Minggu, 25 Agustus 2013

Pendidikan yang Membebaskan

Pendidikan yang Membebaskan
Masduri ;    Peneliti Teologi & Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Pustakawan Pesantren Mahasiswa (PesMa) IAIN Sunan Ampel Surabaya
SUARA KARYA, 24 Agustus 2013


Tahun ini dunia pendidikan Indonesia ditandai dengan mulai diterapkannya kurikulum baru, yakni Kurikulum 2013. Implementasinya itu dimulai sejak Senin (15/7) oleh 6.500 sekolah dari jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK di 295 kabupaten/ kota di 33 provinsi.

Namun, kemunculan Kurikulum 2013 sejak awal sudah menuai pro kontra meskipun pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) tak bergeming, optimis implementasi kurikulum ini menjadi jalan terbaik bagi terwujudnya manusia yang berkualitas secara moral dan intelektual. Apakah memang demikian, sejatinya pendidikan itu membawa kebebasan sebagaimana pandangan Jean-Paul Sastre bahwa manusia adalah makhluk bebas, sehingga dirinya tidak suka dikekang.

Kurikulum 2013 dengan seperangkat aturan main yang ada di dalamnya, menghadirkan pengekangan terhadap peserta didik. Peserta didik didikte mengikuti semua aturan main sebagaimana ketentuan kurikulum, sehingga mereka tidak diberi kesempatan menentukan bersama-bersama model pembelajaran yang ideal. Mungkin Kemdikbud mengira ukuran ideal hanya cukup ditentukan oleh pemerintah dan pakar pendidikan yang dilibatkannya. Sementara peserta didik juga memiliki kebebasan berpikir dalam menentukan model pembelajaran yang ideal. Peserta didik bukan robot, dapat digerakkan secara simultan dengan sistem mekanik yang ada. Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebebasan berpikir dalam menentukan arah hidupnya. Mereka memiliki kemampuan merancang model pembelajaran ideal dalam proses belajar mengajar. Filsuf pendidikan, John Dewey pernah memberikan kritik sangat tajam terhadap dunia pendidikan. Ketika ia pertama kali memulai eksperimennya di Universitas Chicago, ia mengkritik sistem pendidikan tradisional yang determinatif.

Menurut Dewey pendidikan harus menekankan kebebasan akademik. Kebebasan akademik merupakan pondasi dasar dalam mengembangkan demokrasi di sekolah yang bertumpu pada interaksi dan kerja sama, berdasarkan pada sikap saling menghormati dan memperhatikan satu sama lain, berpikir kreatif menemukan solusi atas problem yang dihadapi bersama, dan bekerja sama untuk merencanakan dan melaksanakan solusi. Dengan demikian, lembaga pendidikan harus mendorong dan memberikan kesempatan kepada semua peserta didik untuk aktif berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, merancang, dan melaksanakan kegiatan belajar.

Kritikan Dewey ini sangat relevan dengan kondisi pendidikan di Indonesia. Sekarang sekolah di Indonesia disibukkan dengan implementasi Kurikulum 2013, kurikulum yang jika dikategorikan dengan gagasan Dewey masih bersifat tradisional. Meski mungkin pihak Kemdikbud dan para pakar pendidikan yang dilibatkannya, menganggap Kurikulum 2013 sangat modern.

Inti gagasan Dewey tentang sistem pendidikan terletak pada kebebasan akademik. Kebebasan harus menjadi standar dasar pendidikan. Seperti bahasa Dewey, peserta didik harus diberikan kebebasan akademik untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan, merancang, dan melaksanakan kegiatan belajar. Sehingga mereka bisa belajar dengan baik dan menyenangkan karena memang semua sistem pembelajaran dibuat atas kesepakatan bersama. Tetapi, semua itu tidak ada dalam Kurikulum 2013. Peserta didik dipaksa mengikuti konsep sistem belajar yang telah dibuat oleh Kemdikbud.

Kebebasan menjadi penting, sebab pada prinsipnya setiap manusia menginginkan eksistensi dirinya diakui oleh orang lain. Sementara, jika peserta didik dipaksa mengikuti Kurikulum 2013 yang aturan mainnya sudah ditentukan, sama saja dengan membunuh eksistensi diri peserta didik, yang sejatinya juga memiliki kemampuan menentukan sistem pembelajaran ideal.

Jean-Paul Sarte, selalu menandaskan bahwa hal esensial dari hidup manusia adalah kebebasan. Dalam bahasa Sartre, manusia sejatinya dikutuk untuk bebas. Karena itu, pendidikan sudah semestinya menjunjung tinggi kebebasan sebagai upaya riil memanusiakan manusia. Pendidikan tidak lain hadir sebagai upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik, baik potensi fisik, potensi cipta, rasa, maupun karsa, sehingga potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam tindakan riil. 

Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, organis, harmonis, dinamis guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.
Jika tujuan utama pendidikan adalah memanusiakan manusia, mengapa sistem pendidikan, termasuk Kurikulum 2013, mengingkari kodrat kebebasan manusia? Dengan demikian, Kurikulum 2013 hanya akan menyisakan problem berkepanjangan, seperti halnya kurikulum-kurikulum sebelumnya, yang tidak mampu mencapai tujuan utamanya. Hal itu terjadi, karena penerapan kurikulum bertentangan dengan kodrat kebebasan manusia. Peserta didik seharusnya dibiarkan bebas, menentukan cara belajar ideal berdasar pemikirannya sendiri, yang diperoleh dari kesepakatan bersama. Maka, gagasan Dewey sangat efektif sekali menjadi acuan pendidikan nasional di Indonesia, dengan memberikan kebebasan akademik kepada peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan, merancang dan melaksanakan kegiatan belajar yang ideal berdasar kesepakatan bersama.

Kebebasan akademik yang diberikan kepada peserta didik akan memberikan dorongan belajar yang tinggi, serta rasa senang dalam proses belajar. Sehingga bila mereka memiliki semangat tinggi dan merasa nyaman dengan sistem pembelajaran yang dirancangnya sendiri bersama guru dan teman-temannya. Sangat mudah bagi mereka mencerna, memahami, dan mengimplementasikan pengetahuan yang didapatnya dalam proses belajar.

Kunci keberhasilan pendidikan, sejatinya bertumpu pada kebebasan. Kebebasan akan melahirkan semangat dan rasa senang yang tinggi dalam belajar. Bila hal ini terpenuhi, sangat mudah bagi lembaga pendidikan mewujudkan generasi Indonesia yang memiliki kualitas moral dan intelektual tinggi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar