|
Dinas Pendidikan (Disdik) Kota
Prabumulih, Sumatra Selatan, membuat rencana kebijakan untuk melakukan tes
keperawanan bagi calon siswi SMA sederajat di kabupaten tersebut. Ini merupakan
respons atas maraknya kasus siswi sekolah yang berbuat mesum, bahkan diduga
melakukan praktik prostitusi. Rencananya, kebijakan tersebut akan diterapkan
mulai tahun pelajaran 2014-2015. Kebijakan tersebut tentu mendapat banyak
tanggapan dari masyarakat. Mereka ada yang setuju dan ada yang keberatan.
Bias gender
Secara sosiologis, tes keperawanan
bagi siswi merupakan sebuah kebijakan yang sangat instan dan tidak memiliki
dasar argumentasi yang kuat. Kebijakan tersebut justru menimbulkan masalah baru
di kemudian hari.
Pertama, kebijakan tersebut sangat
bias gender. Pihak perempuan diposisikan sebagai pihak yang salah ketika hasil
tes menunjukkan bahwa seorang siswi `tidak perawan'. Hilangnya keperawanan
dapat disebabkan banyak faktor, tidak hanya akibat hubungan seksual. Dari
sisi medis, hilangnya keperawanan juga dapat disebabkan faktor fisik, misalnya,
jatuh. Secara sosial, hilang nya keperawanan juga tidak selalu terjadi secara
sengaja, namun dapat disebabkan kejadian yang tidak diharapkan, misalnya:
diperkosa.
Kedua, jika seorang siswi terbukti
tidak perawan lagi, ia akan dirugikan dengan hasil tes tersebut. Ketidakperawanannya
akan diketahui banyak orang. Tentu saja, ini merupakan aib bagi siswi dan
keluarganya. Hal ini justru akan menyebabkan masalah sosial baru, siswi
tersebut akan depresi, yang kemungkinan akan berlanjut pada kekecewaan yang
berujung bunuh diri atau perbuatan lain. Selain itu, ada kemungkinan mereka
akan melampiaskan kekecewaannya dengan menenggelamkan diri dalam dunia
prostitusi.
Ketiga, jika seorang siswi tidak
perawan disebabkan ia melakukan hubungan seks dengan sengaja, bagaimana dengan
laki-laki yang telah menyebabkan siswi tersebut kehilangan keperawanannya?
Kebijakan ini jelas merugikan perempuan dan menguntungkan laki-laki. Perempuan
menjadi pihak yang paling dirugikan, dia harus kehilangan keperawanannya,
menanggung malu, dan tidak diperbolehkan sekolah. Sementara laki-laki sama
sekali tidak mendapat hukuman. Ini jelas tidak adil.
Keempat, jika kebijakan ini diterapkan,
secara tidak langsung sekolah telah melepas tanggung jawabnya untuk membina
akhlak siswa. Peran sekolah kembali dipertanyakan dan menunjukkan bahwa sekolah
merasa selalu berada di pihak yang benar, karena mereka menuding
`ketidakperawanan' siswi disebabkan kesalahan dirinya. Secara sosiologis,
maraknya pergaulan bebas juga disebabkan faktor kegagalan sekolah dalam
melakukan pendidikan nilai, mereka gagal membina komunikasi dengan siswa.
Kegagalan lingkungan
Maraknya pergaulan bebas yang berujung
pada perilaku seks bebas bukanlah sebuah fenomena tanpa sebab. Pemerintah
seharusnya lebih fokus untuk menangani faktor penyebabnya daripada menyudutkan
pihak perempuan dengan melakukan tes keperawanan yang tidak memiliki dasar
argumentasi yang jelas.
Pertama, meningkatkan peran keluarga
dalam pembinaan akhlak remaja.
Keluarga memiliki peran sangat penting dalam hal ini. Pemerintah dapat meningkatkan peran keluarga melalui pemberdayaan masyarakat lokal. Peranan lembaga di sekitar keluarga juga harus ditingkatkan: peranan PKK, dasawisma, RT, semuanya dapat dimanfaatkan untuk menyosialisasikan peran ini.
Keluarga memiliki peran sangat penting dalam hal ini. Pemerintah dapat meningkatkan peran keluarga melalui pemberdayaan masyarakat lokal. Peranan lembaga di sekitar keluarga juga harus ditingkatkan: peranan PKK, dasawisma, RT, semuanya dapat dimanfaatkan untuk menyosialisasikan peran ini.
Kedua, sekolah. Sekolah merupakan
lembaga kedua tempat individu memperoleh berbagai nilai-nilai sosial. Sekolah
dapat melakukan pendidikan nilai dengan berbagai cara, secara formal maupun
informal. Guru merupakan orang yang dekat dengan siswa yang harus dapat
menjalin komunikasi dengan siswa.
Ketiga, masyarakat. Sering kali masyarakat
merupakan pihak yang sering memberikan pengaruh buruk bagi perkembangan sosial
siswa. Masyarakat bukan hanya dimaknai sebagai masyarakat secara fisik yang
tinggal di sekitar siswa, melainkan termasuk juga media massa. Meskipun
keluarga dan sekolah sudah maksimal memberikan pendidikan nilai, namun usaha
tersebut dapat rusak karena media masih sering memberikan tontonan yang tidak
bermanfaat dan cenderung merusak akhlak.
Dinas pendidikan seharusnya dapat
berkoordinasi dengan berbagai pihak.
Kecenderungan yang terjadi di tingkat lokal adalah aparat pemerintah sangat
sempit dalam memaknai tugas dan fungsinya. Dinas pendidikan terlalu menyibukkan
dirinya dengan masalah pengadaan dan pemeliharaan fasilitas sekolah, mereka terlalu
sibuk mengurusi sertifikasi guru, dan sejumlah rutinitas lainnya.
Mereka hampir tidak pernah berkoordinasi
dengan pihak lain untuk memperbaiki kualitas pendidikan nilai bagi siswa. Misalnya,
Unit Pendidikan Kecamatan dapat merangkul pihak kecamatan untuk melakukan
kegiatan yang bertujuan mengisi aktivitas remaja di luar jam sekolah. Dengan
koordinasi antarlembaga ini diharapkan tidak akan muncul kebijakan yang bermaksud
baik namun di sisi lain justru merugikan siswa. Kebijakan instan tidak akan
berdampak panjang, hanya berefek sesaat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar