Guru
Inti, Nasibmu Kini
Mukani ; Guru SMAN 1 Jombang
|
KOMPAS,
16 April 2014
PELAKSANAAN sosialisasi kurikulum
2013 memasuki babak baru. Mulai 1 Februari 2014, sejumlah 1.500 guru inti
akan menyandang status grounded. Guru inti tidak dilibatkan lagi dalam semua
kegiatan sosialisasi kurikulum 2013.
Sistem yang akan digunakan dalam
kegiatan sosialisasi kurikulum 2013 adalah langsung dari instruktur nasional
kepada guru sasaran.
Sebanyak 33.000 lebih guru
sasaran akan dilatih agar mampu menjadi instruktur nasional. Dengan jumlah
itu, pelatihan 1,4 juta guru sasaran diharapkan tercapai.
Predikat instruktur nasional
sebenarnya bukan sembarang status. Untuk meraihnya, seorang calon harus mampu
memahami konsep pendidikan dan kurikulum secara luas. Biasanya, status
instruktur nasional diberikan kepada para dosen yang sudah menduduki jabatan
lektor.
Fakta di lapangan menunjukkan
bahwa status instruktur nasional ”sengaja dibiaskan” menjadi guru inti oleh
pemilik predikatnya. Bagi guru sasaran yang kurang jeli, aksi ini dengan
mudah dilaksanakan saat kegiatan sosialisasi kurikulum 2013. Biasanya, guru
inti mengaku sebagai instruktur nasional di depan para peserta meski tanpa
kapasitas keilmuan memadai.
Guru inti sebagian tersaring
melalui berbagai lomba guru berprestasi. Namun, program yang di beberapa
daerah disebutmaster teacher ini ternyata ”kurang menarik” bagi para guru.
Ini berdampak pada sedikitnya guru yang berpartisipasi.
Padahal, begitu menjadi
pemenang, ada prestasi tersendiri dan berimbas pada kenaikan jenjang karier,
walau kontribusi bagi kemajuan pendidikan di sekelilingnya masih
dipertanyakan.
Pemilihan guru berprestasi,
dalam tataran ideal, diharapkan mampu mencetak guru yang kompeten dan
mendukung sosialisasi kurikulum 2013. Caranya, dengan melahirkan peserta yang
mampu jadi ”contoh baik” dan penggerak perubahan di daerah asal tugas,
terutama di lingkungan kerja. Baik kepada sesama guru maupun kepada peserta
didik.
Secara normatif, program ini
akan diikuti oleh orang-orang pilihan dengan berbagai prestasi melalui
seleksi ketat. Baik dari kalangan guru, pengawas, maupun kepala sekolah.
Calon peserta minimal memiliki jabatan guru pembina atau IV/a, berijazah
magister, dan pernah menjadi juara paling tidak di tingkat daerah.
Mereka juga harus sudah lulus
sertifikasi guru dan pernah mengikuti pelatihan keguruan minimal tingkat
nasional. Calon peserta juga harus memiliki track record yang baik selama
menjadi guru dan tidak pernah berkasus.
Publikasi ilmiah
Melihat kriteria di atas, tidak
sulit menemukan calon peserta di setiap pelosok. Namun, sebenarnya, perlu
ditambahkan syarat terakhir untuk menjadi guru inti, yaitu kemampuan menulis
secara aktif. Karyanya juga harus dipublikasikan baik di media massa maupun
jurnal ilmiah yang memiliki ISSN atau buku ber-ISBN.
Pada tataran ini, kemampuan guru
untuk menghasilkan karya ilmiah dapat dibedakan menjadi empat tipe. Guru
model pertama adalah mereka yang sudah mampu menghasilkan karya tulis ilmiah
terpublikasikan secara kontinu. Rutinitas tugas guru untuk mengajar juga
sudah dilaksanakan dengan baik. Metode pembelajaran selalu berkembang
sehingga hasil dirasakan peserta didik, sesama guru, dan kepala sekolah.
Kedua adalah model guru yang
sebenarnya sudah mampu menghasilkan karya tulis, tetapi belum terpublikasikan
secara baik meski sudah sering menjadi juara penulisan. Sementara itu,
pembelajaran yang dilaksanakan beserta peserta didik masih standar sebagai
guru. Artinya, berbagai inovasi dan kreativitas belum lahir.
Pembelajaran masih sebatas transfer of knowledge dari guru kepada
peserta didik. Ironinya, model kedua ini diikuti perasaan malas dan tidak mau
berusaha agar karya tulisnya dipublikasikan dan dinikmati sesama guru dalam
cakupan lebih luas.
Model ketiga adalah para guru
yang masih belum mampu menghasilkan karya ilmiah, tetapi punya semangat
mewujudkan. Mereka terus belajar mendalami teknis penelitian dan kepenulisan.
Dengan semangat menggebu, mereka belajar untuk bisa, merasa malu jika tidak
bisa karena sudah ”dicap” sebagai guru profesional dan sudah lulus
sertifikasi.
Terakhir adalah model guru yang
sudah menikmati kemampuan yang dimiliki. Kompetensi dalam diri tidak
dikembangkan. Dalam beberapa kasus, model keempat ini ”menghalalkan”
jual-beli karya ilmiah sekadar untuk memenuhi persyaratan kenaikan pangkat.
Bangsa ini harus segera
berbenah. Dari keempat model di atas, hanya model pertama dan ketiga yang
akan menjadi guru produktif menulis. Agar menjadi master teacher, tidak sulit
terwujud jika yang direkrut dari kedua model itu terutama terkait produktivitas
dalam menghasilkan karya tulis ilmiah.
Untuk membangun sistem ini tentu
membutuhkan waktu cukup lama. Agenda pembaruan dalam upaya peningkatan mutu
guru di atas sudah saatnya menjadi tugas bersama dari stakeholdersdunia
pendidikan. Jika agenda-agenda ini mampu berjalan baik, maka mencari guru
bermutu lewat program master teacher bukan suatu yang sulit.
Dengan demikian, lahir guru inti
berkualitas. Bukan karena faktor kedekatan dengan dewan juri ataupun panitia
pelaksana. Tidak sekadar menyampaikan materi yang diperoleh dari training of trainer (ToT). Bahkan,
melalui kata-kata yang tidak bisa diubah. Redefinisi dan reorientasi terhadap
substansi dari master teacher memang
sudah saatnya dilakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar