|
Pengakuan seorang orientalis abad
ke-19 bernama HAR Gibb tentang Islam dalam karya monumentalnya, Modern Trends in Islam (1978), kiranya
layak kita apresiasi kembali. Hal ini penting untuk menguatkan semangat keberagamaan
kita sekaligus sebagai perenungan bagi masa depan Islam di Tanah Air. Islam,
menurut dia, bukan hanya sebagai agama wahyu yang cuma mencakup ajaran teologi
(baca: tauhid) dan ritual (baca: ibadah) semata, melainkan sekaligus meliputi
sistem pedoman hidup (way of life)
bagi manusia, baik moral, sosial, dan budaya. Dalam konteks negara-bangsa,
kesempurnaan Islam tersebut paling tidak telah memunculkan ada nya 3 (tiga)
perspektif bagi umat Islam.
Pertama, perspektif theo-centries, di mana suatu bangsa hanya menjalankan seluruh ajaran agama sehingga tak memiliki otoritas untuk menentukan tata nilai untuk dijadikan dasar dalam kehidupan bersama. Kedua, perspektif antropho-centries, di mana suatu bangsa sepenuhnya memiliki otoritas untuk menentukan tata nilai untuk dijadikan dasar dalam kehidupan kolektif mereka. Ketiga, perspektif theo-antropho-centries, di mana suatu bangsa memiliki otoritas untuk menentukan tata nilai yang dijadikan dasar dalam kehidupan bernegara dan berbangsa meski tetap berpegang pada otoritas ajaran agama.
Dari perspektif tersebut,
melahirkan berbagai tipologi, sistem, dan bentuk negara yang dianut oleh
masing-masing bangsa. Secara garis besar, dapat dikategorikan menjadi 2 (dua)
hal, yakni: negara agama dan negara sekuler.
Konteks Indonesia
Dalam konteks Indonesia, ternyata
para pendiri negara dalam menentukan bentuk, sistem, dan dasar negara mengalami
proses yang cukup panjang.
Berbagai argumen pun mengemuka. Para pendiri negara ternyata lebih cenderung
manggunakan perspektif theo-antropho-centries. Hasil dari rumusan perspektif
tersebut akhirnya menjadi dasar negara bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi
dan dasar negara yang dipakai adalah Pancasila.
Rumusan filosofi Pancasila yang menjadi
konsensus segenap bangsa inilah yang dinilai dapat mengakomodasi prinsip moral
dan nilai-nilai agama sekaligus nilai-nilai luhur budaya bangsa. Seluruh tata nilai
agama, sebagaimana rumusan Pancasila tersebut, merupakan satu kesatuan nilai
yang disaripatikan dari ajaran agama dan budaya luhur bangsa sekaligus
Revitalisasi nilai kebangsaan. Tak bisa dimungkiri bahwa tantangan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara semakin kompleks dewasa ini. Adanya berbagai paham dan
ideologi akibat globalisasi, tentu berpengaruh terhadap nilai-nilai kebangsaan.
Nilai-nilai kebangsaan yang telah disaripatikan dalam Pancasila harus terus direvitalisasi
sejalan dengan semakin menguatnya tantangan yang mendera bangsa kita.
Secara garis besar ada dua tantangan
besar yang memungkinkan memengaruhi nilai-nilai tersebut. Pertama, secara
eksternal adanya gelombang demokratisasi yang sedang melanda di hampir seluruh
negara di kawasan Afrika, terutama Timur Tengah dan Asia. Gelombang demokratisasi
tersebut sangat mungkin merambah ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Berbagai
isu yang diembuskan atas nama kebebasan dan demokrasi (demokrasi liberal)
terbukti dapat menghancurkan hampir seluruh tatanan di Timur Tengah. Fenomena
seperti ini harus diantisipasi secara baik dengan melakukan upaya komunikasi
dan diplomasi politik internasional. Membangun komunikasi dan diplomasi politik
internasional secara intens akan efektif dapat mencegah berbagai bentuk paham
dan ideologi transnasional yang dapat menggoyang kedaulatan bangsa ini.
Kedua, secara internal adanya berbagai
isu tentang deligitimasi politik dan konflik kepentingan secara vertikal hingga
persoalan kesenjangan sosial yang berpotensi mengakibatkan konflik horizontal
merupakan tantangan tersendiri.
Dalam hal ini, langkah-langkah
antisipatif untuk merevitalisasi nilai-nilai kebangsaan perlu dijalankan. Pertama,
perlu ada gerakan secara inovatif dan masif tentang penguatan pemahaman nilai-nilai
kebangsaan. Gerakan seperti ini mutlak diperlukan agar bangsa ini benar-benar
memiliki pemahaman dan komitmen kebangsaan yang tinggi. Prinsip utama dalam
kehidupan bernegara dan berbangsa, sebagaimana tertera dalam Pancasila, harus
disosialisasikan secara lebih inovatif dan masif.
Kebijakan negara mengenai cinta
Tanah Air harus implementatif berpihak dan beorientasi dalam negeri dalam berbagai
sektor: produk industri, pertanian, hingga komoditas makanan. Alhasil, semakin
tinggi pemahaman dan komitmen kebangsaan tersebut, bangsa ini semakin solid dan
kuat pula. Bangsa yang solid dan kuat komitmennya sudah dapat dipastikan tidak
mudah tergoyahkan oleh pihak-pihak lain.
Kedua, perlu ada upaya pengembalian
kepercayaan rakyat yang belakangan ini mulai terkikis. Para pemangku kebijakan
harus mampu membuktikan kepada rakyat bahwa negara mampu mengantarkan bangsa
ini mencapai kehidupan yang lebih adil, makmur, dan bermartabat. Komitmen ini
mengandung konsekuensi bahwa cita-cita mewujudkan pemerintahan yang baik dan
pemerintahan yang bersih tak bisa ditawar lagi. Momentum tahun politik
(2014) harus bisa dimanfaatkan oleh pemerintah dan seluruh komponen bangsa
untuk melakukan konsolidasi nasional. Pendekatan parsuasif, akomodatif, kooperatif,
dan integratif, tanpa saling menyalahkan yang menjadi nilai luhur bangsa ini akan
mempercepat terwujudnya cita-cita nasional itu.
Ketiga, perlu membangun kesadaran,
keyakinan, dan komitmen kebangsaan bahwa masa Indonesia bergantung pada bangsa
sendiri. Hal ini akan memacu semangat kebersamaan, persaudaraan, dan
kesetiakawanan nasional yang pada akhirnya mampu meraih cita-cita ma syarakat
madani itu sendiri.
Bangsa ini adalah yang paling majemuk
di dunia. Pendekatan untuk memecahkan berbagai persoalan yang kian kompleks pun
harus variatif. Tak ada tempat lagi bagi mereka yang menolak berbagai kemajuan
dengan mengusung nilai-nilai yang sudah usang, seperti eksklusivisme,
anarkisme, dan menolak kemajemukan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar