|
Indonesia adalah negara besar yang
berpotensi menghadapi ancaman krisis energi. Suatu hal yang ironis, mengingat
Indonesia sebenarnya kaya sumber daya energi. Asian Development Bank mencatat, sistem energi akan menghadapi
tantangan di tengah pesatnya pertumbuhan di Asia. Dengan
pertumbuhan ekonomi rata-rata 6 persen per tahun, produk domestik bruto Asia
diprediksi akan mencapai 44 persen dari produk domestik bruto global tahun
2035. Ini akan membuat persentase konsumsi energi Asia terhadap dunia naik dari
sepertiga tahun 2010 menjadi 51-56 persen tahun 2035.
Ketersediaan
sumber energi di Asia untuk membangkitkan tenaga listrik sangat terbatas. Asia
memiliki cadangan batubara cukup besar, tetapi hanya memiliki cadangan terbukti
gas konvensional sekitar 16 persen dari total cadangan dunia. Maka rencana
membangun pembangkit listrik dengan energi baru terbarukan belum mampu memenuhi
kebutuhannya.
Kenyataannya,
hampir separuh penduduk dunia yang tidak dapat mengakses layanan kelistrikan
ada di Asia dan masih ada 2 miliar penduduk memenuhi kebutuhan bahan bakarnya
secara tradisional, misalnya dengan kayu bakar.
Energi Asia
akan tergantung pada minyak dan bahan bakar fosil yang sangat tinggi sehingga
harus mengimpor minyak yang saat ini mencapai 11 juta barrel dan akan menjadi
30 juta barrel pada tahun 2035. Oleh karena itu, perlu kerja sama antarnegara
Asia untuk mencari solusi sumber energi baru terbarukan, misalnya biogas,
nabati (sawit, singkong, aren, dan lain-lain), sinar matahari, dan hidro.
”Mapping”
potensi energi
Indonesia
memiliki sinar matahari melimpah, perkebunan tanaman sawit terluas, dan tanah
relatif subur yang bisa ditanami tanaman sumber energi.
Garis pantai
yang membentang luas menjadi sumber energi gelombang dan ada beberapa air
terjun yang berpotensi menjadi sumber energi listrik. Maka diversifikasi
penggunaan sumber energi menjadi penting, apalagi cadangan energi fosil terus
menurun dan diperkirakan hanya cukup untuk persediaan selama 32 tahun.
Ketergantungan
masyarakat Indonesia terhadap energi minyak bumi merupakan salah satu kendala
pemanfaatan energi alternatif.
Berdasarkan
data Kementerian ESDM (2012), pada tahun 2011 Indonesia memproduksi minyak 329
juta barrel, mengekspor minyak mentah 132 juta barrel, mengimpor minyak mentah
99 juta barrel dan bahan bakar minyak (BBM) 182 juta barrel pada tahun 2011,
serta mengonsumsi BBM 479 juta barrel. Terdapat defisit 150 juta barrel per
tahun.
Berdasarkan
pola pengembangan energi nasional, pemerintah sudah merencanakan penggunaan
bioetanol dan biodiesel sekitar 2 persen dari jumlah bahan bakar nasional pada
tahun 2010. Selanjutnya meningkat menjadi 5 persen pada 2025. Untuk mendorong
penggunaan bioetanol dan biodiesel, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan
insentif, tetapi hasilnya belum menggembirakan.
Padahal, jika
pemerintah mengeluarkan kebijakan berkaitan dengan energi alternatif atau
energi terbarukan, masyarakat akan menanggapinya secara positif, apalagi
apabila harganya murah dan terjangkau. Indonesia adalah negara yang tidak kaya
minyak. Kita lebih banyak memiliki energi lain seperti batubara, gas, CBM (coal bed methane), shale gas, panas
bumi, air, BBN (bahan bakar nabati), dan sebagainya.
Menurut data
Kementerian ESDM, potensi energi terbarukan seperti tenaga hidro memiliki
cadangan 845,00 million BOE ekuivalen dengan 75,67 GW dan kapasitas terpasang
baru 4,2 GW. Demikian pula potensi geothermal (219,00 million BOE), mikro hidro
(0,45), biomass (49,81 GW), dan tenaga angin (9,29).
Pasokan energi
terbarukan seperti panas bumi, tenaga air, tenaga surya, tenaga angin, biofuel,
dan biomassa selama periode 2000-2012 sangat rendah dan relatif konstan. Faktor
utama dari rendahnya pemanfaatan energi terbarukan adalah kebijakan harga
energi terbarukan yang belum mencerminkan keekonomiannya. Apalagi pada saat
yang bersamaan, harga BBM tertentu (minyak solar, bensin premium) mendapat
subsidi pemerintah.
Beberapa pertimbangan
Mengingat
cadangan minyak bumi kita diperkirakan hanya mampu mencukupi kebutuhan selama
23 tahun, gas 62 tahun, dan batubara 146 tahun, kebijakan konversi energi tidak
terbarukan ke energi terbarukan menjadi sangat penting. Ada beberapa
pertimbangan yang mendasari kebijakan ini.
Pasokan sumber
daya energi primer seperti panas bumi, sumber daya nabati, air, arus laut,
matahari, dan lain sebagainya bersifat permanen. Tidak dapat diperdagangkan dan
tidak dapat diekspor. Energi terbarukan juga ramah lingkungan, tidak memerlukan
jaringan distribusi yang mahal dan ekstensif, dan beberapa jenis energi
terbarukan tertentu dapat disediakan secara lokal sehingga menciptakan efek
desentralisasi.
Dalam banyak
hal, pengolahan energi terbarukan seperti panas bumi dan tenaga air serta
biofuel tidak memerlukan pengembangan teknologi baru. Karena sifatnya yang
ramah lingkungan, energi terbarukan dapat membantu pengurangan efek rumah kaca
sehingga memungkinkan perolehan pendanaan dari clean development
mechanism.
Pengembangan
energi terbarukan dapat menciptakan lapangan kerja yang melibatkan orang
banyak. Dalam konteks ini, energi terbarukan secara alamiah bersifat
non-monopolistik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar