Anas
dan Legitimasi Pilpres 2009
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III
DPR RI,
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
|
KORAN
SINDO, 03 April 2014
Lihat juga artikel Bambang Soesatyo (“Anas dan Kejahatan Pemilu
2009”)
di SUARA MERDEKA 03 April 2014
Data
mentah dari Anas Urbaningrum tentang aliran dana Bank Century memang
tendensius. Data itu membangkitkan dorongan untuk mempersoalkan legitimasi
hasil Pilpres 2009.
Karena
itu, menjadi sangat penting memahami dan mendalami saran mantan Wakil
Presiden Jusuf Kalla kepada KPKuntukfokusmenelusuri aliran dana Bank Century.
Mungkin terlalu dini untuk mengalkulasi dampak positifnegatif dari data
mentah yang diungkap Anas kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
itu. Namun, Indonesia patut bersyukur karena semangat mengungkap dan
menuntaskan proses hukum kasus Bank Century terus terjaga, bahkan sudah
mencatat progres yang cukup signifikan.
Dengan
menuntaskan kasus ini, setiap warga negara akan diingatkan bahwa sebesar apa
pun kuasa di genggaman Anda, dan setinggi apa pun jabatan Anda, Anda tidak
berhak bertindak semena- mena atau menyalahgunakan wewenang. Kontrol publik
melekat pada setiap figur penerima amanah rakyat. Di muka hukum, tidak ada
imunitas untuk penguasa dan para pejabat jika mereka bertindak dan
berperilaku amoral. Tanpa bermaksud memuji, keberanian Anas mengungkap data
mentah itu patut diapresiasi.
Dia
bahkan telah membawa kasus Bank Century ke area yang sangat-sangat sensitif,
dan mungkin juga sangat berbahaya bagi dirinya maupun keluarga. Baru-baru
ini, kepada penyidik KPK, Anas mengungkap data hasil audit akuntan independen
tentang penerimaan dan pengeluaran dana kampanye Partai Demokrat (PD) untuk
Pilpres (Pemilihan Presiden) 2009. Anas terang-terangan menduga ada aliran
dana Bank Century yang digunakan untuk kampanye Pilpres 2009. Konsekuensi
logisnya, data mentah versi Anas itu mengamini dugaan publik tentang
ketidakberesan pelaksanaan Pilpres 2009.
Sudah
lama masyarakat menggunjingkan dugaan kecurangan Pilpres 2009. Karena pengalaman
dan pergunjingan itu, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri sudah
berkali-kali menekankan pentingnya mewaspadai potensi kecurangan pemilu. Maka
itu, data mentah yang diungkap Anas memang mengarah pada upaya mengungkap
kecurangan pilpres. Sama artinya bahwa Anas telah memberikan kepada rakyat
benih untuk mempersoalkan legitimasi hasil Pilpres 2009. Persoalannya
kemudian adalah bagaimana semua institusi penegak hukum menyikapi data mentah
yang diungkap Anas itu.
Sadar
bahwa data mentah versi Anas itu sangat sensitif, KPK memang terkesan tidak
nyaman. Ketidaknyamanan penyidik KPK itu tercermin dari penuturan kuasa hukum
Anas, Firman Wijaya, yang mendampingi pemeriksaan Anas pada Jumat, 21 dan 28
Maret 2014. Penyidik KPK sedikit mengeluh dan bingung ketika Anas mengaku
menerima uang Rp300 juta dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang
digunakannya untuk membeli mobil Toyota Harrier. Begitu juga ketika Anas
mengungkap data tentang dugaan aliran dana Bank Century yang digunakan untuk
kampanye Pilpres 2009 oleh PD.
Menurut
Firman, seorang penyidik sampai berujar, ”Aduh...!
Bagaimana ini?” Dalam suasana tidak nyaman itu, penyidik menghentikan
pemeriksaan untuk istirahat. Firman pun mengungkapkan bahwa saat istirahat
itu para penyidik menggelar rapat. Suasana serupa berulang pada pemeriksaan
28 Maret 2014, ketika Anas membeberkan dugaan putra Presiden SBY, Edhie
Baskoro Yudhoyono atau Ibas, menerima uang USD200.000. Seorang penyidik KPK,
menurut Firman, kembali berujar, ”Aduh
Pak Anas, nanti kami...”.
Efek
data mentah Anas bukan hanya membuat penyidik tidak nyaman, namun KPK sadar
dan tahu betul bahwa apa yang diberikan Anas sarat risiko, bahkan risikonya sangat
besar. Persoalannya bukan lagi sekadar KPK berani atau tidak menindaklanjuti
data mentah itu, melainkan data tersebut cepat atau lambat pasti akan
membangun persepsi publik untuk mempersoalkan legitimasi hasil Pilpres 2009.
Logika Tanggung Jawab
Karena
itu, bisa dipahami jika KPK sangat berhati-hati menyikapi data mentah dari
Anas terebut. Itu sebabnya, Anas harus kembali membawa pulang satu bundel
dokumen bertuliskan ”Laporan Akuntan
Independen atas Penerapan Prosedur yang Disepakati terhadap Laporan
Penerimaan dan Penggunaan Dana Kampanye Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden 2009 Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Boediono serta Tim Kampanye Nasional.” Sedianya, dokumen
itu diserahkan Anas ke KPK.
Namun,
karena muatan dokumen itu tidak terkait kasus Hambalang, KPK menolak menerima
dokumen itu. Anas pun berjanji akan menyerahkan dokumen itu ke Bagian
Pengaduan Masyarakat di KPK sebagai laporan. Dalam konteks aliran dana Bank
Century itu, posisi Anas saat ini sangat relevan dengan pandangan mantan
Wapres Jusuf Kalla. Menelusuri aliran dana Bank Century bagi Kalla jauh lebih
penting. Kalla memberikan saran ini kepada KPK ketika dia diminta
mengomentari kemungkinan Wapres Boediono dipanggil sebagai saksi untuk
terdakwa kasus Bank Century, Budi Mulya. Penekanan Kalla ini secara tidak
langsung menyentuh data mentah milik Anas yang ditawarkan kepada KPK.
Saat
operasi penyelamatan Bank Century, Jusuf Kalla menjabat wapres merangkap
pelaksana tugas (Plt) presiden karena Presiden SBY sedang berada di luar
negeri. Maka itu, kasus Bank Century memang sarat misteri karena wapres/Plt
presiden sama sekali tidak tahu aliran dana dari instrumen FPJP (fasilitas
pinjaman jangka pendek) maupun dana talangan atau bailout yang kemudian
digelembungkan itu. Kalla tidak tahu karena dia tidak diberi laporan oleh
Komite Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK).
Padahal
dalam undang-undang tentang LPS jelas diatur bahwa LPS bertanggung jawab
langsung ke presiden. Ketika itu Plt presiden adalah Jusuf Kalla. Ketua KSSK
baru melapor kepada Kalla setelah munculnya ekses, saat KSSK tak mampu lagi
mengendalikan dan menghentikan penggelembungan dana bailout oleh LPS. Sangat
wajar jika Kalla, dalam nada sedikit emosional, menekankan pentingnya
menelusuri aliran dan pemanfaatan dana bailout untuk Bank Century. Apalagi,
jelas-jelas sudah terjadi rekayasa penggelembungan dari dana talanggan atau
bailout tersebut.
Rekomendasi
KSSK hanya Rp 632 miliar, tetapi realisasinya membengkak sampai Rp 6,7
triliun dan pencairan dana dari LPS baru dihentikan setelah Pilpres Juli 2009
selesai. Kalau mengikuti logika manajemen minus
kepentingan politik apa pun, pertanggungjawaban atas gelembung FPJP Bank
Century sangat mudah prosesnya. Acuannya adalah struktur. Bos besar LPS
sebagaimana bunyi UU adalah langsung presiden. Begitu juga menteri
keuangan/ketua KSSK. Bos besar menteri keuangan/KSSK juga presiden.
Cukup
dengan memanggil ketua dan anggota KSSK serta manajemen LPS, presiden bisa
mempertanyakan dan meminta pertanggungjawaban atas gelembung dana bailout Bank
Century itu. Setelah mendapatkan kejelasan, presiden sendiri bisa melaporkan
ke atau mengundang KPK memproses pertanggungjawaban hukum untuk pihak-pihak
yang diduga terlibat dalam upaya penggelembungan bailout itu. Kalau Presiden
dan Wapres Boediono tidak pernah berniat menunjukkan kemauan politik itu,
publik akan percaya pada data mentah dalam genggaman Anas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar