Apa
yang Diabaikan Feminis Liberal?
Rintis Susanti ; Kader PRP Komite Kota
Jakarta Pusat
|
INDOPROGRESS,
16 Februari 2014
SAYA mengapresiasi tulisan Amin
Mudzakkir yang mencoba mulai menanggapi kecenderungan artikulasi beberapa
kelompok feminis yang lebih banyak melayani kepentingan neoliberalisme,
dengan menempatkan Islamic state ibuism
sebagai hambatan utama dalam merayakan tubuh ke-perempuanan-nya. Sayangnya,
tuntutan
Amin di akhir tulisannya, menurut saya, masih terjebak dalam
perspektif yang menempatkan segala persoalan pengasuhan anak dan keluarga
kepada institusi keluarga (keluarga inti), yang terisolir dari masyarakat atau
kolektifnya. Saya tidak dapat bersepakat dengan asumsi Amin mengenai krisis
di dalam institusi keluarga, yang menurutnya, dikarenakan gugatan kaum
feminisme yang ‘terlalu jauh:’ perempuan bekerja upahan di luar rumah;
meningkatnya otonomi alat-alat reproduksi (biologis) perempuan; banyak
perempuan menuntut haknya, termasuk kelompok homoseksual; bergantung pada
langkah-langkah hidup yang mereka ambil sendiri (tertulis di paper Amin
halaman 10). Setidaknya begitu saya membaca tulisannya.
Pembacaan Amin mengenai
‘diperlukannya tanggung jawab publik yang lebih berarti untuk merekonstruksi
keluarga, termasuk fungsi-fungsinya, di era baru ini agar masa depan
anak-anak khususnya tetap terjamin dalam suasana psikososial yang sehat’ ini
seperti membahayakan masa depan gerakan feminis (sosialis). Kalau Amin lebih
cermat, ia berpotensi menemukan jalan keluarnya. Secara langsung Amin
menerjemahkan potensi usulan jalan keluar tersebut dengan mengutip Castells,
bahwa sebaiknya kaum feminis dan kaum agamawan berdialog untuk merumuskan
keluarga yang lebih egaliter. Dalam hal ini, Amin mengasumsikan ada
keseimbangan relasi kuasa di antara kaum feminis dan kaum agamawan pada
konteks Indonesia. Seolah pembentukan keluarga yang lebih egaliter harus
menunggu persetujuan dari kaum agamawan yang lebih banyak misoginisnya
daripada feminisnya. Baru di paragraf terakhir tulisannya, Amin, dengan
mengutip Castells dan tanpa penjelasan apa-apa, mengusulkan agar negara
menyelamatkan anak-anak yang menjadi korban dari gerakan anti-patriarki yang
‘terlalu jauh’ dan tidak bisa lagi ditangani oleh institusi keluarga yang
sedang krisis. Ini yang dimaksud sebagai politik re-distribusi oleh Amin.
Tanggapan saya ini hanya
tanggapan cepat, dan belum bermaksud memberikan tanggapan teoretik. Karena
eksperimentasi di lapangan butuh waktu sangat lama untuk abstraksi lebih jauh
lagi dari teori-teori yang sudah tersedia sekarang.
Beberapa keberatan
Namun, cara membaca masalah dan
usulan jalan keluar dari Amin, bagi beberapa kelompok feminis sosialis, terbaca
seperti ini: 1) memojokkan usaha-usaha emansipasi kaum perempuan, dengan
menyiratkan bahwa feminisme bergerak ‘terlalu jauh’ dan hanya akan
menghasilkan krisis pada institusi keluarga; 2) menundukkan kembali kaum
feminis ke bawah kuasa kaum agamawan (sepanjang tulisannya hanya menyebutkan
resistensi dari kaum fundamentalis agama), untuk merumuskan keluarga yang
lebih egaliter. Asumsinya adalah kaum feminis telah berbuat hal-hal buruk,
meninggalkan tugas utama mereka sebagai pengasuh anak-anak dengan sering
meninggalkan rumah, perbaikilah dengan berkonsultasi pada otoritas dominan di
masyarakat, yakni kaum agamawan.
Tidak ada penjelasan mengenai
bagaimana terjadinya krisis pada institusi keluarga (keluarga inti); mengapa
yang disebut sebagai korban hanyalah anak-anak ,sementara mengabaikan fakta
bahwa kaum perempuan yang bekerja upahan di luar rumah sekaligus dibebani
tugas pengasuhan anak; tidak membuka kemungkinan akan terbentuknya keluarga
yang lebih egaliter dalam bentuk selain keluarga inti (yang tertutup) yang
kita kenal saat ini; 3) karakter negara seperti apa yang harus dipertahankan
di era, yang menurut Amin, pasca-patriarki, agar dapat ikut ‘menyelamatkan’
anak-anak yang terlantar dari institusi keluarga tersebut.
Dalam hal kritik Amin terhadap
kelompok-kelompok feminis yang terjebak dan hanyut dalam politik neoliberal,
saya sangat setuju. Mereka merayakan tubuhnya sebagai perempuan, namun
melupakan dalam konteks apa perayaan tubuh itu diselenggarakan. Apakah dalam
konteks perempuan harus bekerja ke luar rumah, atau berorganisasi politik
sebagai feminis, dan merasakan situasi di jalanan perkotaan yang tidak aman
bagi perempuan yang harus bepergian sendiri. Mereka tidak mempertanyakan
lebih jauh mengapa kaum laki-laki dengan mudah memutuskan untuk memperkosa
tubuh perempuan. Alih-alih menjadikan perempuan sebagai kawan berjuangnya,
faktanya banyak perempuan hidup ketakutan akan pukulan-pukulan suami atau
keluarga laki-laki. Mereka juga tidak mempertanyakan darimana perilaku
represif terhadap perempuan ini bersumber, dari sejarah sosial-politik
Indonesia. Dan dengan begitu, tidak mempertanyakan secara serius ideologi
gender yang sejak lama dibangun oleh negara.
Bisakah itu semua dihadapi
secara individual oleh feminis? Lantas mengapa tuntutan-tuntutan kaum feminis
(liberal) terlalu memberi prioritas pada pembebasan tubuh atau seksualitas
perempuan yang berakar pada hegemoni konstruksi ibuisme dari negara yang
didominasi kelompok fundamentalis agama? Tepat di sini perbedaan cara membaca
akar masalah antara kaum feminis liberal (yang beruntung memiliki banyak
akses pada media perempuan dan komunitas kebudayaan) dan feminis sosialis.
Membaca masalah seksualitas
secara historis: penaklukan kehidupan berpolitik kaum perempuan progresif
pasca-1965
Bagi kaum feminis sosialis,
pembebasan tubuh atau seksualitas perempuan juga diperlukan, dan dilakukan
dengan keterlibatan kaum perempuan (maupun laki-laki) secara sosial-politik.
Karena yang dihadapi tidak hanya ketimpangan relasi kuasa antara perempuan
dan laki-laki dalam hubungan seksual, tapi juga hegemoni yang hampir sempurna
dari ideologi gender negara neoliberal: seksualitas perempuan dijadikan
komodifikasi dan simbol penaklukan oleh negara. Seksualitas perempuan dipilih
oleh negara (yang kemudian dipraktekkan secara luas di ranah masing-masing
rumah tangga oleh para lelaki patriarkh) sebagai objek politik penundukan
kaum perempuan dari sejarah gerakan perempuan yang sangat progresif pada masa
pra-1965. Selain itu, perempuan miskin diperjualbelikan dalam industri
prostitusi, pabrik jilbab dan mode fashion baju muslimah yang menjamur.
Jadi, tetap saja pembebasan
perempuan sebagai manusia yang sama bermartabatnya tidak hadir. Secara
sosial-politik direpresi kebebasan berpolitiknya, salah satunya juga melalui
politik seksualitas. Sehingga, pada generasi yang asing dengan sejarah
tragedi 1965, mereka tidak punya gambaran lain bagaimana menjadi perempuan
selain menjadi ibu yang baik ala PKK dan ibu yang sholehah ala kelompok
fundamentalis agama.
Hilang sudah gambaran
(identitas) kehidupan kaum perempuan pasca-kemerdekaan hingga pra-pembantaian
1965, yang begitu berdaya memajukan masyarakatnya. Kaum perempuan terlibat
aktif menyelesaikan persoalan-persoalan riil di masyarakat demi membangun
kemandirian ekonomi nasional, termasuk saling berkumpul sesama kaum perempuan
untuk membicarakan persoalan ke-perempuan-an yang juga ditekan dihadapan
rekan laki-laki seperjuangannya (perceraian dan pengabaian istri dan anak,
poligami, perkosaan, pemaksaan pernikahan, pernikahan usia dini, kedudukan
perempuan dalam rumah tangga diatur secara timpang dalam UU Perkawinan 1974,
pengasuhan anak kolektif, dsb). Karena potret keberdayaan kaum perempuan di
jaman itu telah distigma sebagai perempuan lacur nan kotor, yang lantas
ditertibkan dengan gempuran konstruksi negara Orde Baru tentang perempuan
ideal seperti PKK, dan pasca-Reformasi 1998, dilanjutkan dengan konstruksi
perempuan yang sholehah dan mengayomi keluarga ala kelompok fundamentalis
agama.
Tidak ada lagi gambaran
kehidupan perempuan yang aktif berpolitik. Satu-satunya gambaran emansipasi
perempuan yang populer di masyarakat adalah bagaimana caranya perempuan dapat
berkarir dengan sukses, dan tidak melupakan tugas-tugasnya di rumah. Menurut
kaum feminis sosialis, ini juga konstruksi perempuan ala negara neoliberal,
yang sayangnya, hanya bisa dicapai secara eksklusif oleh kelompok perempuan
kelas ekonomi menengah-atas. Bagi kelompok perempuan ekonomi bawah, hal itu
tidak berlaku. ‘Salah sendiri miskin,’ kira-kira begitu jawaban negara
neoliberal.
Apa daya, kelompok feminis
liberal tidak menantang kuasa negara neoliberal yang semacam itu, bahkan
semenjak masa pergerakan menjelang Reformasi 1998. Yang ada hanya kegiatan
charity menuntut penurunan harga susu bayi, dan tidak dimaksudkan terlibat
lebih jauh secara politik dalam gerakan melawan rezim otoriter-kapitalistik
saat itu, untuk menentang ideologi gender konstruksi negara. Inilah salah
satu keberhasilan politik seksual Orde Baru sejak 1965. Jadi tidak heran jika
hingga era pasca-1998, bahkan hingga kini, tuntutan gerakan perempuan yang
dapat mengarusutama dan muncul ke permukaan mayoritas berasal dari
kelompok-kelompok liberal, yang memprioritaskan tuntutan pembebasan perempuan
secara individual dan parsial, serta terpisah dari pembacaan akar masalah
yang bersumber dari eksploitasi oleh negara neoliberal. Akibatnya, apa yang
diperjuangkan (merayakan tubuh perempuan) jauh dari kebutuhan mendasar
kalangan perempuan ekonomi menengah-bawah. Apakah ini yang diperjuangkan
kelompok feminis liberal? Untuk mengeksklusi sesama perempuan dari lapisan
sosial-ekonomi yang berbeda? Kalau begitu, bagi kami itu bukan pembebasan
yang sejati.
Beberapa klarifikasi: minus
keterlibatan laki-laki dan masyarakat
Terhadap beberapa keberatan yang
saya ajukan di atas, berikut penjelasannya. Keberatan pertama, terkait asumsi
Amin yang mengandaikan terjadinya krisis institusi keluarga karena perempuan
lebih asyik dengan kehidupannya sendiri, seperti yang saya sebutkan di atas.
Itu berarti Amin tidak berusaha melibatkan peranan kaum laki-laki ke dalam
kerja-kerja rumah tangga (termasuk pengasuhan anak). Kenapa?
Padahal
perempuan berjuang untuk bisa mengemansipasi dirinya di ranah publik, dengan
bekerja atau mengenyam pendidikan lebih tinggi; akan tetapi satu kakinya
tetap terikat di ranah domestik. Sebaliknya, itu tidak berlaku bagi kaum
laki-laki, yang juga bekerja dan belajar di ranah publik. Amin tidak
mempertanyakan ulang hubungan kuasa yang terjadi antara perempuan dan
laki-laki, di ranah publik dan domestik.
Alih-alih, justru (masuk ke
keberatan kedua) menundukkan perjuangan kaum feminis dengan mengusulkan agar
kaum feminis berkonsultasi dengan kaum agamawan (fundamentalis agama) tentang
bagaimana membentuk keluarga yang egaliter. Karena apa yang terjadi sekarang
ini, dalam pembacaan Amin, krisis institusi keluarga yang telah mengorbankan
pengasuhan anak-anak, disebabkan tuntutan kaum feminis yang ‘terlalu jauh,’
dengan menuntut berbagai otonomi atas dirinya; lalu melupakan tugas-tugas
pengasuhan anak, yang (masih) tidak melibatkan kaum laki-laki ataupun
masyarakat yang lebih besar. Kecuali kesimpulan di akhir paragraf tulisan
yang datang tiba-tiba, dan tanpa penjelasan keterkaitannya (halaman 11)
tentang negara yang menyelamatkan anak-anak sebagai korban krisis institusi
keluarga.
Mempertajam manifestasi krisis
institusi keluarga: eksploitasi kerja reproduksi oleh politik neoliberal
Bagi kelompok feminis sosialis,
krisis institusi keluarga itu sama sekali bukan karena mobilitas kaum feminis
yang hilir mudik keluar-masuk rumah dan ruang publik, lalu mengabaikan
tugas-tugas pengasuhan anak oleh perempuan. Yang terabaikan bukan hanya
pengasuhan anak-anak, melainkan seluruh kerja-kerja reproduksi sosial maupun
reproduksi biologis oleh masyarakat (negara, tempat kerja, komunitas).
Persoalan ini tidak terpisah dari pembacaan masalah eksploitasi di ranah
produksi, karena saling berkaitan satu sama lain. Proses reproduksi sosial
adalah proses mempertahankan keberlangsungan sistem sosial agar dapat terus
berproduksi, menggantikan hal-hal yang habis digunakan dalam berproduksi
(seperti seharian bekerja dan tenaga habis, baju kotor, butuh makanan, butuh
istirahat di tempat yang layak dan bersih, perusahaan atau tempat bekerja
butuh tenaga-tenaga kerja baru di masa depan, anak-anak butuh pendidikan dan
pengasuhan yang baik agar nantinya dapat siap bekerja, dsb).
Proses reproduksi yang dalam
sejarahnya dijalankan bersama-sama oleh masyarakat, pada masa sekarang
dibebankan kepada perempuan secara individual. Banyak literatur sejarah
perempuan di dunia, sejak dari perempuan hidup egaliter berdampingan dengan
laki-laki dalam sistem sosial masyarakat yang berbeda dari sekarang, dan
belum ada kepemilikan pribadi. Saya tidak hendak mengurai panjang lebar
tentang itu, karena pasti akan butuh space lebih besar. Singkatnya, yang
ingin saya tunjukkan adalah krisis institusi keluarga yang diajukan Amin
adalah karena tidak pernah dinegosiasikannya pembagian kerja secara seksual
antara laki-laki dan perempuan, khususnya di rumah tangga.
Atas ketiadaan waktu laki-laki
dan perempuan yang harus bekerja seharian di luar rumah, kenapa kepada
perempuan seorang diri tugas pengasuhan anak dibebankan? Bukankah itu tugas
sosial dari masyarakat secara kolektif? Dan kemudian pertanyaan lain
mengikutinya, jika memang institusi keluarga berbentuk nucleus family yang
diidealkan oleh neoliberalisme (yang muncul di perkotaan industrial atau
sebagai konsekuensi datangnya masa industrialisasi ke Indonesia), dan proses
industrialisasi ala kapitalisme mengeksploitasi laki-laki dan perempuan
dengan jam kerja yang panjang, mengapa mereka cuci tangan tidak ikut
bertanggung jawab atas kebutuhan masing-masing keluarga untuk tugas
reproduksi tersebut? Melarang kaum perempuan bekerja ke luar rumah bukanlah
solusi bagi pembebasan perempuan.
Di sini letak perbedaan
argumennya. Sejauh saya berdialog dengan teman-teman aktivis pro-demokrasi
laki-laki, saya menemukan mereka lebih memilih menempatkan istri mereka
sebagai pengasuh anak dan penanggungjawab tugas reproduksi lainnya, di rumah,
daripada harus dieksploitasi kapitalisme dengan bekerja ke luar rumah.
Saya
jadi mafhum kenapa Amin menulis tentang feminisme dengan cara demikian. Saya
tidak menuduh, melainkan ingin memberikan perspektif secara lebih tidak
berjarak dari persoalan-persoalan yang dialami sehari-hari kaum perempuan,
dan menstimulasi adanya eksplorasi lanjutan terhadap kemungkinan lain
bentuk-bentuk keluarga dalam sejarah sosial masyarakat dalam menanggung
tugas-tugas pengasuhan anak dan tugas reproduksi lainnya.
Dalam sejarah masyarakat,
tugas-tugas pengasuhan anak dan tugas reproduksi lainnya dikerjakan secara
lebih egaliter antara laki-laki dan perempuan dalam suku-suku (yang komunal)
pada masa berburu dan mengumpul. Jaman itu disebut dengan jaman Matrifokus,
dimana patriarki belum ada, kepemilikan pribadi juga belum ada.
Hal ini saya
tuliskan untuk sekedar memberi inspirasi dan merangsang pembentukan
komunitas-komunitas yang membagi pekerjaan lebih egaliter secara seksual di
masa depan. Kembali berpijak pada realitas masyarakat saat ini, tugas-tugas
pengasuhan anak dan kerja reproduksi lainnya disediakan oleh swasta, tentu
dengan harga mahal tak terjangkau kalangan keluarga kelas menengah-bawah.
Disinilah peran negara
non-neoliberal harus turun tangan, memasukkan biaya reproduksi (biologis
maupun sosial) dalam tanggungan negara, atau meregulasi kewajiban
perusahaan-perusahaan, birokrasi negara, dan tempat kerja lainnya untuk
menanggung biaya reproduksi. Atau sebagai eksplorasi pilihan lain, kalau
masyarakat berhasil menyadari kedaulatan kolektifnya dan hendak turun tangan
membangun pusat-pusat pengasuhan anak; pendidikan murah dan layak; unit
kesehatan keluarga murah, layak, dapat diakses; mengatur pusat-pusat produksi
komunitas (produksi barang di pabrik maupun pertanian); dapur-dapur umum;
kesenian rakyat; yang semuanya dilakukan secara kolektif oleh masyarakat,
bukan oleh keluarga nucleus yang tertutup dan terisolir dari komunitasnya.
Tidak disediakannya perlindungan
sosial berupa ditanggungnya hak-hak pekerja dalam kerja-kerja produksi maupun
reproduksi; itu masalah yang menyebabkan krisis institusi keluarga dalam
bentuk terabaikannya tugas pengasuhan dan reproduksi lainnya. Dalam hal
memberikan solusi, kita sangat butuh mendiskusikannya lebih jauh untuk dapat
mengimplementasikannya di masyarakat. Problem mendasarnya adalah privatisasi
kerja-kerja reproduksi biologis maupun sosial! Bahkan privatisasi yang
terjadi pada masa sekarang terjadi jauh lebih masif eksploitasinya
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya di Indonesia. Mulai dari jual beli tenaga
kerja domestik, baik di dalam maupun luar negeri, tanpa peraturan yang
menjamin rasa aman, dan hak-hak standar pekerja domestik. Menjamurnya
industri ‘jasa reproduksi’ seperti laundry, restoran dan warung makan, PAUD,
day care, kontrakan atau penjualan rumah yang mayoritas diselenggarakan oleh
swasta, serta menghabiskan jatah upah para pekerja kelas menengah-bawah untuk
mampu bertahan hidup. Bukankah kerja reproduksi adalah tugas masyarakat
bersama (negara, tempat kerja, komunitas)?
Lalu muncul pertanyaan lain
lagi, yang bukan porsi saya menjawabnya: apakah perjuangan pembebasan
perempuan yang semacam itu hanya akan ditanggung sendirian oleh kaum feminis
(sosialis)? Bagaimana dengan kawan-kawan laki-laki di gerakan pro-demokrasi,
atau bahkan gerakan sosialis (brosialis) itu sendiri? Bagi saya, politik
rekognisi itu masih dibutuhkan, sampai tingkat tertentu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar