|
BARANGKALI
walaupun harga bahan pokok melambung tinggi, harga BBM juga naik tidak terkira,
yang penting bagi rakyat Indonesia ialah harga pulsa jangan dinaikkan. Biarpun
masih banyak penduduk miskin di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS)
mencapai 28 juta jiwa lebih pada awal 2013 ini, kenyataannya berdasarkan data
CIA yang dikutip dari sebuah situs, hampir setiap orang di Indonesia memiliki
telepon seluler atau bahkan banyak dari orang Indonesia yang memiliki gadget
atau handheld lebih dari satu. Pelanggan seluler di Indonesia hingga akhir 2012
hampir 237 juta, atau hampir sama dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini.
Jadi, mungkin perangkat telekomunikasi telah menjadi
kebutuhan pokok rakyat negeri ini bersanding dengan sandang, papan, dan pangan.
Tidak ada yang salah dengan itu semua, jika saja kita tidak menjadi `boros' akibat keranjingan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Tidak ada yang salah dengan itu semua, jika saja kita tidak menjadi `boros' akibat keranjingan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Perkembangan teknologi itu yang demikian pesat, terlihat
dari cepatnya penambahan fitur maupun kecanggihan yang lain, membuat orang
cenderung berkeinginan memiliki perangkat yang baru.
Pada kurun waktu 20092012 berdasarkan data KSO Sucofindo
seperti dikutip dari sebuah situs, jumlah ponsel yang diimpor mencapai lebih
dari 165 juta unit. Untuk belanja ponsel sejumlah itu, devisa harus melayang ke
negara lain mencapai lebih dari US$7,5 miliar. Konsumtif sekali. Bayangkan,
jika saja produksi gadget itu ada di Indonesia.
Bahaya bagi
lingkungan
Perangkat teknologi selalu memiliki dua sisi, yang satu
gambaran kesenangan, yang satu lagi angka yang mesti dibayar. Dampak buruk TIK
sudah banyak diketahui. Radiasi yang memancar dari perangkat ini membuat kita
seyogianya jangan langsung mendekatkan ponsel ke telinga saat hubungan belum
tersambung. Bahaya buat kesehatan. Atau banyaknya kecelakaan di jalan raya yang
disebabkan pengendara yang tetap menggunakan ponsel saat berkendara. Bukan
hanya bahaya buat dia, melainkan juga untuk pengguna jalan raya lainnya. Ada
seorang nenek yang meninggal tertabrak oleh anak gadis yang aktif berponsel
sambil nyetir motornya.
Dampak yang paling mengerikan dan ditakuti banyak orang
ialah munculnya era post-humanist, saat orang betul-betul tidak butuh orang
lain lagi. Komputer kecil yang ada di tangannya berbentuk sebuah telepon
seluler, atau hanya berbentuk noktah kecil karena berkembangnya teknologi
virtual, menyebabkan dia tidak butuh lagi pada manusia lainnya. Apalagi nanti
komputer tersebut telah menjadi `multimedia banget', seluruh sensor manusia
alias pancaindra telah mampu ditiru secara sempurna oleh komputer. Itu tidak
mengada-ada karena bau sudah mulai bisa dikirimkan via internet. Nah, asyik
atau ngeri?
Namun, banyak yang kurang paham akan dampak buruk TIK itu
bagi lingkungan. Di era pemanasan global, kalau boleh saya menyebutkannya demikian,
karena inilah isu lingkungan yang menjadi trending topic di seluruh dunia dan
tidak hentinya menghantui kita, TIK memang menjadi harapan untuk mengurangi
penyebab pemanasan global melalui antara lain pengembangan paperless system,
teleworking, teleconference atau otomasi penggunaan perangkat listrik. AC, TV,
dan komputer mati otomatis setelah beberapa waktu tertentu sehingga energi
listrik dapat diefisienkan.
Masalahnya ialah penggunaan komputer dan peralatan TIK
lainnya sering kali tidak efisien listrik atau berlebihan. Coba saja dihitung,
berapa lama per hari kita menyala kan komputer, berapa lama komputer tetap
hidup, te tapi orangnya entah di mana, atau bahkan mati suri selama bulan puasa
ini alias tidur? Berapa lama kita internetan sehari untuk urusan update status,
ngetwit, dan lain-lain, berapa kali pula dalam sehari kita menge-charge ponsel
dan gadget kita yang lain?
Menurut Sobotta et al (2009), TIK juga meninggalkan jejak
karbon. Di Eropa, bersama perangkat elektronik rumah tangga lainnya, TIK
menyumbang 2% dari total gas-gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Jumlah
itu hampir sama banyaknya dengan sumbangan dari sektor penerbangan. Daripada menyumbang
karbon ke atmosfer, lebih baik me nyumbang karbon yang tersimpan di uang-uang
kertas ke masjid-masjid atau lembaga-lembaga amal lainnya.
Sebagian peralatan TIK memang lapar listrik. Untuk laptop
terkini yang kecepatan kerjanya makin tinggi dan makin multimedia, bahkan
seakan-akan wajib pula mem beli kipas pendingin agar motherboard tidak cepat
rusak. Tambah energi lagi. Lebih afdal lagi kalau diletakkan di ruang ber-AC.
Server wajib diletakkan di ruang ber-AC. Teknologi cloud computing yang merupakan teknologi pusat data yang menjadi
harapan efisiensi sekarang ini perlu banyak server yang haus listrik (dan AC
juga). Katanya teknologi cloud di AS
mengonsumsi 1,5% dari total energi listrik di sana (Liscia, 2009). Efisien di satu sisi, tetapi tetap perlu listrik
yang besar. Kalau ponsel kan tidak. Namun, kok perlu power bank agar dapat dibawa ke mana-mana?
Di samping meninggalkan jejak karbon, peralatan TIK juga
meninggalkan jejak barang bekas. Banyak ponsel dan gadget baru yang datang,
banyak pula yang menjadi usang, baik karena termakan oleh usia maupun karena
tren teknologi. Nah, persoalannya, dikemanakan barangbarang bekas TIK yang
sudah tidak terpakai lagi?
Sudah banyak yang kreatif memanfaatkan barang bekas
komputer maupun ponsel. Misalnya dijadikan diorama sebuah kota, pemanas
makanan, tempat sampah, dan kotak pos. Juga ada yang mendulang emas dari barang
bekas TIK ini. Dari 1 kg ponsel bekas, atau setara dengan 50 unit ponsel, dapat
diperoleh sekitar 1,5 gram emas. Atau dari sekitar dua unit CPU, dapat
diperoleh 0,2 gram emas. Masalahnya ialah proses pendulangan itu secara
tradisional menggunakan sejumlah bahan kimia yang langsung dibuang ke tanah
sehingga tidak ramah lingkungan.
Tidak semua pula bagian dari perangkat TIK itu yang dapat
dimanfaatkan, pasti ada sisanya. Jadilah turut serta menambah beban bagi
spasial bumi kita. Sampah-sampah komputer ini dikirim ke negara-negara miskin,
untuk dihancurkan dengan cara dibakar. Padahal dalam proses pembakaran tersebut
keluar sejumlah zat-zat beracun yang mengganggu kesehatan manusia.
Green dan
greening IT
Karena itu, perangkat TIK perlu juga dihijaukan atau orang
menyebutnya green IT. Dari perangkat keras, perangkat lunak, maupun manusia
yang merupakan tiga komponen penyusun perangkat TIK, semua dihijaukan. Tiga
konsep yang digunakan masih 3R (renewable,
recycle, reused), dapat diperbarui, dapat didaurulangkan, dan dapat
digunakan kembali.
Sebetulnya sederhana untuk melihat produk TIK hijau atau
hitam. Yang utama ialah tingkat kerakusannya terhadap energi listrik. Pilih juga yang
bahan pembuatnya ramah lingkungan.
Sebaiknya cari perangkat TIK yang diproduksi di negara
sendiri sehingga tidak mengonsumsi banyak bahan bakar dan energi untuk
membuatnya sampai ke atas meja kita. Sayangnya sebagian terbesar produk TIK ini
masih impor.
Manusia hijau dibutuhkan untuk greening IT, istilah yang digunakan untuk menjamin dan meningkatkan
bahwa TIK mampu membuat banyak sektor lain menjadi lebih hijau. TIK menyumbang
gas rumah kaca sekitar 2%, sektor lainnya masih 98%.
Sejauh ini, TIK mampu meningkatkan efisiensi dan
efektivitas berbagai kegiatan baik bisnis maupun nonbisnis. Diharapkan, para
manusia hijau dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas TIK hijau dalam
berbagai sektor sehingga sektor-sektor lainnya pun menjadi lebih hijau. Manusia
hijau ini juga termasuk manusia-manusia yang menggunakan peralatan TIK secara
bijaksana untuk kebajikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar