|
AKHIRNYA, pada hari yang sama, yaitu Jumat, 23 Agustus
2013, pemerintah dan BI mengeluarkan paket kebijakan untuk mengatasi pelemahan
nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Langkah itu tepat mengingat solusi mengatasi pelemahan
nilai tukar rupiah terhadap dolar membutuhkan perbaikan sektor riil sekaligus
sektor moneter. Paket kebijakan sektor riil (produksi dan distribusi) yang
dikeluarkan pemerintah meliputi 4 hal. Paket kebijakan pertama; memperkecil
defisit neraca pembayaran internasional dengan arah kebijakan mendorong ekspor
dan menekan impor. Di sisi lain, tingkat inflasi di Indonesia naik karena
kebijakan menaikkan harga BBM.
Naiknya tingkat inflasi menyebabkan rupiah yang beredar
bertambah. Karena itu, logis jumlah dolar AS berkurang dan jumlah rupiah
bertambah sehingga nilai tukar rupiah terhadap dolar akan turun. Kebijakan
mendorong ekspor yaitu dengan memberi keringanan pajak bagi industri padat
karya yang produknya minimal 30% diekspor.
Di sisi lain ada kebijakan menekan impor dengan
meningkatkan komponen biofuel untuk solar yang diimpor sehingga menurunkan
kebutuhan impor solar yang saat ini mencapai 5 kiloliter per tahun serta
meningkatkan pajak penjualan barang mewah (PPn BM) untuk mobil built up dan
barang mewah dari 75% ke 125-150%.
Paket kebijakan kedua; menekan inflasi yang dapat
menyebabkan turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Salah satu sumber
inflasi adalah defisit APBN. Kebijakan yang diambil adalah dengan menjaga
defisit APBN pada 2013 tetap 2,38% dari PDB. Kebijakan ini sekaligus menolak
anjuran beberapa pihak supaya memperlonggar batas defisit 2013 sampai 4%.
Paket kebijakan ketiga, pada dasarnya juga untuk menjaga
tingkat inflasi tetap rendah. Salah satu sumber inflasi lain adalah kelangkaan
barang, khususnya daging dan hortikultura (buah-buahan, bawang merah,bawang
putih, cabai). Untuk menjaga harga komoditas tersebut maka stok ditambah dengan
impor. Paket kebijakan keempat bertujuan meningkatkan aliran devisa atau dolar
AS ke dalam negeri yang jangka waktu tinggal lama. Dolar jenis itu hanya bisa
diperoleh dengan meningkatkan investasi asing.
Maka kebijakan baru yang diambil adalah mendorong investasi
asing dengan cara mempermudah perizinan dan meninjau kembali daftar negatif
investasi (DNI). Contoh perizinan yang dipermudah adalah izin usaha migas di
sektor hulu dari 69 jenis menjadi hanya 8. Sektor Moneter Menyadari bahwa
perbaikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak hanya pada sektor riil
oleh pemerintah, BI pun mengeluarkan 5 paket kebijakan moneter. Pertama;
mengeluarkan Sertifikat Deposito BI (SDBI) tetapi tidak boleh dipegang atau
dibeli pihak asing.
Penerbitan SDBI dimaksudkan untuk membuat bank-bank lebih
tertarik memegang portofolio lebih banyak dalam rupiah sehingga mereka
menukarkan dolar AS. Kedua; jatuh tempo deposito berjangka (time deposit) dalam bentuk dolar AS atau
valuta asing diperpanjang dari semula 3 kemungkinan yaitu 7, 14, dan 30 hari
menjadi 1 hari sampai 12 bulan (atau 1 tahun). Harapannya, pemegang dolar AS
menyimpan dolar lebih lama sehingga pasokan dolar AS di dalam negeri lebih
banyak dan dengan demikian kurs rupiah terhadap dolar AS tidak turun. Ketiga;
memperlonggar instrumen reswap untuk produk derivatif surat-surat berharga
dalam dolar AS.
Semula produk derivatif tersebut tidak boleh ditanggungkan
atas transaksi itu sendiri. Tujuannya sama agar pemegang dolar dalam bentuk produk
detivatif memegang dolarnya lebih lama di Indonesia. Keempat; kebutuhan dolar
AS atau valuta asing eksportir bisa lebih mudah diperoleh dengan menunjukkan
dokumen penjualan hasil ekspor untuk jangka waktu 6 bulan dengan batas maksimal
200 juta dolar, dan bisa dilakukan berkali-kali. Hal ini untuk mendorong
eksportir menyimpan lebih lama dolar AS di bank-bank Indonesia tanpa khawatir
kesulitan kembali menarik.
Masalah Pungli
Kelima; merelaksasi Peraturan BI Nomor 13/7/PBI/2011
tentang Pinjaman Luar Negeri Bank bahwa bank wajib memenuhi ketentuan
pembatasan utang luar negeri (ULN) jangka pendek 30% dari modal. Bank sentral
menambah jenis pengecualian ULN berupa giro milik bukan penduduk yang menampung
dana hasil divestasi.
Ada beberapa catatan tentang paket kebijakan sektor riil
dan moneter itu. Pertama; perlu mengapresiasi langkah pemerintah dan BI. Kedua;
kebijakan mendorong ekspor dengan keringanan pajak bisa saja efektif tetapi
bisa juga tidak. Persoalannya, yang turun adalah biaya resmi. Bagaimana biaya
tidak resmi, seperti biaya ekstra atau pungli? Catatan yang sama berlaku untuk
kebijakan menarik investasi.
Selama ini di samping kerumitan perizinan, investor
dihadapkan tingginya biaya tidak resmi. Ketiga; efektivitas kebijakan menekan
impor, terutama lewat menaikkan PPn BM mobil dan barang mewah masih diragukan.
Banyak bukti menunjukkan bahwa penduduk kelas menengah dan atas Indonesia
adalah konsumen yang rakus terhadap barang impor berharga mahal. Keempat; tetap
perlu mempertimbangkan kebijakan meningkatkan BI rate.
Selama ini BI rate tetap alat paling ampuh mengerem laju
turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Kelima; membangun kesadaran bersama
di masyarakat, dunia usaha, BI, dan pemerintah bahwa langkah memperbaiki nilai
tukar rupiah/dolar AS bukan untuk mengembalikan ke level di bawah Rp 10.000
tetapi lebih mempertahankan jangan sampai rupiah terperosok lebih dalam. Kurs
rupiah harus dibiasakan mencapai keseimbangan baru Rp 10.000 per dolar AS ke
atas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar