalan raya dan sudah
dikepung oleh pihak kepolisian yang dilengkapi perisai anti-huru-hara, yang
menjaga agar Pegiat Usaha tidak bisa pergi. Akhirnya, setelah terjadi
negosiasi dengan beberapa Pegiat Usaha dan pihak dari LBHJ, beberapa dari
aparat kepolisian didesak untuk masuk ke Stasiun Pos Duri dan mengamankan PKD
yang merupakan kriminal sesungguhnya. Polisi akhirnya membentuk barisan jaga
antara rombongan PKD dengan para Pegiat Usaha, yang dibatasi oleh lorong atau
koridor panjang di samping kios-kios. Baku hantam dengan menggunakan batu dan
beton tetap dilakukan Pegiat Usaha secara jarak jauh dari seberang kali ke
arah plasa.
Jalan raya sudah ditutup dan dikepung oleh kepolisian,
seakan-akan sudah disengaja agar Pegiat Usaha tidak bisa ke mana-mana.
Satu-satunya jalan keluar adalah melalui pasar, hingga keluar ke areal rel
kereta api. Ternyata, sampai di sana, pertempuran antara Pegiat Usaha dengan
aparat sudah berubah menjadi perang skala besar antara warga di
kampung-kampung sekitar dengan semua aparat yang ada di stasiun. Warga yang
kemungkinan juga dikompori oleh provokator terlibat lempar-lemparan batu
dengan aparat. Bahkan, beberapa kaca dari fasilitas stasiun juga dirusak dan
dilempari batu. Kepolisian membalas dengan melempar batu dan menembak gas air
mata ke arah massa.
Akhirnya, massa aksi terpisah-pisah dan terbubarkan. Beberapa
Pegiat Usaha, mahasiswa dan massa aksi lainnya berkumpul di kantor kelurahan,
sementara sisa massa ada yang bertempur di areal rel kereta api. Areal
kios-kios Pegiat Usaha di depan Stasiun terus dihancurkan oleh PKD, sementara
pihak kepolisian mengamankan lokasi. Sayangnya, mereka mengamankan lokasi
dari para Pegiat Usaha, tidak mengamankan lokasi dari para PKD yang sedang
menggusur secara inkonstitusional. Penulis dan beberapa kawan mahasiswa
sendiri ada di lokasi hingga sekitar sebelum Ashar, dan sempat beristirahat
di salah satu rumah warga yang ada di perkampungan samping rel sembari
menunggu agar kondisi aman.
Perjuangan
Pasca-Penggusuran
Setelah kios dan rumah roboh semua, Pegiat Usaha dan warga
sepakat untuk tetap melanjutkan perjuangan melawan proses pemiskinan dan
peminggiran ini. Dua hari setelah Stasiun Pos Duri digusur, giliran Stasiun
UI digusur. Pada perlawanan tersebut, Pegiat Usaha Duri mengirimkan sekitar
lima belas orang untuk ikut bergabung. Walaupun akhirnya, perlawanan di
Stasiun UI juga kalah, mereka tidak menyerah. Pertemuan Perpustabek pun
digelar kembali. Pertemuan tersebut untuk saling menguatkan antara Pegiat
Usaha dan mencari solusi pasca kios mereka digusur. Salah satu opsi yang
ditawarkan adalah membuat koperasi Pegiat Usaha sebagai usaha menyambung
ekonomi pasca penggusuran tersebut. Tak dapat disangkal bahwa penggusuran ini
membawa dampak sangat besar kepada perekonomian Pegiat Usaha, karena umumnya
berjualan di kios merupakan
satu-satunya pekerjaan mereka. Selain itu, juga membawa dampak psikologis,
terutama pada anak-anak.
Berbarengan dengan proses usaha koperasi dibuat, Pegiat Usaha
dan warga Duri masih berjuang mendapatkan solusi dari Pemerintah Provinsi Jakarta.
Hingga enam bulan pasca mereka digusur, solusi itu pun belum terealisasi
meskipun perkembangan positif didapatkan. Untuk warga, mereka hingga kini
masih berjuang untuk mendapatkan rumah susun di Angke. Sementara Pegiat Usaha
Stasiun berusaha mendapatkan kios di Pasar Duri. Mereka saat ini sedang dalam
tahap melengkapi berkas-berkas sebagai persyaratan untuk itu. Koperasi Pegiat
Usaha, akhirnya diresmikan pada November kemarin. Koperasi tersebut dibuat
untuk memberikan bantuan kepada Pegiat Usaha atau anggotanya sebagai upaya
bertahan hidup pasca digusur.[41]
Di samping perjuangan untuk dapat subsisten secara ekonomi,
Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri juga masih bergabung dengan Perpustabek dalam
upaya menyusun gugatan class action kepada PT. KAI. Gugatan class action
adalah gugatan hukum yang dilayangkan suatu kelompok yang memiliki
kepentingan sama kepada suatu entitas hukum tertentu, dalam hal ini adalah
PT. KAI mengenai penggusuran sepihaknya. Hingga saat ini proses tersebut
masih berjalan dengan mengumpulkan data-data yang diperlukan sebagai bahan
gugatan. Perjuangan Perpustabek pun masih berlanjut hingga sekarang meski
dengan napas yang berat.
Penutup
Dari argumentasi di atas, dapat disimpulkan bahwa perlawanan
yang dilakukan Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri dalam menolak penggusuran
sepihak yang dilakukan oleh PT. KAI merupakan suatu upaya untuk menuju hak
atas kota. Meskipun pada akhirnya kalah—dalam hal ini Pegiat Usaha akhirnya
tergusur—perlawanan tersebut bisa dilihat sebagai salah satu bentuk upaya
merebut hak atas kota. Melalui perjuangan aksi massa pada saat penggusuran
maupun melalui strategi diplomasi, perlawanan bertujuan untuk merebut kontrol
demokratis warga kota atas pembangunan kotanya. Hal itu merupakan respons
atas pembangunan kota yang meminggirkan Pegiat Usaha melalui suatu skema yang
disebut dengan akumulasi melalui perampasan (accumulation by disposession) dengan dalih ‘penataan’ stasiun.
Padahal, pada dasarnya, pembangunan itu hanya bertujuan untuk menjadikan kota
sebagai mesin pertumbuhan ekonomi guna melayani kepentingan kelas borjuasi
nasional dan internasional.
Perlawanan yang dilakukan Pegiat Usaha dan warga Stasiun Pos
Duri ini bisa menjadi contoh bagi kasus-kasus sejenis. Dengan semakin
menguatnya politik-ekonomi neoliberal di Indonesia, pembangunan kota yang
meminggirkan tersebut akan sering dan selalu terjadi. Oleh karena itu,
kebutuhan masyarakat yang terorganisasi semakin nyata. Pembangunan gerakan
sosial yang luas sangat penting untuk mengambil kembali kendali yang mereka
miliki, yang telah begitu lama lepas, dan melembagakan model baru atas
kehidupan kota. Hak atas kota harus direbut sebagai bentuk kedaulatan warga
kota atas kotanya sendiri. Hal ini penting karena, mengutip salah satu Dosen Politik Perkotaan, wargalah yang
sehari-hari membentuk kota. Semoga tulisan ini bisa menjadi pelajaran bagi
aktivis, pemerhati dan orang-orang yang peduli dengan peminggiran masyarakat
di kota-kota karena sebuah pembangunan yang berbasiskan pada akumulasi
kapital. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar