|
Terlalu sederhana jika melihat situasi di Mesir sebagai
pertikaian politik saja. Pertarungan politik yang sesungguhnya ada lah
pertarungan kotak suara. Begitulah tradisi demokrasi yang sehat. Faktanya, pertumpahan
darah terus terjadi. Bahkan, melegenda dalam parade pembantaian massal dalam
waktu kurang dari dua bulan masa berkuasanya rezim militer.
Tragedi berdarah di Garda Republik, Monumen Sadat, Nahdhoh Square, Masjid Rab\'ah, Ramses Square bahkan di seluruh lokasi aksi damai di penjuru Mesir menjadi tragedi kemanusiaan terkeji sepanjang sejarah Mesir, bahkan sejarah kehidupan manusia. Hingga kini korban dari rakyat sipil terus berjatuhan hingga menembus angka 6.000 jiwa. Apakah ini disebut konflik politik?
Dr Rofik Habib, penulis dan pemikir kristen koptik, memberi tinjauan analisis atas peristiwa di Mesir sebagai pertarungan jati diri bangsa Mesir. Pergolakan menentukan identitas negara (huwiyyatul wathan). Dalam wawancaranya di Washington Post, Jenderal Abdul Fattah al-Sisi mengungkap sebab utama yang mendorong militer menggulingkan presiden terpilih. Dia katakan, "Presiden Mursi dan Jamaahnya membawa identitas Islam yang bertentangan dengan identitas bangsa."
Berarti selama ini militer menganut identitas sendiri, karena menolak realita masyarakat yang mayoritas mendukung Islam sebagai dasar konstitusi. Jadi, menurut dia, kelompok besar umat Islam yang hidup di Mesir tidak merepresentasikan bangsa Mesir, bahkan perlu diwaspadai atau disingkirkan karena bertentangan dengan identitas dan jati diri bangsa. Ini berarti militer menolak kenyataan pilihan sebagian besar rakyat Mesir. Ini sebenarnya bukanlah masalah, yang menjadi masalah besar adalah proses pengukuhan identitas bangsa yang ditempuh dengan cara kasar dan paksa. Cara yang diingkari aturan hidup berdemokrasi. Cara bersenjata yang merenggut ribuan warga sipil.
Kaum Islamis yang sudah lebih dari setengah abad hidup tertindas dan penuh ancaman semasa rezim militer berkuasa di Mesir, pascarevolusi 25 Januari 2011, merasa yakin bahwa Mesir saat ini telah betul-betul berubah. Betapa mengharu birunya saat kaum Muslimin di Mesir mampu menghirup udara kebebasan di negeri mereka sendiri. Aktivitas dakwah dan ibadah begitu terbuka. Berbagai ormas Islam baik yang lama maupun yang baru leluasa menyelenggarakan kegiatan keagamaan dan bakti sosial. Bahkan, mereka dengan suka cita ikut serta dalam pesta demokrasi pertama. Tanpa ada keraguan dan kecurigaan mereka masuk gelanggang politik.
Kaum Islamis merasa nyaman karena selalu menjadi pemenang dalam lima kali pemilu; Pileg DPR (28 November 2011 - 11 Januari 2012, Kaum Islamis peroleh lebih dari 70 persen ), Pileg MPR (29 Januari 2012 - 22 Februari 2012, Kaum Islamis peroleh lebih 80 persen), Pilpres tahap I (23-24 Mei 2012), Pilpres tahap II (16-17 Juni 2012), dan Referendum konstitusi (15 Desember 2012/ 63,8 persen vs 36,2 persen).
Kemenangan demi kemenangan membuat lengah kaum Islamis dan membuat gerah kaum sekuler-liberal bahkan mengundang kekuatan regional dan internasional untuk mematahkan arus demokrasi ini (Arab Spring) supaya tidak menjalar ke negara-negara Timur Tengah, khususnya negara-negara monarki di kawasan teluk. Tak heran jika Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Bahrain berlomba-lomba mendukung rezim militer Mesir.
Gejala keanehan mulai terendus, berawal dari pembubaran DPR, pembatalan konstitusi hasil referendum, pembubaran MPR, hingga kudeta berdarah yang memilukan jiwa di mana pada tahun ini, bulan suci Ramadan di Mesir menjadi bulan pertumpahan darah. Dan bulan kemenangan Syawal ini menjadi bulan matinya nurani kemanusiaan, bulan terkuburnya nilai-nilai luhur demokrasi.
Sungguh, antrean panjang selama 15 jam di TPS-TPS jauh lebih aman terjamin dari pada harus pedih menderita akibat rezim militer berkuasa hingga bangsa terpuruk dan penuh genangan darah. Adakah di negara demokrasi, lembaga yang dipilih rakyat dibubarkan lembaga yang dipilih seorang presiden yang tidak sah (Mubarak)? Ini terjadi di Mesir, saat DPR yang anggotanya dipilih rakyat dibubarkan Mahkamah Konstitusi yang anggota-anggotanya dilantik Mubarak. Adakah di negara demokrasi presiden yang terpilih hasil pilpres digulingkan oleh seorang jenderal yang baru saja dilantik oleh sang presiden yang sah? Ini terjadi di Mesir saat Menhan dalam Kabinet Mursi menggulingkan Mursi.
Pesta demokrasi di Mesir yang telah berlangsung dengan lima kali pemilu kini menjadi legenda. Musim semi Arab telah berganti dengan musim pembantaian massal di setiap lokasi aksi damai menentang kudeta berdarah. Sungguh, perjuangan rakyat sipil di Mesir bukan pergolakan kaum Islamis yang sedang menuntut hak-hak politik, tapi perjuangan mempertahankan legitimasi. Menegakkan kedaulatan rakyat. Menhadapi tirani politik. Melawan sindikat kekuasaan yang memiliki uang dan senjata. Jika tidak dihentikan, kita khawatir legitimasi kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi hukum rimba. Jika tidak segera dibendung, kita khawatir arus inhumaity, matinya nurani kemanusiaan dan gelombang penodaan demokrasi menular ke negara-negara lainnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar