Sabtu, 12 April 2014

Gerakan Mahasiswa dan Pemilu 2014

Gerakan Mahasiswa dan Pemilu 2014

Inggar Saputra  ;   Mahasiswa Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia
OKEZONENEWS, 11 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Pemilihan Umum 2014 berjalan semakin dekat. Berbagai persiapan terus dilakukan para aktor politik strategis seperti penyelenggara pemilu dan partai politik. Wajar memang sebab agenda pemilu dinilai akan menentukan wajah demokrasi dan kepemimpinan nasional ke depan. Jika pemilu berjalan lancar dan sesuai ekspektasi publik, masa depan rakyat Indonesia dalam berbagai dimensi kehidupan diyakini akan semakin membaik. Sebaliknya, penundaan pemilu berpotensi menghasilkan konflik, kerawanan sosial dan terganggunya stabilitas pemerintahan dalam melayani kebutuhan masyarakat secara luas.

Sejujurnyanya memang tidak ada yang salah jika masyarakat berharap besar kepada kesuksesan pemilu yang akan menentukan kepemimpinan nasional. Wajar pula jika agenda itu menjadi perhatian bersama masyarakat Indonesia, aktor politik, media massa, dunia internasional dan kalangan yang peduli kepada demokrasi di Indonesia. Sebab pemilu sejatinya merupakan indikator bagaimana proses demokrasi Indonesia, apakah berjalan dengan tetap berpedoman kepada kepentingan masyarakat atau segelintir elite politik saja. Padahal sejatinya demokrasi adalah manifestasi kepentingan dari, oleh dan untuk rakyat.

Tapi alih-alih menegakkan demokrasi, ajang pemilu meninggalkan proses yang memiriskan hari. Meski masih menyisakan waktu dua bulan, proses menuju pemilu yang luber dan jurdil masih meninggalkan banyak masalah. Mulai dari buruknya rekrutmen caleg yang dilakukan parpol, ancaman politik transaksional selama masa kampanye dan menjelang pencoblosan, belum beresnya logistik pemilu yang seharusnya diselesaikan KPU dan munculnya gugatan pemilu serentak yang belakangan diputuskan Mahkamah Konstitusi akan dimulai pada tahun 2019. Segala persoalan itu meninggalkan sebuah pertanyaan mendasar apakah proses pemilu akan dapat berjalan lancar? Kekhawatiran itu pantas dihadirkan, mengingat waktu penyelenggaraan semakin dekat sehingga diperlukan kerja efektif dan efisien dari semua pemangku kepentingan. Kita sepantasnya belajar dari kesalahan pemilu 2009 yang diwarnai banyak kecurangan sehingga menimbulkan protes dan melukai demokrasi.

Posisi Gerakan Mahasiswa

Dalam  menghadapi pemilu yang akan berlangsung 9 April 2014, tentunya banyak unsur sosial-politik yang terlibat dengan berbagai variansi kepentingannya. Mereka berburu, berlomba dan berkompetisi mengejar kekuasaan yang dicerminkan dengan perjuangan mendapatkan kepemimpinan baik dalam ranah eksekutif dan legislatif Itu dapat terlihat dari maraknya wajah calon anggota legislatif (caleg) dan calon presiden (capres) yang menghiasi media massa maupun baliho dan spanduk di sepanjang jalan. Mereka  mempromosikan dirinya sehingga kelak mendapatkan simpati rakyat yang berujung kepada bagaimana mampu melenggang ke kursi kekuasaan.

Di tengah derasnya peta kekuatan politik, ada satu elemen politik yang tak dapat dilupakan yakni mahasiswa. Mereka adalah kelompok strategis yang merupakan bagian dari rakyat, berpendidikan tinggi dan melek politik yang tersebar di berbagai kampus dan tergabung dalam Organisasi Kemahasiswaan dan pemuda (OKP). Dengan bekal kemampuan intelektual, para mahasiswa adalah salah satu kunci yang menentukan kesuksesan pemilu. Untuk itu, sudah selayaknya mereka dilibatkan dalam mengawal pemilu melalui partisipasi aktif lembaga kepemiluan.

Dalam memandang Pemilu, aktivis mahasiswa sebagai insan terdidik-tercerahkan memiliki empat tugas penting. Pertama, mendidik rakyat agar melek politik sehingga tidak salah menentukan pilihannya. Mahasiswa diharapkan mampu mendukung terciptanya demokratisasi, mendorong rakyat agar memilih pemimpin berkualitas, kompeten dan memiliki gagasan segar untuk membuat Indonesia lebih baik. Para aktivis mahasiswa juga diharapkan mampu menjagar jarak agar tidak bersentuhan dengan politik praktis dalam wacana yang berlebihan sehingga tetap mampu mempertahankan nilai independensinya sehingga idealisme perjuangan lebih dapat terjaga. Ini penting sebab mengutip Rizky Umar (2013) berkaca pada pengalaman sebelumnya, gerakan mahasiswa memiliki satu problem serius yakni masih kuatnya cengkeraman dan hegemoni partai politik patron (yang dibawa oleh senior), sehingga menyebabkan banyak aktivitas gerakan seperti ewuh-pakewuh dan setengah-setengah.

Kedua, mengkampanyekan pemilu yang berintegritas dan budaya politik santun. Tak dipungkiri, kontestasi politik dalam pemilu sangat tinggi sehingga saling sindir antar parpol, politik uang dan kampanye negatif banyak bermunculan. Pada situasi inilah, aktivis mahasiswa dituntut kepekaan politik nilainya sehingga ajang pemilu mampu menampilkan budaya politik santun sehingga mampu mencapai demokrasi subtansial yang mentransaksikan gagasan dan visi pembangunan Indonesia ke depan. Ketika itu terjadi, maka masyarakat akan mendapatkan pencerdasan politik dari adanya pesta demokrasi tersebut.

Ketiga, mengawal proses pemilu yang disinyalir akan meninggalkan beberapa problema kerawanan sosial sehingga dikhawatirkan menimbulkan dampak kurang baik terhadap keamanan dalam negeri. Tugas menjaga stabilitas keamanan jelas merupakan pekerjaan bersama sehingga kedamaian tetap dirasakan masyarakat ketika pemilu dijalankan. Konteks itu, mahasiswa harus mampu mendorong semua pihak tetap mengedepankan rasionalitas, mentalitas siap menang dan kalah serta tidak mengutamakan kekerasan dalam menyikapi hasil pemilu kelak. Ketika terjadi perbedaan pandangan dalam menyikapi sebuah persoalan dalam pemilu, perlu dikedepankan dialog intensif sehingga harmonisasi dan tertib sosial dapat berjalan baik.

Keempat, mengadvokasi berbagai temuan pelanggaran selama proses pemilu. Selama pelaksanaan pemilu, pelanggaran dipastikan akan banyak dilakukan partai politik untuk mendapatkan kemenangan. Kondisi ini membuat mahasiswa dituntut berfikir kritis dalam menyikapi pelanggaran dengan mengedepankan kerjasama dengan lembaga pemantau pemilu dan aparat penegak hukum sehingga pelanggaran yang ada dapat diberikan sanksi tegas. Hukuman itu diperlukan agar pelanggaran serupa tidak terulang dan menjadi pelajaran yang mendidik untuk kehidupan demokrasi di masa mendatang.

Akhirnya gerakan mahasiswa perlu mengingatkan dirinya agar dapat berperan maksimal dalam menyongsong perubahan sosial di tahun politik ini. Untuk itu gerakan mahasiswa harus mampu menampilkan dirinya sebagai poros kekuataan politik alternatif yang visioner, tidak mudah terjebak kepada fragmatisme partai politik. Sebab mahasiswa adalah kelompok netral dimana masyarakat menitipkan harapan proses pengawalan pemilu dapat berjalan maksimal sehingga perbaikan kesejahteraan hidup masyarakat dapat tercipta. Hidup Mahasiswa Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar