Aktualisasi
Kejuangan Kopassus
Aris Santoso ; Pengamat Kegiatan Ketentaraan
|
KORAN
JAKARTA, 16 April 2014
Hari
jadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus) tahun ini, 16 April, harus dijadikan
momen aktualisasi semangat juang dan cinta Tanah Air prajurit baret merah.
Semoga semangat rela berkorban masih tertanam di dada setiap prajurit
Kopassus.
Bandingkan
dengan performa para politisi di DPR atau DPRD, yang mengklaim mewakili
rakyat, namun sedikit-sedikit minta perbaikan fasilitas pribadi, tanpa ada
kejelasan kerja buat rakyat. Para elite politik tersebut memiliki semangat
tak berkorban untuk rakyat, sementara tingkat kesejahteraan mereka jauh lebih
tinggi dari segenap anggota Kopassus.
Di era
yang sangat mengagungkan harta dan kekuasaan, wajar bila muncul pertanyaan:
bagaimana dengan visi atau nilai kejuangan prajurit TNI, khususnya bagi
anggota baret merah? Dari waktu ke waktu, selalu ada kekhawatiran penurunan
semangat kejuangan prajurit TNI.
Tidak
mudah membangun citra sebuah korps hingga menjadi sebuah legenda. Perlu waktu
lama dan semangat berkorban. Kedekatan emosional dengan rakyat bisa dijadikan
parameter kebesaran satuan itu.
Sebagaimana
pernah dialami Yonif Linud 401/Banteng Raider (Semarang) pada 2003 yang
diganti menjadi Yonif 400/Raider. Demikian juga yang terjadi dengan Kopassus.
Kebesaran
namanya tidak usah diragukan lagi. Sebagai satuan yang memang sudah
terpandang sejak kelahirannya (16 April 1952), Kopassus acap kali
terbawa-bawa pada masalah bernuansa politis. Terkadang nama besar satuan
justru menempatkannya pada posisi dilematis.
Seperti
di masa Orde Baru (Orba), satuan ini sempat terseret-seret dalam wilayah
politis praktis, yang terbukti merugikan citra di kemudian hari. Sampai kini,
catatan pahit itu belum terhapus dari ingatan publik.
Setiap
zaman memiliki penanda dan semangatnya sendiri-sendiri. Generasi sekarang
pasti sulit diajak berimajinasi romantika perjuangan (1945–1949). Perjalanan
waktu tampaknya ikut memberi andil pada persepsi generasi sekarang terhadap
profesi kemiliteran.
Bagi
generasi sekarang, menjadi seorang tentara dengan segala atribut dan
kebanggaannya hanyalah salah satu pilihan di antara banyak pekerjaan.
Apalagi
ada pandangan, untuk mengabdi pada bangsa, tidak harus melalui jalur militer.
Namun, pandangan itu tidak mengurangi kebanggaan generasi muda yang kebetulan
memilih menjadi tentara sebagai panggilan profesi, disertai komitmen penuh
dengan segala konsekuensi.
Dibanding
generasi-generasi sebelumnya, anggota Kopassus sekarang, baik perwira,
bintara, maupun tamtama, bisa disebut masih "berjarak" dengan Orba.
Mungkin sebagian lulus pendidikan komando saat Orba, utamanya ketika Kopassus
dipimpin Mayjen Prabowo Subianto.
Artinya,
mereka relatif belum terlalu terpengaruh ideologi kekuasaan tanpa batas yang
biasa dianut elite militer era Orba. Jelas generasi ini semakin matang, dalam
arti bisa memetik pengalaman dan membandingkan zaman Orba dan Reformasi.
Mereka
juga lebih siap bersinergi dengan tokoh-tokoh muda potensial dari kalangan
sipil. Generasi ini sadar sepenuhnya bahwa zaman telah berganti, tiada lagi
privilese bagi kalangan militer seperti masa lalu. Zaman seperti terbalik.
Bila
prajurit TNI (khususnya anggota baret merah) mulai menjauh dari ideologi
kekuasaan, politisi sipil justru sebaliknya, kini seolah-olah mabuk
kekuasaan. Sekadar ilustrasi, bisa digambarkan ironi kebiasaan
"baru" pemimpin sipil seperti anggota DPR, DPRD, bupati, atau wali
kota. Bila berkendara, mereka sering menggunakan pemandu jalan (voorijder) dengan sirene meraung-raung
meski lalu lintas sepi.
Sebuah
ironi karena kebiasaan pengawalan seperti itu justru sudah banyak
ditinggalkan kalangan TNI. Sepertinya para pejabat sipil ingin menunjukkan
bahwa kekuasaan yang sejati harus disertai atribut militeristik. Di sinilah
perlunya aspek keteladanan TNI untuk membuka pandangan masyarakat bahwa
pangkat dan jabatan hanya media mengabdi rakyat, bukan pamer kekuasaan.
Bersahaja
Panglima
Besar Jenderal Soedirman pernah menyampaikan pidato di radio bagi taruna
Akademi Militer Yogyakarta, di tengah gerilya. Bunyinya, "Ingatlah, prajurit Indonesia bukan tentara bayaran. Mereka
bukan prajurit yang menjual tenaga untuk memperoleh segenggam beras. Mereka
juga bukan prajurit mudah dipengaruhi kelicikan maupun keinginan benda-benda
materi."
Amanat
Panglima Soedirman itu masih aktual dalam konteks masyarakat sekarang.
Kopassus memiliki kapasitas sebagai kekuatan moral untuk melawan budaya
konsumerisme, ambisi memburu jabatan, dan kemerosotan nilai-nilai. Di tengah
realitas suram seperti itu, diperlukan terobosan signifikan agar bangsa
kembali menemukan martabatnya.
Kopassus
berpotensi mendekonstruksi persepsi salah kaprah yang terlalu mendewa-dewakan
harta dan kekuasaan. Dari praktik kecil sehari-hari, Kopassus bisa
berkontribusi cara berperilaku di tengah "zaman edan" sekarang.
Nilai-nilai kesetiakawanan atau kesederhanaan yang biasa diterapkan di
kesatuan bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Perwira
generasi baru harus berkomitmen kuat untuk hidup sederhana. Mereka harus siap
menghadapi realitas seandainya tiba-tiba kurang dihormati lingkungan karena
tidak kaya. Maklum, masih banyak yang memandang kehormatan dari sisi harta
atau jabatan.
Dalam
lingkungan TNI, pola hidup sederhana sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing,
bahkan di masa sekarang. Negeri ini pernah memiliki pemimpin TNI karena gaya
hidupnya sangat sederhana untuk ukuran jenderal. Contoh Jenderal AH Nasution,
Jenderal Hoegeng (Kapolri 1968–1971), Letjen Basuki Rachmat, Jenderal M
Yusuf, Mayjen Mung Parhadimuljo (mantan Komandan Kopassus 1961–1964 dan
penyelamat panji Siliwangi). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar