Kamis, 17 April 2014

Guru Inti, Nasibmu Kini

Guru Inti, Nasibmu Kini

Mukani  ;   Guru SMAN 1 Jombang
KOMPAS, 16 April 2014

                                                                                         
                                                             
PELAKSANAAN sosialisasi kurikulum 2013 memasuki babak baru. Mulai 1 Februari 2014, sejumlah 1.500 guru inti akan menyandang status grounded. Guru inti tidak dilibatkan lagi dalam semua kegiatan sosialisasi kurikulum 2013.

Sistem yang akan digunakan dalam kegiatan sosialisasi kurikulum 2013 adalah langsung dari instruktur nasional kepada guru sasaran.

Sebanyak 33.000 lebih guru sasaran akan dilatih agar mampu menjadi instruktur nasional. Dengan jumlah itu, pelatihan 1,4 juta guru sasaran diharapkan tercapai.
Predikat instruktur nasional sebenarnya bukan sembarang status. Untuk meraihnya, seorang calon harus mampu memahami konsep pendidikan dan kurikulum secara luas. Biasanya, status instruktur nasional diberikan kepada para dosen yang sudah menduduki jabatan lektor.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa status instruktur nasional ”sengaja dibiaskan” menjadi guru inti oleh pemilik predikatnya. Bagi guru sasaran yang kurang jeli, aksi ini dengan mudah dilaksanakan saat kegiatan sosialisasi kurikulum 2013. Biasanya, guru inti mengaku sebagai instruktur nasional di depan para peserta meski tanpa kapasitas keilmuan memadai.

Guru inti sebagian tersaring melalui berbagai lomba guru berprestasi. Namun, program yang di beberapa daerah disebutmaster teacher ini ternyata ”kurang menarik” bagi para guru. Ini berdampak pada sedikitnya guru yang berpartisipasi.
Padahal, begitu menjadi pemenang, ada prestasi tersendiri dan berimbas pada kenaikan jenjang karier, walau kontribusi bagi kemajuan pendidikan di sekelilingnya masih dipertanyakan.

Pemilihan guru berprestasi, dalam tataran ideal, diharapkan mampu mencetak guru yang kompeten dan mendukung sosialisasi kurikulum 2013. Caranya, dengan melahirkan peserta yang mampu jadi ”contoh baik” dan penggerak perubahan di daerah asal tugas, terutama di lingkungan kerja. Baik kepada sesama guru maupun kepada peserta didik.

Secara normatif, program ini akan diikuti oleh orang-orang pilihan dengan berbagai prestasi melalui seleksi ketat. Baik dari kalangan guru, pengawas, maupun kepala sekolah. Calon peserta minimal memiliki jabatan guru pembina atau IV/a, berijazah magister, dan pernah menjadi juara paling tidak di tingkat daerah.

Mereka juga harus sudah lulus sertifikasi guru dan pernah mengikuti pelatihan keguruan minimal tingkat nasional. Calon peserta juga harus memiliki track record yang baik selama menjadi guru dan tidak pernah berkasus.

Publikasi ilmiah

Melihat kriteria di atas, tidak sulit menemukan calon peserta di setiap pelosok. Namun, sebenarnya, perlu ditambahkan syarat terakhir untuk menjadi guru inti, yaitu kemampuan menulis secara aktif. Karyanya juga harus dipublikasikan baik di media massa maupun jurnal ilmiah yang memiliki ISSN atau buku ber-ISBN.

Pada tataran ini, kemampuan guru untuk menghasilkan karya ilmiah dapat dibedakan menjadi empat tipe. Guru model pertama adalah mereka yang sudah mampu menghasilkan karya tulis ilmiah terpublikasikan secara kontinu. Rutinitas tugas guru untuk mengajar juga sudah dilaksanakan dengan baik. Metode pembelajaran selalu berkembang sehingga hasil dirasakan peserta didik, sesama guru, dan kepala sekolah.

Kedua adalah model guru yang sebenarnya sudah mampu menghasilkan karya tulis, tetapi belum terpublikasikan secara baik meski sudah sering menjadi juara penulisan. Sementara itu, pembelajaran yang dilaksanakan beserta peserta didik masih standar sebagai guru. Artinya, berbagai inovasi dan kreativitas belum lahir.

Pembelajaran masih sebatas transfer of knowledge dari guru kepada peserta didik. Ironinya, model kedua ini diikuti perasaan malas dan tidak mau berusaha agar karya tulisnya dipublikasikan dan dinikmati sesama guru dalam cakupan lebih luas.
Model ketiga adalah para guru yang masih belum mampu menghasilkan karya ilmiah, tetapi punya semangat mewujudkan. Mereka terus belajar mendalami teknis penelitian dan kepenulisan. Dengan semangat menggebu, mereka belajar untuk bisa, merasa malu jika tidak bisa karena sudah ”dicap” sebagai guru profesional dan sudah lulus sertifikasi.

Terakhir adalah model guru yang sudah menikmati kemampuan yang dimiliki. Kompetensi dalam diri tidak dikembangkan. Dalam beberapa kasus, model keempat ini ”menghalalkan” jual-beli karya ilmiah sekadar untuk memenuhi persyaratan kenaikan pangkat.

Bangsa ini harus segera berbenah. Dari keempat model di atas, hanya model pertama dan ketiga yang akan menjadi guru produktif menulis. Agar menjadi master teacher, tidak sulit terwujud jika yang direkrut dari kedua model itu terutama terkait produktivitas dalam menghasilkan karya tulis ilmiah.

Untuk membangun sistem ini tentu membutuhkan waktu cukup lama. Agenda pembaruan dalam upaya peningkatan mutu guru di atas sudah saatnya menjadi tugas bersama dari stakeholdersdunia pendidikan. Jika agenda-agenda ini mampu berjalan baik, maka mencari guru bermutu lewat program master teacher bukan suatu yang sulit.

Dengan demikian, lahir guru inti berkualitas. Bukan karena faktor kedekatan dengan dewan juri ataupun panitia pelaksana. Tidak sekadar menyampaikan materi yang diperoleh dari training of trainer (ToT). Bahkan, melalui kata-kata yang tidak bisa diubah. Redefinisi dan reorientasi terhadap substansi dari master teacher memang sudah saatnya dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar