Sabtu, 12 April 2014

Politisasi Sistem Noken di Papua

Politisasi Sistem Noken di Papua

Anthon Raharusun  ;   Dosen Fakultas Hukum Universitas Yapis Papua,
Sedang menyelesaikan program doktor (S-3) Ilmu Hukum di Universitas Indonesia
SINAR HARAPAN, 11 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan peran setiap lembaga negara haruslah sama-sama kuat dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan check and balances. Akan tetapi, jika lembaga-lembaga tersebut tidak berfungsi baik, kinerjanya tidak efektif, atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya, yang sering terjadi adalah partai politik (parpol) menganggap dirinya menguasai poros-poros kekuasaan. Para parpol akan semakin merajalela menguasai dan mengendalikan segala proses penyelenggaraan fungsi pemerintahan.

Sistem politik dan kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip check and balances dalam artian yang luas. Sebaliknya, efektif bekerjanya lembaga penyelenggara pemilihan umum (pemilu) berdasarkan konstitusi dan perundang-undangan juga menentukan kualitas sistem kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negera.

Semua ini tentu berkaitan erat dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir bebas dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Tradisi berpikir atau kebebasan berpikir itu pada gilirannya memengaruhi tumbuh berkembangnya prinsip-prinsip demokrasi. Pelembagaan demokrasi itu pada dasarnya sangat ditentukan organisasi partai politik sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi.

Beranjak dari pandangan tersebut, dalam perspektif tradisi dan kultur demokrasi di tingkat lokal, Papua, dengan berbagai entitas kemajemukan budaya dan adat istiadat yang, tentu selain unik, memberikan dampak tersendiri terhadap perkembangan dan kemajuan demokrasi. Itu dilihat dari perspektif noken (sejenis tas yang dianyam/ dirajut dari serat kayu tertentu yang tumbuh di hutan), yang kemudian digunakan sebagai instrumen pengganti kotak suara dalam pemilu di Papua. Dalam konteks ini, noken dapat dipandang dari dua perspektif.

Pertama, noken sebagai simbol entitas budaya. Noken dipakai sebagai instrumen demokrasi (baca: pemilu). Sebagai entitas budaya, noken tetap harus dihormati, dihargai, dan dilestarikan dalam khazanah budaya bangsa. Jadi pada tataran ini. Keberadaannya tidak perlu diperdebatkan lagi, bahkan tidak perlu dipolitisasi untuk kepentingan pesta demokrasi lima tahunan di Papua, khususnya di 16 kabupaten di pegunungan Papua.

Kedua,noken ditempatkan sebagai instrumen (sarana) demokrasi (baca: dalam pemilu). Karena itu, ini perlu debatable dalam konteks pemilu di Papua. Jangan sampai penggunaan noken sebagai pengganti kotak suara hanya dipakai sebagai sarana politik atau akal-akalan yang mengatasnamakan masyarakat Papua. Ini tentu sangat berbahaya bagi kemajuan dan peradaban demokrasi di Papua.

Penggunaan Noken sebagai pengganti kotak suara mulai diperkenalkan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan legislatif (pileg) di beberapa wilayah kabupaten di pegunungan tengah Papua, dilakukan dengan cara budaya setempat. Penggunaan noken sebagai pengganti kotak suara ini dilakukan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 47-48/PHPU.A-VI/2009), tertanggal 9 Juni 2009 dalam sengketa Pilkada Kabupaten Yahukimo 2009. Saat itu, MK memperbolehkan menggunakan noken dalam pemungutan suara di beberapa daerah di wilayah pegunungan. Putusan MK yang melegalkan penggunaan noken hanyalah bentuk penghargaan terhadap keberagaman budaya dalam kemajemukan Indonesia.

Namun, putusan MK tersebut tidak dapat dipandang atau ditafsirkan sebagai suatu norma hukum yang akan digunakan sebagai dasar hukum penggunaan noken sebagai sebuah “sistem” pemilu di Papua. Noken hanyalah sebuah simbol budaya dan tidak dapat digunakan secara permanen, sebagai instrumen demokrasi dalam pemilu di Papua. Itu karena sistem seperti itu tidak akan pernah mendidik masyarakat untuk maju dalam peradaban berdemokrasi.

Masyarakat mestinya terus diajarkan menyadari hak, kewajiban, serta tanggung jawab konstitusionalnya sebagai warga negara. Bukan sebaliknya, masyarakat terus menjadi objek untuk kepentingan elite-elite politik yang terus memolitisasi atas nama masyarakat dengan dalil “kebodohan dan keterbelakangan”.

Jika demikian, di manakah tanggung jawab kita sebagai bangsa? Dalam hubungan ini, politisasi terhadap “sistem” noken yang terus terjadi dalam pemilu di Papua hanya melahirkan politikus-politikus yang tidak berkualitas dan tidak berwawasan sebagai negarawan.

Hal tersebut karena salah satu indikator kemajuan demokrasi akan sangat ditentukan dari kualitas sumber daya manusia para politikus yang dipilih secara demokratis mewakili kepentingan rakyat. Rakyatlah yang semestinya menentukan kualitas para wakil rakyat. Bukan sebaliknya, rakyat dipolitisasi untuk menentukan kualitas para politikus.

Jika ini terus terjadi, masyarakat Papua terus mundur dalam dan tidak akan pernah maju dalam peradaban demokrasi. Biarkan masyarakat bebas menggunakan hak pilih mereka secara demokratis, sesuai hati nuraninya, tanpa upaya masif atau paksaan dengan cara memolitisasi noken sebagai suatu keniscayaan dalam pesta demokrasi di Papua.

Di sinilah dibutuhkan peran penting pemerintah dan lembaga penyelenggara pemilu dalam mengantarkan kemajuan masyarakat ke pintu gerbang demokrasi Indonesia. Ini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kemajuan suatu bangsa dan negara.

Sebagai anak bangsa, kita tentu tidak pernah berpikir terus-menerus membodohi atau membohongi masyarakat dengan dalil apa pun. Semoga Pemilu 2014 ini jauh lebih berkualitas, lebih bermartabat, dan lebih berdemokratis dari pemilu sebelumnya. Semoga juga ini menjadi momentum penting dalam membangun peradaban masyarakat, bangsa, dan negara dari Sabang hingga Merauke.

Akhirnya, saya berharap, ke depan jangan pernah ada lagi politisasi terhadap sistem noken ini dalam pemilu di Papua, atas nama masyarakat pegunungan di Papua. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar