|
Di tengah kemacetan Jakarta, kita pun
akan berpikir keras dan tersenyum kecut ketika melihat gambar di truk atau
stiker (bumper sticker) yang
berbunyi, ”Piye...Kabare Bro...? Isih
Penak Jamanku tooo...!” Gambar di belakang truk angkutan ini juga
terpampang mantan Presiden Soeharto dengan seragam militer Jenderal Besar yang
terlihat tegak memandang dan seolah berkata, ”Gimana... kabarnya, Bro? Masih enak zaman saya kan...?”
Situasi ekonomi dunia, termasuk Indonesia,
memang memburuk bersamaan dengan membaiknya perekonomian dimulai dengan
mengalir kembalinya mata uang dollar AS ke negeri pencetaknya. Berbeda dengan Krisis Keuangan Asia 1997, krisis yang
melanda negara-negara non-Barat sekarang dihadapkan pada pilihan membela mata
uangnya (termasuk rupiah yang terperosok melebihi Rp 11.000) atau membela
pertumbuhan dalam negerinya. Ini memang pilihan sulit karena pilihan yang
tersedia hanya satu dan menjadi tidak mungkin menjalankan keduanya.
Keputusan bank sentral AS Federal Reserve mengurangi pembelian
obligasi sebagai bagian dari strategi quantitative
easing (QE) untuk membawa AS keluar dari krisis keuangan global 2008. Langkah
ini mengisyaratkan berakhirnya sebuah ekonomi global dengan uang murah dan
mulai terjadinya arus keluar uang dalam jumlah besar dari negara-negara yang
sedang membangun dan pertumbuhan tinggi di Asia dan Amerika Latin. Mata uang
dan saham berjatuhan dan tergeletak tanpa daya, dari Brasil sampai Indonesia.
Bahkan, India yang masif melakukan pembangunan di mana-mana pun terengah-engah.
Mungkin spanduk di daerah-daerah
membayangkan ucapan almarhum Soeharto ada benarnya. Untuk kasus Indonesia,
belum pernah perekonomian negara ini karut-marut dan
berjalan auto-pilot ketika bahan pangan pokok naik drastis, seperti
cabai, bawang, serta daging, dan didera kesengsaraan dengan anjloknya pasar
saham dan pasar uang.
Saling terkait
Selama satu dekade terakhir,
perekonomian global mungkin seperti digambarkan pada film layar lebar ”Elysium”
mitologi Yunani tentang dunia nirwana. Asia adalah nirwana dengan segala macam
pertumbuhan dalam ambivalensi membagi dunia dalam ghetto antara
kelebihan populasi, persoalan lingkungan, dan kerontokan ekonomi. Ini yang
terjadi di AS dan Eropa yang penuh dengan pengangguran, skandal perbankan, dan
berbagai sisi jelek lainnya.
Di sisi lain, pejuang hak asasi AS
Martin Luther King benar dengan menyatakan, ”Seluruh
kehidupan saling terkait satu sama lain.” Artinya, apa yang terkait dengan
kita juga akan terkait dengan lainnya dan kenyataan interkoneksi global tidak
lagi bisa berjalan sendiri antara keinginan Ketua Federal Reserve AS Ben
Bernanke, krisis zona euro, Abenomics, atau melambatnya perekonomian China.
Bagaimanapun, dunia sekarang ini
seperti favela di Rio de Janeiro, Brasil, ketika berbagai penduduk
hidup di atas penduduk lainnya, menyesuaikan dan membangun kebutuhan dasarnya
atas persoalan utama keamanan energi dan pangan. Krisis ekonomi dan keuangan
yang sekarang terjadi menjadi persoalan bersama, bukan lagi penguasaan
segelintir negara atau bank sentral saja.
Krisis ekonomi dan keuangan yang
dihadapi sekarang ini sebenarnya bukan saja akibat
dari terjadinya realokasi kapital akibat kembalinya modal ke AS tingkat suku bunga yang
lebih tinggi. Namun, disebabkan juga banyaknya
pemerintahan dunia, termasuk Indonesia, yang tidak mampu melakukan reformasi
menyeluruh secara utuh melaksanakan dan memperkenalkannya di tengah pertumbuhan
pesat ekonomi 2003-2008.
Gambaran umumnya, termasuk yang
terjadi di antara negara-negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan
Afrika Selatan), pemerintahan berkuasa tidak mampu meliberalisasi pasar bagi
buruh, energi, dan tanah. Pembangunan infrastruktur tidak dibenahi dengan
benar, korupsi dan hambatan birokrasi berbagai tingkat merajalela dan memburuk.
Menghadapi turbulensi
Mata uang seperti rupee milik
India, real dari Brasil, lira dari Turki, rand dari Afrika Selatan, dan
rupiahnya Indonesia, semuanya melemah secara bersamaan , mengharuskan
intervensi total berbagai pemerintahan. Dan yang paling desisif adalah
tanggapan bank sentral Brasil yang melakukan program intervensi sebesar 60
miliar dollar AS hari Kamis (22/8).
Di kawasan Asia, di luar India yang
sekarang kedodoran menghadapi arus balik modal dalam dollar AS, dua kekuatan
ekonomi China dan Jepang juga disibukkan dengan penataan kebijakan fiskal
masing-masing. Jepang terus memperdalam Abenomic
melalui pelemahan yen melalui kebijakan quantitative easing dan meningkatkan stimulus ekonomi. China
mulai memperketat kredit perbankan untuk mendisiplinkan praktik-praktik buruk
yang dikangkangi BUMN dan para birokrat komunis yang berkuasa.
Kedua negara dengan ekonomi
terbesar di dunia setelah AS ini, juga ikut memengaruhi jalannya globalisasi
ketika mereka sama-sama melakukan reformasi domestik meningkatkan pertumbuhan
yang melemah akibat menurunnya permintaan ekspor produk-produk yang dihasilkan
kedua negara ini. Namun, ketegangan politik dan keamanan atas klaim tumpang
tindih di antara keduanya menyebabkan inklinasi China-Jepang untuk melakukan
investasi dan perdagangan menjadi terhambat.
Kita pun khawatir, ketidaksepahaman
China-Jepang akan menyeret krisis ekonomi dan perdagangan di negara-negara Asia
dan Amerika Latin akan berkepanjangan, mendorong pendulum perubahan dan
perbaikan ekonomi global kembali ke negara-negara Barat. Banyak negara
Asia-Amerika Latin menjadi sangat khawatir dengan peran sentral global mata
uang dollar AS yang pasti akan menyebabkan permasalahan bagi ekonomi pasar yang
sedang berkembang di berbagai kawasan.
Pilihan yang tersedia bagi negara
kawasan, khususnya Asia Tenggara, adalah mulai memberlakukan dan kembali ke
meja dialog menghadapi turbulensi terkendali, khususnya ketika kebijakan ekonomi,
keuangan, dan perdagangan dilakukan unilateral oleh pengendali mata uang.
Warisan yang tersedia di kawasan
ASEAN dari Krisis Keuangan Asia 1997 adalah Inisiatif Chiang Mai sebagai
mekanisme pertukaran dollar AS multi-miliaran untuk menghadapi persoalan neraca
pembayaran serta kesulitan likuiditas jangka pendek. Mekanismenya tersedia,
strukturnya ada dalam AMRO (Asian
Macroeconomic Research Office), sehingga kesepakatan para pemimpin Asia
secara bersamaan bisa membawa dan mengatasi tujuan kita menuju jalan ke ”Elysium”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar