|
Berbagai persoalan masih membelit
guru, baik guru honorer, PNS dan guru bersertifikasi, meskipun reformasi sudah
berjalan 15 tahun di negeri ini. Guru honorer misalnya masih saja terbelit
dalam ketidakpastian nasib. Apabila dibandingkan dengan nasib guru PNS dan
sudah mengikuti sertifikasi, nasib guru honorer sungguh memprihatinkan.
Lebih miris lagi, kesejahteraan
guru honorer pun masih kalah jauh bila dibandingkan dengan gaji seorang buruh
kasar. Bahkan masih ada guru honorer yang gajinya tidak lebih dari Rp 500 ribu
per bulan. Termasuk, pembayaran honor itu pun tidak tepat waktu. Alasan
keterlambatan yang sangat lumrah sekarang adalah menunggu cairnya dana biaya
operasional sekolah (BOS).
Dari segi kuantitas, jumlah guru
honorer di Indonesia saat ini tidaklah sedikit. Guru yang bernaung dibawah
madrasah dengan segala tingkatan, misalnya mencapai 650.809 guru, dan 80 persen
di antaranya berstatus non PNS (Republika, Jumat, 3 Mei 2013). Beban tugas
seorang guru honorer pun tidak jauh berbeda dengan guru PNS. Namun, soal
kesejahteraan, fasilitas yang dimiliki jangan dibandingkan ataupun
dipertanyakan, kalah jauh. Di beberapa daerah tidak sedikit pula mereka
terpaksa harus turun ke jalan menjadi tukang ojek memperjuangkan nasibnya untuk
memenuhi kebutuhan dapur.
Namun, perhatian terhadap mereka
kurang memadai. Ada guru honorer yang telah mengabdi belasan tahun tetapi tidak
diperhatian untuk menjadi PNS. Kepada siapakah mereka harus mengadukan
nasibnya, padahal masalah itu sudah menjadi rahasia umum. Sementara mereka yang
cerdik, pintar menjilat dan dekat dengan kekuasaan akan meraup keuntungan.
Namun, mereka yang polos-polos saja, terabaikan.
Meski sudah belasan tahun
mengajar, nasib guru honorer di "belantara" era otonomi dan belenggu
kekuasaan ini, masih saja terpuruk. Hal ini semakin menguatkan bahwa guru
honorer memang "seorang pejuang tanpa tanda jasa."
Setali tiga uang nasib guru PNS
dan guru bersertifikasi pun hampir sama meskipun mereka ini diuntungkan karena
sudah menjadi PNS dan menyandang sertifikasi. Satu hal yang hampir selalu
dialaminya adalah, keterlambatan pembayaran dan ketidakpastian pembayaran sudah
lumrah dialami oleh guru PNS dan guru bersertifikasi. Jika pada tahun
sebelumnya sertifikasi dikelola di daerah sering sekali mengalami keterlambatan
pembayaran, maka pada tahun 2013 ini pengelolaannya diambil alih oleh pusat.
Itu pun diduga tidak akan jauh
berbeda, dihantui keterlambatan penerimaan honor sertifikasit. Bahkan di
antaranya mereka terbersit kecemasan dan kecemaasan itu semakin meningkat
karena sertifikasi mereka ada yang diterima sebagian dan ada pula yang dipotong.
Alasan yang muncul, karena data yang telah mereka isi dan kirimkan dari daerah
secara online ternyata tidak dapat diverifikasi di Kemdikbud. Saling tuding pun
tak dapat dihindarkan, namun ketiban sialnya tetap guru.
Kemdikbud menyalahkan guru,
sementara guru sertifikasi telah merasa yakin dengan pemenuhan persyaratan yang
diminta. Usut punya usut, rupa-rupanya UKG online yang tahun lalu bermasalah
belum bisa juga diatasi dan hal itu tidak dijadikan pembelajaran bagi
Kemdikbud. Lagi-lagi teknologi menjadi penyebabnya. Guru yang seharusnya
menerima tunjangan sertifikasi harus menerima pil pahit. Mereka tidak mempunyai
SK untuk dibayarkan tunjangan sertifikasinya. Mereka inipun akhirnya resah dan
panik.
Padahal, lahirnya Undang-Undang
No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pada dasarnya merupakan kebijakan
pemerintah yang di dalamnya memuat usaha untuk menata dan memperbaiki mutu guru
Indonesia. Namun, pemberian tunjangan sertifikasi sebagaimana amanah dari UU
seringkali mengalami permasalahan. Sejak dari berbelit-belitnya sistem
birokrasi, terjadinya penundaan pencairannya dan yang saat ini verifikasi yang
mengalami kendala.
Pun pada tahun ini mengenai
srtifikasi itu persyaratannya di tambah. Jika pada tahun sebelumnya guru yang
mengambil jam tambahan di sekolah yang tidak sama jenjangnya dan mengajar bukan
pada bidang studi yang relevan masih diakui, maka pada tahun ini hal itu tidak
berlaku. Sehingga, menimbulkan masalah baru lagi bagi guru yang sudah
sertifikasi. Mereka dinyatakan tidak memiliki jam mengajar yang cukup di
sekolahnya.
Kemudian, kisruh pengelolaan
pembayaran tunjangan sertifikasi bagi guru akan berpengaruh terhadap motivasi
dan kinerja mereka. Seperti disebutkan oleh berbagai pakar bahwa peningkatan
kinerja seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal bersumber pada diri individu guru itu sendiri,
sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang datang dari luar. Tunjangan
sertifikasi merupakan salah satu contoh faktor eksternal yang berpengaruh
terhadap kinerja guru. Apabila penyalurannya sarat masalah, ini akan berdamapak
pada semangat guru dalam mengajar dan menjalakan tugasnya.
Melihat nasib guru honorer maupun
guru PNS, masih belum terkelola dengan baik. Sudah saatnya Kemdikbud mengevaluasi
dan memberikan solusi yang memihak kepada para guru tersebut. Untuk guru
honorer jangan biarkan mereka berkubang dalam penderitaan. Kemudian para guru
honorer yang telah belasan tahun mengabdi tidak boleh luput dari pendataan.
Keadilan harus berlaku untuk semua dan nurani kejujuran haruslah diutamakan
dalam mengelola mereka.
Terakhir harapannya, pengelolaan
tunjangan sertifikasi harus sesuai dengan harapan para guru, agar kualitas
pendidikan semakin baik. Sebagaimana tujuan diberikannya tunjangan sertifikasi
yang diamanahkan UU yaitu, menata dan memperbaiki mutu guru yang berujung pada
peningkatan kualitas pendidikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar