Empat
Tesis
tentang
Kemerdekaan Berdiskusi di Indonesia
Berto Tukan dan Martin
Suryajaya ; Editor Indoprogress
|
INDOPROGRESS,
15 Februari 2014
Melalui uraian berikut, kami mengajukan
empat tesis tentang kemerdekaan berdiskusi di Indonesia sebagai respon
terhadap pelarangan diskusi buku kiri yang belakangan ini marak terjadi.
Tesis I: Tidak Ada Kemerdekaan Berdiskusi di Indonesia
Sembilan contoh kasus ini adalah
pembuktian dari Tesis I:
1. Pada tanggal 22 Mei 2006, seminar bertajuk ‘Menggugah Memori
Menggapai Rekonsiliasi Memperkuat NKRI’ yang mengumpulkan para perempuan yang
kebanyakan mengalami kekerasan terkait statusnya sebagai mantan anggota PKI
dan Gerwani, yang digelar Institute for Culture and Religion Studies (Incres)
di Jalan Brantas, Bandung, dibubarkan sejumlah ormas kepemudaan seperti PAGAR
(Persatuan Anti Gangguan Regional) dan Patriot Panca Marga (PPM) karena
dianggap berpotensi membangkitkan kembali bahaya komunis.
2. Pada tanggal 14 Desember 2006, terjadi pembubaran diskusi
bertema ’Gerakan Buruh Internasional’ di Toko Buku Ultimus, Bandung, oleh
Persatuan Masyarakat Anti Komunis (Permak) dengan tuduhan menyebarluaskan
komunisme. 11 orang pengunjung/peserta diskusi ditahan di Polwiltabes Bandung
dan Toko Buku Ultimus disegel selama 10 hari.
3. Pada tanggal 3 Juli 2010, peluncuran buku sastra dan diskusi
sastra ‘Dari yang Dibuang dan Dibungkam’ karya anggota Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra) di El Pueblo Café, Yogyakarta, mengalami pembubaran oleh pihak
kepolisian dan intimidasi dari organisasi massa yang menamakan diri mereka
FAKI (Front Anti Komunis).
4. Pada tanggal 24 Juni 2010, sosialisasi kesehatan gratis
dalam rangka kunjungan kerja Ketua Komisi IX DPR Ribka Tjiptaning dan Rieke
Dyah Pitaloka di Banyuwangi, Jawa Timur, dibubarkan oleh sekelompok massa
yang mengatasnamakan ormas Front Pembela Islam, Forum Umat Beragama, dan
Gerak.
5. Pada tanggal 3 Agustus 2010, intimidasi yang dilakukan
aparat kepolisian pada panitia acara bedah buku ‘Eks-seniman Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat)’ yang dialami Komunitas Lembah Pring (KLP) bertempat di
Dusun Mojokuripan, Desa Jogoloyo, Kecamatan Sumobito, Jombang.
6. Pada tanggal 25 Maret 2011, peluncuran dan diskusi buku ‘Asep
Sambodja Menulis: Tentang Sastra Indonesia dan Pengarang-Pengarang Lekra’
dalam rangka memperingati 100 hari Meninggalnya penyair dan esais Asep
Sambodja, di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya 73,
Jakarta Pusat, dipaksa untuk dibatalkan oleh pihak PDS HB Jassin, karena ada
tekanan dari Taufiq Ismail yang menuduhnya sebagai diskusi Lekra dan Taufiq
mengancam akan datang membawa pasukan. Acara tetap berlangsung bukan di dalam
ruangan, tapi di bawah tangga masuk PDS HB Jassin.
7. Pada tanggal 27 Oktober 2013, silaturahmi korban 1965 di
Wisma Santhidarma, Kecamatan Godean, Daerah Istimewa, Yogyakarta, dibubarkan
oleh Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) Yogyakarta.
8. Pada tanggal 7 Februari 2014, acara diskusi buku tentang Tan
Malaka di sebuah perpustakaan komunitas di Surabaya, C2O, dibubarkan paksa
oleh Front Pembela Islam dan Gerakan Umat Islam Bersatu.
9. Pada tanggal 12 Februari 2014, acara diskusi serupa yang
sedang direncanakan akan dilangsungkan pada 17 Februari 2014 di komunitas Gerobak
Art Hysteria, Semarang, dihalang-halangi perizinannya oleh Pemuda Pancasila
yang memohon kepada Polrestabes Semarang agar tidak menerbitkan izin
penyelenggaraan acara tersebut dengan alasan bahwa bila diskusi itu
berlangsung ‘akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.’ Selanjutnya,
pada tanggal 14 Februari 2014, forum warga RT 03 / RW IV menolak diadakannya
kegiatan tersebut di wilayahnya tanpa mencantumkan argumen apapun.
Karenanya, tidak ada kemerdekaan
berdiskusi di Indonesia.
Tesis II: Di Indonesia, Pelarangan Diskusi adalah
Pelanggaran Hukum
Ada tiga argumen bagi Tesis II.
Argumen pertama adalah argumen formal-filosofis (menyangkut aras paradigmatik
Republik Indonesia):
1. Pelarangan/pemberangusan/pembubaran paksa atas pertemuan dan
diskusi adalah tindakan yang mencederaihak untuk berserikat, berkumpul dan
menyatakan pendapat (UUD 1945 pasal 28E).
2. Pelarangan/pemberangusan/pembubaran paksa atas pertemuan,
diskusi dan penyebarluasan informasi adalah tindakan yang mencederai hak
untuk berkomunikasi (UUD 1945 pasal 28F).
3. Pelarangan/pemberangusan/pembubaran paksa atas pertemuan dan
diskusi adalah tindakan yang mencederaihak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman (UUD 1945 pasal 28G).
4. Pelarangan/pemberangusan/pembubaran paksa atas pertemuan dan
diskusi adalah tindakan yang mencederaihak kemerdekaan pikiran dan merupakan
perbuatan diskriminatif (UUD 1945 pasal 28I butir 1 dan 2).
5. Pelarangan/pemberangusan/pembubaran paksa atas pertemuan dan
diskusi adalah tindakan yang mencederaihak asasi manusia (UUD 1945 pasal
28J).
Argumen kedua adalah argumen
formal-positif (menyangkut aras hukum positif Republik Indonesia):
1. Pelarangan/pemberangusan/pembubaran paksa atas pertemuan dan
diskusi adalah tindakan yang mencederai kemerdekaanseseorang dan merupakan
Tindak Kejahatan menurut KUHP pasal 333.
2. Pelarangan/pemberangusan/pembubaran paksa atas pertemuan dan
diskusi adalah tindakan yang memaksa, entah secara fisik maupun non-fisik,
dan merupakan Tindak Kejahatan menurut KUHP pasal 335.
3. Pelarangan/pemberangusan/pembubaran paksa atas pertemuan dan
diskusi adalah tindakan yang mengancamdan merupakan Tindak Kejahatan menurut
KUHP pasal 336.
4. Pembiaran aktif atas pelarangan/pemberangusan/pembubaran
paksa pertemuan dan diskusi adalah tindakan yang memungkinkan terjadinya
pencederaan kemerdekaan seseorang dan merupakan Tindak Kejahatan berdasarkan
KUHP pasal
334.
5. Pihak yang melarang/memberangus/membubarkan paksa diskusi
atau secara aktif membiarkan pelarangan/pemberangusan/pembubaran paksa, oleh
karena melanggar KUHP pasal 333-336, dikenai KUHP pasal 337 yang berwujud
pencabutan hak yang diatur dalam KUHP pasal 35 nomor 1-4, yakni (1)
pencabutan hak untuk memegang jabatan, (2) pencabutan hak untuk masuk
Angkatan Bersenjata, (3) pencabutan hak untuk memilih dan dipilih dalam
pemilu, (4) pencabutan hak untuk menjadi penasehat hukum, pengawas, pengampu
dan perwalian.
Argumen ketiga adalah argumen
informal:
1. Pelarangan akan pertemuan dan diskusi bertema kiri dan/atau
komunisme di Indonesia adalah sebuah tindakan yang menunjukkan pelupaan atas
sejarah. Gagasan bertema kiri dan/atau komunisme punya peran penting dalam
perjuangan kemerdekaan Republik.
2. Argumen bahwa pelarangan atas pembicaraan gagasan kiri
dan/atau komunisme merupakan hak demokratik adalah argumen yang rancu.
Argumen tersebut merancukan antara kritik dan pelarangan. Kemerdekaan
berpendapat adalah kemerdekaan untuk mengkritik, bukan melarang. Karenanya,
hak warga yang tidak sepakat dengan gagasan kiri dan/atau komunisme terbatas
pada hak untuk mengkritik, bukan hak untuk melarang.
Karenanya, di Indonesia,
pelarangan diskusi adalah pelanggaran hukum.
Tesis III: Di Indonesia, Hukum Membatalkan Dirinya Sendiri
Argumen bagi Tesis III dapat
dirumuskan dalam silogisme dengan premis mayor sebagai berikut:
Pemerintah, baik pusat dan
daerah, serta aparatus penegak hukumnya, harus memberikan jaminan kebebasan
berpendapat dan berkumpul (sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasal 28E)
kepada semua warga negara, termasuk mereka yang melakukan diskusi bertemakan
kiri dan/atau komunisme.
Frase ‘harus memberikan jaminan’
yang dicetak tebal di muka dapat diperjelas dengan mengubah rumusan premis
mayor tersebut menjadi seperti berikut:
Terhadap pihak-pihak yang
melakukan diskriminasi, pemberangusan dan/atau pembubaran paksa terhadap
pewacanaan gagasan apapun, termasuk gagasan kiri dan/atau komunisme,
pemerintah dan aparatus penegak hukumnya harus menjatuhkan sanksi pidana
sebagaimana diatur dalam KUHP pasal 333, 334, 335, 336 dan 337 serta dalam
pertimbangan terkait UUD 1945 pasal 28E, F, G, I dan J.
Namun, seperti terbukti dalam
Tesis I, pemerintah dan aparatus penegak hukumnya membiarkan dan bahkan
(dalam kasus nomor 2) berpartisipasi aktif dalam pelarangan diskusi bertema
kiri. Maka premis minor kita dapat dinyatakan dalam dua versi: versi di mana
pemerintah membiarkan pelarangan diskusi dan versi di mana pemerintah
berpartisipasi aktif dalam pelarangan diskusi. Premis minor berdasarkan versi
pertama adalah sebagai berikut:
Pemerintah dan aparatus penegak
hukumnya membiarkan pelarangan diskusi bertema kiri.
Premis minor berdasarkan versi
kedua adalah sebagai berikut:
Pemerintah dan aparatus penegak
hukumnya berpartisipasi aktif dalam pelarangan diskusi bertema kiri.
Sehingga kesimpulan dari premis
minor pertama adalah sebagai berikut:
Pemerintah dan aparatus penegak
hukumnya mengabaikan UUD 1945 pasal 28E, F, G, I, J serta KUHP pasal 333,
335, 336, 337 dan melanggar KUHP pasal 334.
Sementara kesimpulan dari premis
minor kedua adalah sebagai berikut:
Pemerintah dan aparatus penegak
hukumnya melanggar UUD 1945 pasal 28E, F, G, I, J dan KUHP pasal 333, 334,
335, 336, 337.
Oleh karena pemerintah melanggar
hukum, dan pemerintah tidak pernah dikenai sanksi atas pelanggaran tersebut,
maka kesimpulan yang bisa ditarik: di Indonesia, hukum membatalkan dirinya
sendiri.
Tesis IV: Tidak Ada Indonesia di Indonesia
Argumen bagi Tesis IV adalah
kelanjutan dari Tesis III. Oleh karena UUD 1945 pasal 1 ayat 3 menyatakan
bahwa Indonesia adalah ‘negara hukum,’ sementara Tesis III menyatakan bahwa
‘di Indonesia, hukum membatalkan dirinya sendiri,’ maka Indonesia adalah hal
yang kontradiktif. Dalam hubungannya dengan negara lain, Indonesia diakui
keberadaannya. Akan tetapi, dalam hubungannya dengan dirinya sendiri,
Indonesia tidak yakin akan keberadaannya sendiri. Dalam hubungannya dengan
dirinya sendiri, keberadaan Indonesia adalah ketidakberadaannya. Indonesia
ada di mana-mana, kecuali di Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada Indonesia
di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar