Politisasi
Sistem Noken di Papua
Anthon Raharusun ; Dosen Fakultas Hukum
Universitas Yapis Papua,
Sedang menyelesaikan program doktor (S-3) Ilmu Hukum di
Universitas Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 11 April 2014
Dalam
suatu negara demokrasi, kedudukan dan peran setiap lembaga negara haruslah
sama-sama kuat dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan check and
balances. Akan tetapi, jika lembaga-lembaga tersebut tidak berfungsi baik,
kinerjanya tidak efektif, atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya,
yang sering terjadi adalah partai politik (parpol) menganggap dirinya
menguasai poros-poros kekuasaan. Para parpol akan semakin merajalela
menguasai dan mengendalikan segala proses penyelenggaraan fungsi pemerintahan.
Sistem
politik dan kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem
ketatanegaraan berdasarkan prinsip check and balances dalam artian yang luas.
Sebaliknya, efektif bekerjanya lembaga penyelenggara pemilihan umum (pemilu)
berdasarkan konstitusi dan perundang-undangan juga menentukan kualitas sistem
kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negera.
Semua
ini tentu berkaitan erat dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur
berpikir bebas dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Tradisi berpikir
atau kebebasan berpikir itu pada gilirannya memengaruhi tumbuh berkembangnya
prinsip-prinsip demokrasi. Pelembagaan demokrasi itu pada dasarnya sangat
ditentukan organisasi partai politik sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
sistem demokrasi.
Beranjak
dari pandangan tersebut, dalam perspektif tradisi dan kultur demokrasi di
tingkat lokal, Papua, dengan berbagai entitas kemajemukan budaya dan adat
istiadat yang, tentu selain unik, memberikan dampak tersendiri terhadap
perkembangan dan kemajuan demokrasi. Itu dilihat dari perspektif noken
(sejenis tas yang dianyam/ dirajut dari serat kayu tertentu yang tumbuh di
hutan), yang kemudian digunakan sebagai instrumen pengganti kotak suara dalam
pemilu di Papua. Dalam konteks ini, noken dapat dipandang dari dua
perspektif.
Pertama,
noken sebagai simbol entitas budaya. Noken dipakai sebagai instrumen
demokrasi (baca: pemilu). Sebagai entitas budaya, noken tetap harus
dihormati, dihargai, dan dilestarikan dalam khazanah budaya bangsa. Jadi pada
tataran ini. Keberadaannya tidak perlu diperdebatkan lagi, bahkan tidak perlu
dipolitisasi untuk kepentingan pesta demokrasi lima tahunan di Papua,
khususnya di 16 kabupaten di pegunungan Papua.
Kedua,noken
ditempatkan sebagai instrumen (sarana) demokrasi (baca: dalam pemilu). Karena
itu, ini perlu debatable dalam konteks pemilu di Papua. Jangan sampai
penggunaan noken sebagai pengganti kotak suara hanya dipakai sebagai sarana
politik atau akal-akalan yang mengatasnamakan masyarakat Papua. Ini tentu
sangat berbahaya bagi kemajuan dan peradaban demokrasi di Papua.
Penggunaan
Noken sebagai pengganti kotak suara mulai diperkenalkan dalam pemilihan
kepala daerah (pilkada) dan pemilihan legislatif (pileg) di beberapa wilayah
kabupaten di pegunungan tengah Papua, dilakukan dengan cara budaya setempat.
Penggunaan noken sebagai pengganti kotak suara ini dilakukan berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 47-48/PHPU.A-VI/2009), tertanggal 9 Juni
2009 dalam sengketa Pilkada Kabupaten Yahukimo 2009. Saat itu, MK
memperbolehkan menggunakan noken dalam pemungutan suara di beberapa daerah di
wilayah pegunungan. Putusan MK yang melegalkan penggunaan noken hanyalah
bentuk penghargaan terhadap keberagaman budaya dalam kemajemukan Indonesia.
Namun,
putusan MK tersebut tidak dapat dipandang atau ditafsirkan sebagai suatu
norma hukum yang akan digunakan sebagai dasar hukum penggunaan noken sebagai
sebuah “sistem” pemilu di Papua. Noken hanyalah sebuah simbol budaya dan
tidak dapat digunakan secara permanen, sebagai instrumen demokrasi dalam
pemilu di Papua. Itu karena sistem seperti itu tidak akan pernah mendidik
masyarakat untuk maju dalam peradaban berdemokrasi.
Masyarakat
mestinya terus diajarkan menyadari hak, kewajiban, serta tanggung jawab
konstitusionalnya sebagai warga negara. Bukan sebaliknya, masyarakat terus
menjadi objek untuk kepentingan elite-elite politik yang terus memolitisasi
atas nama masyarakat dengan dalil “kebodohan dan keterbelakangan”.
Jika
demikian, di manakah tanggung jawab kita sebagai bangsa? Dalam hubungan ini,
politisasi terhadap “sistem” noken yang terus terjadi dalam pemilu di Papua
hanya melahirkan politikus-politikus yang tidak berkualitas dan tidak
berwawasan sebagai negarawan.
Hal
tersebut karena salah satu indikator kemajuan demokrasi akan sangat
ditentukan dari kualitas sumber daya manusia para politikus yang dipilih
secara demokratis mewakili kepentingan rakyat. Rakyatlah yang semestinya
menentukan kualitas para wakil rakyat. Bukan sebaliknya, rakyat dipolitisasi
untuk menentukan kualitas para politikus.
Jika ini
terus terjadi, masyarakat Papua terus mundur dalam dan tidak akan pernah maju
dalam peradaban demokrasi. Biarkan masyarakat bebas menggunakan hak pilih
mereka secara demokratis, sesuai hati nuraninya, tanpa upaya masif atau
paksaan dengan cara memolitisasi noken sebagai suatu keniscayaan dalam pesta
demokrasi di Papua.
Di
sinilah dibutuhkan peran penting pemerintah dan lembaga penyelenggara pemilu
dalam mengantarkan kemajuan masyarakat ke pintu gerbang demokrasi Indonesia.
Ini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kemajuan suatu bangsa dan
negara.
Sebagai
anak bangsa, kita tentu tidak pernah berpikir terus-menerus membodohi atau
membohongi masyarakat dengan dalil apa pun. Semoga Pemilu 2014 ini jauh lebih
berkualitas, lebih bermartabat, dan lebih berdemokratis dari pemilu
sebelumnya. Semoga juga ini menjadi momentum penting dalam membangun
peradaban masyarakat, bangsa, dan negara dari Sabang hingga Merauke.
Akhirnya,
saya berharap, ke depan jangan pernah ada lagi politisasi terhadap sistem
noken ini dalam pemilu di Papua, atas nama masyarakat pegunungan di Papua. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar