|
Hingga Mei lalu, nilai aset pasar
finansial di negara berkembang terus melambung. Indeks-indeks harga saham
melaju, kurs menguat terhadap dollar AS, arus modal masuk membanjiri Thailand,
Indonesia, hingga ke Brasil. Iming-iming tingkat suku bunga yang lebih tinggi
ketimbang di negara maju seperti AS menjadi salah satu penarik dana asing.
Bagaikan mimpi di siang bolong,
pada 22 Mei Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke memberikan sinyal akan
mengurangi pembelian obligasi yang semula sebesar 85 miliar dollar AS per bulan
jika perekonomian AS membaik pada akhir tahun ini. Program pembelian obligasi
itu merupakan salah satu paket stimulus untuk membantu memulihkan ekonomi AS
setelah terdera krisis finansial pada 2008.
Dengan pembelian obligasi jangka
panjang, bank sentral berusaha menekan tingkat suku bunga tetap rendah.
Diharapkan, dengan tingkat suku bunga rendah ini, pengusaha dapat berekspansi.
Logikanya, lebih banyak pihak yang
senang jika perekonomian AS membaik. Maknanya, daya beli membaik, konsumsi
kembali tumbuh. Pemasoknya, berbagai negara, terutama China. Di sisi lain,
China menyerap berbagai macam bahan baku semisal batubara dari Indonesia, juga
barang tambang lain dari Australia. China yang pertumbuhan ekonominya melorot
sangat berharap dari pemulihan ekonomi AS ini.
Ternyata, pernyataan Bernanke itu
ditanggapi negatif. Rupanya stimulus telah menjadi candu. Era tingkat suku
bunga rendah akan berakhir. Tidak ada lagi dana supermurah. Para investor mulai
menarik dananya di pasar berkembang kembali lagi ke negara maju. Aset di pasar
berkembang dilepaskan, bursa saham rontok. Kurs mata uang di negara berkembang
tertekan. Imbal hasil obligasi melonjak, menandakan para investor berpendapat
risiko di negara berkembang semakin tinggi.
India merupakan negara yang paling
rentan di antara tetangganya. Pertumbuhan perekonomiannya hanya 4-5 persen,
separuh dari pertumbuhan pada era kejayaan dalam kurun 2003-2008. Laju inflasi
juga melonjak mencapai 10 persen. Defisit neraca transaksi berjalan sudah
mencapai 7 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2012. Menurut bank
sentral, rasio defisit yang dapat dikelola 3,5 persen dari PDB. Rupee pun
melorot sekitar 15 persen dari awal tahun lalu. Kisah sama terjadi di pasar
modal.
Neraca transaksi berjalan mengalami
defisit karena impor lebih banyak ketimbang ekspor. Neraca ini terdiri dari
neraca perdagangan, neraca modal, dan neraca investasi. Di negara berkembang,
pelemahan ekspor karena penurunan permintaan dari negara maju yang sedang
melambat pertumbuhannya.
Pemerintah India bukannya berpangku
tangan dalam mengatasi masalah ini. Bank sentral memberlakukan kontrol kapital
baru yang membatasi jumlah dana yang dapat ditransfer ke luar negeri. Hasilnya,
investor malahan ketakutan India akan membekukan aset mereka seperti yang
pernah dilakukan Malaysia pada 1998. Kurs rupee terus tergelincir. Bank sentral
lalu mengintervensi pasar obligasi untuk membuat imbal hasil kembali stabil.
BUMN diimbau menerbitkan obligasi di luar negeri.
Belanja publik telat
Thailand, negara yang menjadi cikal
bakal krisis finansial Asia 1998, sudah terjatuh dalam resesi. Pertumbuhan
ekonomi pada kuartal kedua terkontraksi 0,3 persen setelah terkontraksi 1,7
persen pada kuartal pertama. Salah satu penyebabnya adalah keterlambatan
persetujuan anggaran publik oleh parlemen.
Pemerintah sudah mengajukan rencana
belanja publik sebesar 64 miliar dollar AS dalam bentuk proyek peremajaan jalan
kereta api, jalan, dan pelabuhan. Belanja publik ini akan mendongkrak
pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 1 persen dan membuka 500.000 lapangan
kerja. Bank sentral Thailand sudah menurunkan tingkat suku bunga kredit sebesar
25 basis poin untuk membantu pemulihan ekonominya.
Selain itu, tingkat suku
bunga juga tidak dinaikkan.
Sementara itu, tetangga terdekat
Malaysia masih membukukan neraca transaksi berjalan yang surplus. Hanya saja,
surplus ini semakin sedikit sebesar 2,6 miliar ringgit atau sekitar 780 juta
dollar AS. Menurut catatan, dengan surplus sebesar itu, Malaysia sudah
mendekati defisit. Pertumbuhan pun dipangkas dari 6 persen menjadi 4,5-5 persen
untuk tahun ini.
Berbagai kebijakan dalam jangka
pendek, menengah, dan panjang yang hati-hati sangat diperlukan dalam menghadapi
gonjang-ganjing seperti ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar