|
KEHADIRAN media televisi Indonesia ditandai dengan siaran kali
pertama TVRI pada 24 Agustus 1962. Stasiun televisi itu berkembang pesat
sebagai lembaga penyiaran yang banyak menyiarkan kepentingan pemerintah.
Setelah 27 tahun menikmati berbagai proteksi sebagai
‘’pemain tunggal’’, ia mendapat pesaing baru dari swasta, yakni RCTIyang
mengawali siaran pada 24 Agustus 1989. Sebagai pelopor industri pertelevisian,
TVRI telah meletakkan dasar jurnalisme televisi yang baik, terutama dalam
teknik penyampaian berita dengan mengabaikan konten. Waktu itu, khalayak tak
bisa banyak berharap TVRI membuka wawasan bagi tumbuhnya demokratisasi, karena
materi tayangan lebih menyuarakan kepentingan pemerintah.
Maklum, kala itu Orde Baru masih sangat kuat menguasai
seluruh sektor kehidupan, termasuk media. Industri pertelevisian berkembang
menjadi industri seksi yang menjanjikan keuntungan menggiurkan. Konten
beritanya pun berubah, dari model pemberitaan santun dan formal ala TVRI
menjadi model yang bebas, baik dalam penampilan maupun konten.
Maka televisi bukan hanya jadi media hiburan melainkan juga
media agitasi dan provokasi melalui saling serang dan perang kata. Jurnalisme
perang yang dikhawatirkan oleh Profesor Johan Galtung, ahli studi pembangunan,
ternyata saat ini tiap hari muncul di layar kaca kita.
Dari peristiwa kekerasan dan peperangan sesungguhnya sampai
kekerasan verbal dengan kata-kata. Jurnalisme perang lebih banyak menampilkan
berita konflik dan kekerasan apa adanya. Pola ini pula yang banyak dipakai oleh
infotainment televisi swasta yang menonjolkan konflik rumah tangga artis
ataupun konflik sesama artis dan masyarakat. Stasiun televisi juga memberi
wadah besar untuk konflik yang melibatkan politikus, pejabat, aktivis, kelompok
agama dan lainnya.
Konflik itu tak hanya ditampilkan dalam acara berita tapi
juga diulas panjang lebar lewat tayangan dialog, debat, atau wawancara khusus.
Ketika dua pihak yang berkonflik ditampilkan, terjadilah jurnalisme perang
secara verbal, saling serang, mencaci dan menjatuhkan. Mereka yang berkonflik
dihadapkan seperti dua pihak bermusuhan yang dipisahkan oleh pewawancara yang
bertugas menjadikan dialog tersebut ‘’makin panas’’.
Kekerasan verbal pun meningkat menjadi kekerasan fisik.
Kita tentu ingat seorang juru bicara sebuah kelompok menyiramkan air teh ke
wajah tokoh kampus saat keduanya diwawancarai. Kerap kali berita di layar kaca
menampilkan kekerasan dengan semangat jurnalisme perang. Sebuah stasiun
televisi pernah menampilkan secara live bentrok antara personel Satpol PPdan
warga yang menolak penggusuran sebuah makam.
Jurnalisme Damai
Untuk mencegah makin kemerebakan jurnalisme perang,
Galtung, yang kemudian diikuti Annabel Mc Goldrick dan Jake Lynch mengembangkan
jurnalisme damai (peace journalism)
untuk mengembalikan kegiatan jurnalistik ke arah semula, sebagai pembela kepentingan
publik. Jurnalis Indonesia pernah mengembangkan jurnalisme damai ketika banyak
kerusuhan terjadi: peristiwa kerusuhan diberitakan apa adanya, as is, tanpa upaya untuk berkontribusi
agar konflik itu tidak makin meluas. Beberapa kali diadakan seminar dan
lokakarya guna membahas jurnalisme damai penerapan dalam praktik, bagaimana
wartawan meliput dan menuliskan.
Begitu juga editor, bagaimana menyiapkan dan menyajikan
berita konflik dengan semangat memprovokasi pihak-pihak yang bermusuhan untuk
menemukan jalan keluar. Melalui peran mengedukasi khalayak, media bisa
melakukan pendekatan menang-menang untuk mencari makin banyak alternatif
menyelesaikan konflik.
Jurnalisme damai menurut Goldrick dan Lynch bisa terwujud
ketika redaktur dan reporter menetapkan ìpilihan- pilihan bersifat damaiî
tentang apa yang akan dilaporkan, dan bagaimana melaporkan. Dalam
pemberitaannya, media menempatkan dua pihak yang bersengketa dalam posisi sama,
tidak menempatkan salah satu pihak sebagai ‘mereka’ dan pihak lain sebagai
‘kita’.
Meskipun agak sulit untuk mencari praktik jurnalisme damai,
kita masih bisa menemukannya pada TVRI dan acara berita dan dialog. Para host seperti Soegeng Sarjadi, Todung
Mulya Lubis, dan Rhenald Kasali mengajak pemirsa untuk menikmati jurnalisme
damai. Penguasaan kuat materi, tidak menggurui, dan memberi kesempatan sumber
untuk bicara secara leluasa menjadikan masalah dibahas secara komprehensif,
meskipun acap agak membosankan. Sayang,
rating acara semacam itu rendah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar