Budayawan
Ugal-Ugalan dan Glorifikasi Perkosaan
Martin Suryajaya ; Pengasuh rubrik
Logika IndoPROGRESS
|
INDOPROGRESS,
17 Februari 2014
DARI mana datangnya
‘budayawan?’ Jika setiap orang, sebagai makhluk sosial yang senantiasa
berhubungan dengan alam sekitarnya, dengan sendirinya sudah selalu berbudaya,
maka sejak kapankah muncul kaum budayawan sebagai kelompok sosial yang
terpisah dari manusia pada umumnya? Terjemahan Inggris untuk kata ‘budayawan’
adalah humanist. Kata
tersebut lazim digunakan sejak era Renaisans di abad ke-16, tetapi kita dapat
melacak jejaknya dari Abad Pertengahan Tinggi (sekitar abad ke-11 sampai
ke-14). Sementara seorang pengrajin menghasilkan barang kerajinan, seorang
petani memproduksi hasil bumi, filsuf memproduksi traktat filsafat, hasil
karya seorang humanis bercampur aduk: mulai dari karangan kesusastraan,
catatan-catatan tentang gaya hidup, refleksi low brow tentang etiket, sampai dengan
risalah populer tentang tips-tips mendapatkan pacar. Singkatnya, seorang
budayawan/humanis adalah ia yang barang dagangannya adalah kualitas hidup
yang civilized: ia
mengajarkan orang tips-tips agar dianggap beradab atau ‘memanusiakan manusia’
dalam slogan yang kini lazim kita dengar. Dengan kata lain, apa yang
dijualnya adalah ‘kemanusiaan’ itu sendiri—makanya mereka disebut humanis.
Persoalannya kemudian, apakah
dengan memproduksi ‘keadaban’ dan ‘kemanusian,’ kaum humanis itu dapat
disebut manusiawi? Dalam tulisan ini, saya akan membatasi pada wacana kaum
humanis tentang cinta—sebuah topik yang sangat luhur budi. Khususnya, saya
akan mengupas konstruksi kaum humanis tentang perempuan sebagai obyek cinta.
Kita akan lihat bahwa konsep ‘keadaban’ dan ‘kemanusiaan,’ khususnya ketika
itu diterapkan pada sikap terhadap perempuan, adalah konsep-konsep yang
dikondisikan oleh formasi kelas sosial yang tergenderkan. Dengan itu, kita
akan memeriksa kekhasan budayawan, atau orang yang jualan kebudayaan dan
kemanusiaan, sebagai kelompok sosial yang terpisah dari manusia pada umumnya.
Komoditas kemanusiaan semacam
itu sudah ramai dipasarkan pada abad ke-12. Andreas Capellanus menerbitkan
sebuah risalah populer berjudul De
Amore, yang kerap juga diterjemahkan sebagai The Art of Courtly Love.
Isinya adalah paparan yang amat rinci tentang cara mendekati calon pasangan
dari berbagai latar kelas sosial yang berbeda: lelaki bangsawan tinggi
mendekati perempuan bangsawan rendah, lelaki bangsawan tinggi mendekati
perempuan kelas bawah, dan sebagainya.
Di situ kita lihat bahwa ekspresi
cinta ditentukan oleh status sosial (gradus dignitatis) orang yang
bersangkutan. Dalam Buku I Bab XI, misalnya, diterangkan tentang cara
pendekatan yang pas untuk gadis-gadis petani dan rakyat jelata. De Amore mencatat:
‘Bila Anda kebetulan jatuh
cinta pada perempuan-perempuan petani itu, perhatikanlah agar Anda selalu
memujinya dan kemudian, kalau Anda menemukan lokasi yang pas, janganlah ragu
untuk mengambil apa yang Anda inginkan dan merengkuhnya secara paksa. Sebab
Anda akan sulit sekali melembutkan sikap sok kaku mereka kecuali Anda
menggunakan sedikit paksaan sebagai obat yang manjur bagi sikap malu-malu
mereka. (Capellanus 1990: 150)
Inilah tips yang diberikan
humanis kita: cinta pada perempuan petani mesti diwujudkan dengan unsur
paksaan. Jika Anda mencintai seseorang, janganlah ragu-ragu untuk
memperkosanya, demikian anjuran sang budayawan dari abad ke-12. Inilah ‘cinta
yang sopan’ (courtly love) menurut buku manual etiket itu. Sikap
semacam itu dianggap sesuai dengan etiket, dan karenanya beradab, sebab
terdapat praktik raptus yang diakui pada Abad
Pertengahan. Raptus adalah penculikan/pemerkosaan
yang berujung pada korban perkosaan yang dinikahkan dengan pemerkosanya. Ini
menjadi salah satu taktik pedekate yang digemari di Abad
Pertengahan, dan berlaku sejak awal Abad Pertengahan dan di beberapa tempat
masih berlaku hingga sekitar abad ke-15 (Cesco 2006: 695).
Apa yang diwejangkan Andreas
Capellanus, karenanya, adalah semacam ‘perkosaan didaktis:’ mengajarkan
keutamaan moral (moral virtue) melalui perkosaan. Sebabnya, dengan
diperkosa, seorang perempuan petani menjadi sembuh dari sikap malu-malu
mereka–dengan kata lain, terdidik dan terbudayakan. Perkosaan disebut
Capellanus sebagai ‘obat’ (cure). Perkosaan mengobati jiwa gadis petani, mengemansipasikannya
dari sifat kampungannya. Karena mengobati jiwa, maka perkosaan dapat dilihat
sebagai ritus inisiasi ke alam kebudayaan. Inilah pelajaran yang bisa ditarik
dari budayawan ugal-ugalan macam Capellanus.
Capellanus tidak seorang diri.
Beberapa budayawan anonim sekitar abad ke-12 menyusun sebuah kitab sastra
berjudul Carmina Burana.
Di dalamnya tercantum beberapa kisah bergenre pastourelle atau pastorela, suatu genre puisi
lirik yang bertemakan gadis gembala. Isinya rata-rata mengisahkan rayuan
ksatria-trubadur pada gadis gembala. Modelnya selalu serupa, tersusun dalam
empat babak: (1) sang ksatria-trubadur datang ke desa-desa, (2) mengalahkan
gadis gembala dalam adu kebudayaan, (3) gadis gembala dia perkosa atau
dipaksanya untuk menyerahkan diri agar diperkosa, lalu (4) sang
ksatria-trubadur melarikan diri ke istana sembari mengenang petualangan
kebudayaannya yang mengesankan.
Berikut saya kutipkan sepotong puisi lirik pastourelle dalam Carmina Burana dari terjemahan Umberto Eco:
‘Si gadis mengizinkanku menemuinya, bercakap-cakap dengannya,
memeluk dan akhirnya mengecupnya; namun tujuan tertinggi dan termanis dari
cinta tetap tak kesampaian. [...] Aku mendekat ke tujuan, namun tangis manis
gadisku menggairahkanku lebih lagi, sementara ia enggan membuka gerbang
keperawanannya. [...] Aku meminta
dan meminta, menumpuk kecupan di atas kecupan; dia menambah tangis demi
tangis, menentang dan memakiku, memandangku dengan mata yang kadang
bermusuhan dan kadang seakan memohon [...] Aku jadi berani dan memaksa. Ia mencakarku, menjambak rambutku dan
meronta sekuat tenaga; ia menyilangkan kakinya dan mengunci rapat gerbang
kepatutan. Aku berjuang hingga menang. … Kugenggam tangannya dan kuciumi dia
dengan gairah; dan lihatlah—Venus tersingkap juga’ (Carmina Burana,
dikutip dalam Eco 2007: 158).
Ketika pertama kali membaca
ini, saya cuma bisa mlongo.
Dalam secarik puisi lirik ini bermain operasi ideologis yang mensublimasi
perkosaan menjadi ekspresi cinta erotik yang syahdu. Sang ksatria-trubadur
menafsirkan ulang penolakan gadis gembala—kemarahannya, pemberontakannya,
cakar-cakarnya—menjadi sikap yang ‘seakan memohon’ untuk disetubuhi. Di
sinilah peribahasa Latin ‘penerjemahan adalah pengkhianatan’ menemukan
ekspresinya yang paling gamblang. Dengan menerjemahkan penolakan gadis
gembala sebagai penerimaan implisit atas perkosaan, sang ksatria-trubadur
mengkhianati makna penolakan itu. Sang budayawan menyulap ekspresi penolakan
menjadi ungkapan sublim tentang cinta yang seakan beyond segala sesuatu, termasuk
kesetaraan.
Apa yang terjadi sekitar abad
ke-12 juga dipertahankan sampai abad ke-21. Sosok budayawan ugal-ugalan
seperti Andreas Capellanus dan para pengarang anonim Carmina Burana juga kita temukan dalam penyair-budayawan Sitok
Srengenge. Ia datang ke festival-festival kampus, menjadi juri lomba teater
mahasiswa dan memberi kurasi penuh budaya. Dengan operasi ideologi yang
serupa dengan yang kita temukan dalam Carmina
Burana, ia memperkosa mahasiswi, sembari berkilah: ‘suka sama suka.’
Orang mengecamnya sebagai tindak perkosaan, dia sembunyi dalam dalih
‘kesusastraan.’ Orang bilang ketimpangan kekuasaan, dia sembunyi dalam dalih
‘kebudayaan.’ Orang bilang menyakiti, dia sembunyi dalam dalih ‘puisi.’
(lihat rangkaian argumen yang disuarakan Peduli Korban Perkosaan dalam (Petisi Tangkap Sitok Srengenge).
Pada akhirnya, sosok
budayawan/humanis adalah sejenis subjektivitas yang membentuk definisi
dirinya melalui pendefinisian atas orang lain. Budayawan muncul sebagai
kelompok sosial terpisah ketika masyarakat pada umumnya telah didefinisikan
terlebih dahulu sebagai yang kurang berbudaya. Ia tampil ketika sarana
produksi kebudayaan dimonopoli secara individual, terlepas dari masyarakat
sebagai produsen kebudayaan itu sendiri. Budayawan memprivatisasi sarana
produksi kebudayaan melalui penciptaan suatu jenis hak yang baru: hak untuk menafsir.
Tukang
kayu memahat, petani mencangkul, filsuf berpikir, sementara budayawan
menafsirkan semua itu, mengkanonisasinya ke dalam Kitab Kebudayaan dan
mengevaluasi keadaban berdasarkan Kitab itu. Melalui hak untuk menafsir, si
humanis merakit sendiri definisinya tentang peradaban dan kemanusiaan untuk
kemudian mengukur kadar kemanusian, kadar kesusastraan dan kadar keadaban
masyarakat di sekitarnya. Hasil penafsiran inilah yang kemudian menjadi
komoditasnya. Ia membentuk dirinya dengan jalan mendefinisikan objeknya.
Dengan ‘hak untuk menafsir’
dalam genggaman, para budayawan/humanis Abad Pertengahan mendefinisikan
perasaan perempuan: mengubah kemurkaan menjadi kegairahan, mengubah yang
sedih jadi syahdu. Dengan itu juga, mereka menciptakan stereotipe perempuan
yang ‘malu-malu kucing’ atau ‘jinak-jinak merpati.’ Melawan rezim
budayawan berarti melawan rezim penafsiran. Kita mesti menemukan cara untuk
menerapkan pembatasan pada ‘hak untuk menafsir.’ Kalau perempuan bilang
tidak—itu artinya tidak. Tak ada makna tersembunyi di balik itu.
Tak
ada alusi, tak ada pasemon, tak ada
labirin penafsiran yang gothik. Tak
perlu bawa-bawa hermeneutika atau semiotika segala. Kita mesti belajar
memahami hal yang sederhana dan kerap dikaburkan oleh unggun-timbun alusi dan pasemon, yang kerap
dikeruhkan oleh orang yang jualan ambiguitas: tidak adalah tidak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar