KORAN TEMPO, 31
Juli 2013
|
Dapatkah warga Sunni dan Syiah di Sampang kembali hidup
berdampingan secara damai setelah mengalami konflik yang keras? Jawaban pertama
mengatakan tidak. Kedua belah pihak berbeda dalam keyakinan dan praktek
keagamaan. Perbedaan itu menyebabkan benturan keras. Insiden konflik terakhir,
yang terjadi pada 26 Agustus tahun lalu, telah menimbulkan korban jiwa, puluhan
rumah terbakar, dan pengungsian, mula-mula di GOR Sampang, dan sekarang ke
rusunawa di Sidoarjo, Jawa Timur. Ini menjadi bukti bahwa keduanya tak bisa
hidup berdampingan lagi.
Lebih lanjut, kekerasan yang telah terjadi semakin
mempertegas perbedaan tersebut. Perbedaan menyebabkan kekerasan, yang kemudian
mempertegas perbedaan. Perlu diperhatikan bahwa di sini ada anggapan mengenai
lingkaran setan kekerasan: perbedaan menimbulkan kekerasan yang akan
mempertebal perbedaan dan permusuhan, yang akan menimbulkan kekerasan berikut.
Jawaban pertama ini adalah suara yang lebih dominan.
Sebagian ulama di Sampang dan Madura telah lebih dari setahun ini menyuarakan
hal senada. Pesan yang ingin disampaikan: kami yang Sunni ini memang berbeda
dari Syiah. Karena kami lebih kuat dan memiliki sumber daya lebih besar, kami
dapat mendominasi Syiah, membakar rumah mereka supaya minggat dari lingkungan
kami. Setelah kekerasan Agustus 2012, dengan semangat berkonflik yang sama, hal
senada kembali disampaikan para ulama Madura dalam pertemuan dengan Menteri
Agama.
Selaras dengan pandangan di atas, beberapa alternatif
solusi dengan sendirinya tertolak. Termasuk di sini adalah pemulangan kembali
warga Syiah (repatriasi), pembangunan kembali rumah yang dibakar
(rekonstruksi), dan pemulihan hubungan yang rusak karena konflik
(rekonsiliasi). Semua jalan keluar ini ditolak dengan sendirinya dalam rangka
mempertahankan hasil konflik yang telah dicapai. Untuk apa semua solusi ini
bagi pihak yang merasa unggul dan menang?
Yang penting dicatat juga adalah, banyak aktor di luar
pihak-pihak yang bertikai yang mengikuti pandangan di atas. Misalnya, Bupati
Sampang yang tak terpilih dalam pilkada tahun lalu berkali-kali menyuarakan
perlunya mengusir warga Syiah. Dia juga meminta supaya polisi dan TNI
melaksanakan permintaannya. Selain itu, seorang Menteri Agama menyuarakan hal
senada dalam berbagai kesempatan.
Jawaban pertama di atas, dengan kata lain, dapat mengidentifikasi
bagian dari persoalan. Tetapi jawaban itu tidak dapat memberikan jalan keluar
yang damai. Beberapa jalan keluar yang ditawarkan ialah yang berada dalam
kerangka konflik. Termasuk di sini adalah transfer warga Syiah ke tempat yang
jauh, bila perlu ke Pluto. Atau, alternatifnya, mereka berhenti jadi Syiah dan
menjadi Sunni, disebut taubatan nasuha. Atau, istilah yang menurut Menteri
Agama lebih halus, yang Syiah perlu "dicerahkan dulu".
Bila perlu, pertobatan Syiah diperkuat dengan bukti nyata:
mengisi formulir tobat dari ajaran dan paham Syiah, sebelum kembali ke Sunni.
Pemerintah daerah, polisi, TNI, dan menteri-menteri diundang menyaksikan.
Kemudian, supaya diketahui seluruh jagat, ikrar tobat tersebut dimuat media
massa Jawa timur, nasional, dan internasional.
Jadi, pola-pola relasi sosial yang dibenarkan dan
direkomendasikan jawaban pertama ini semuanya berbasis kekuasaan dan kekuatan.
Menuruti kehendak dan kemauan pihak yang lebih kuat, mendukung dominasi
mayoritas, dan secara implisit ataupun eksplisit membenarkan pemaksaan di
bidang keyakinan. Semua ini bukanlah penanganan terhadap masalah Sampang, tapi
resep manjur melanggengkan konflik dan permusuhan.
Karena tak dapat memberikan solusi yang damai, jawaban
alternatif pun perlu dicari. Beberapa unsur utama jawaban alternatif tersebut
dapat disebutkan di sini. Pertama, inisiatif damai yang kuat. Kalau ingin
damai, jangan melakukan hal-hal yang akan melanggengkan atau memperparah
konflik. Yang dilakukan adalah inisiatif damai yang membuka ruang bagi kerja
sama dan hidup berdampingan secara damai. Pengalaman resolusi konflik
menunjukkan pentingnya inisiatif yang kuat. Sebab, inisiatif yang kuat akan
dapat menjadi penjuru yang menarik berbagai proses perdamaian, baik yang
berlangsung di kalangan pihak-pihak yang bertikai maupun aktor-aktor di luar
mereka, seperti pemerintah daerah dan polisi.
Kekuatan inisiatif damai juga bersumber dari kepemimpinan
yang visioner. Sejarah konflik Sampang telah menunjukkan banyak contoh
kepemimpinan yang negatif dan memalukan, yang ditunjukkan tokoh agama, bupati,
dan menteri. Dalam seminggu terakhir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memulai
inisiatif damai untuk Sampang. Mudah-mudahan ini inisiatif yang kuat dan
visioner.
Kedua, membangun kerangka kerja sama. Inisiatif damai yang
kuat mencakup kerangka dan prosedur kerja sama yang melibatkan pihak-pihak yang
dulu bertikai. Ini berlaku dalam situasi pasca-perang (misalnya rekonsiliasi
Jerman-Prancis setelah PD II), pasca-pemberontakan dan perang saudara (RI dan mantan
pemberontak GAM di Aceh), serta Sampang pasca-konflik Sunni-Syiah. Kerja sama
ini meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat, tak terbatas pada soal agama
dan keyakinan. Sebelum kekerasan meletus, komunitas Syiah dan Sunni di Sampang
telah bekerja sama di berbagai bidang kehidupan. Akan tetapi, kerja sama
tersebut terganggu karena kekerasan yang terjadi. Inisiatif damai yang kuat
diperlukan untuk memulai, mendukung, dan melanggengkan kerja sama.
Ketiga, memfasilitasi maaf dan ampunan. Pendekatan pertama
yang disebutkan di atas terlalu menekankan peran dendam dan permusuhan, dengan
melupakan kapasitas manusia yang tidak kalah pentingnya, yaitu memaafkan dan
mengampuni. Anak-anak dapat merangkul, menggandeng tangan, dan mengajak mantan
lawannya berkelahi, untuk kembali bermain bersama. Orang dewasa pun dapat
menggunakan strategi yang sama.
Inisiatif damai dapat memfasilitasi proses memaafkan dan
mengampuni, melalui berbagai forum lokakarya, dialog, dan pengajian. Sering
terdengar tuduhan bahwa ulama Madura keras, tidak toleran, serta sandungan
repatriasi dan rekonsiliasi. Ini ada benarnya, kalau yang digunakan adalah
bingkai konflik dan permusuhan berkelanjutan.
Dalam konteks inisiatif damai yang kuat, yang akan muncul
adalah kapasitas ulama untuk menerima perbedaan dan kemajemukan. Tentu saja
tidak semua ulama memiliki kemampuan menyesuaikan diri yang sama. Sebagian
memerlukan waktu lebih lama, dan waktu itu dapat diberikan. Yang penting mereka
tetap diperhatikan, diajak rembukan. Strategi engagement seperti ini pasti
berhasil, jika ada lingkungan yang lebih luas yang mendorong resolusi konflik
nirkekerasan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar