Minggu, 25 Agustus 2013

Krisis Energi dan Potensi Energi Terbarukan

Krisis Energi dan Potensi Energi Terbarukan
Aunur Rofiq  ;    Ketua DPP PPP Bidang Ekonomi dan Kewirausahaan;
Praktisi Bisnis Pertambangan dan Perkebunan
KOMPAS, 24 Agustus 2013

Indonesia adalah negara besar yang berpotensi menghadapi ancaman krisis energi. Suatu hal yang ironis, mengingat Indonesia sebenarnya kaya sumber daya energi. Asian Development Bank mencatat, sistem energi akan menghadapi tantangan di tengah pesatnya pertumbuhan di Asia. Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6 persen per tahun, produk domestik bruto Asia diprediksi akan mencapai 44 persen dari produk domestik bruto global tahun 2035. Ini akan membuat persentase konsumsi energi Asia terhadap dunia naik dari sepertiga tahun 2010 menjadi 51-56 persen tahun 2035.
Ketersediaan sumber energi di Asia untuk membangkitkan tenaga listrik sangat terbatas. Asia memiliki cadangan batubara cukup besar, tetapi hanya memiliki cadangan terbukti gas konvensional sekitar 16 persen dari total cadangan dunia. Maka rencana membangun pembangkit listrik dengan energi baru terbarukan belum mampu memenuhi kebutuhannya.
Kenyataannya, hampir separuh penduduk dunia yang tidak dapat mengakses layanan kelistrikan ada di Asia dan masih ada 2 miliar penduduk memenuhi kebutuhan bahan bakarnya secara tradisional, misalnya dengan kayu bakar.
Energi Asia akan tergantung pada minyak dan bahan bakar fosil yang sangat tinggi sehingga harus mengimpor minyak yang saat ini mencapai 11 juta barrel dan akan menjadi 30 juta barrel pada tahun 2035. Oleh karena itu, perlu kerja sama antarnegara Asia untuk mencari solusi sumber energi baru terbarukan, misalnya biogas, nabati (sawit, singkong, aren, dan lain-lain), sinar matahari, dan hidro.
”Mapping” potensi energi
Indonesia memiliki sinar matahari melimpah, perkebunan tanaman sawit terluas, dan tanah relatif subur yang bisa ditanami tanaman sumber energi.
Garis pantai yang membentang luas menjadi sumber energi gelombang dan ada beberapa air terjun yang berpotensi menjadi sumber energi listrik. Maka diversifikasi penggunaan sumber energi menjadi penting, apalagi cadangan energi fosil terus menurun dan diperkirakan hanya cukup untuk persediaan selama 32 tahun.
Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap energi minyak bumi merupakan salah satu kendala pemanfaatan energi alternatif.
Berdasarkan data Kementerian ESDM (2012), pada tahun 2011 Indonesia memproduksi minyak 329 juta barrel, mengekspor minyak mentah 132 juta barrel, mengimpor minyak mentah 99 juta barrel dan bahan bakar minyak (BBM) 182 juta barrel pada tahun 2011, serta mengonsumsi BBM 479 juta barrel. Terdapat defisit 150 juta barrel per tahun.
Berdasarkan pola pengembangan energi nasional, pemerintah sudah merencanakan penggunaan bioetanol dan biodiesel sekitar 2 persen dari jumlah bahan bakar nasional pada tahun 2010. Selanjutnya meningkat menjadi 5 persen pada 2025. Untuk mendorong penggunaan bioetanol dan biodiesel, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan insentif, tetapi hasilnya belum menggembirakan.
Padahal, jika pemerintah mengeluarkan kebijakan berkaitan dengan energi alternatif atau energi terbarukan, masyarakat akan menanggapinya secara positif, apalagi apabila harganya murah dan terjangkau. Indonesia adalah negara yang tidak kaya minyak. Kita lebih banyak memiliki energi lain seperti batubara, gas, CBM (coal bed methane), shale gas, panas bumi, air, BBN (bahan bakar nabati), dan sebagainya.
Menurut data Kementerian ESDM, potensi energi terbarukan seperti tenaga hidro memiliki cadangan 845,00 million BOE ekuivalen dengan 75,67 GW dan kapasitas terpasang baru 4,2 GW. Demikian pula potensi geothermal (219,00 million BOE), mikro hidro (0,45), biomass (49,81 GW), dan tenaga angin (9,29).
Pasokan energi terbarukan seperti panas bumi, tenaga air, tenaga surya, tenaga angin, biofuel, dan biomassa selama periode 2000-2012 sangat rendah dan relatif konstan. Faktor utama dari rendahnya pemanfaatan energi terbarukan adalah kebijakan harga energi terbarukan yang belum mencerminkan keekonomiannya. Apalagi pada saat yang bersamaan, harga BBM tertentu (minyak solar, bensin premium) mendapat subsidi pemerintah.
Beberapa pertimbangan
Mengingat cadangan minyak bumi kita diperkirakan hanya mampu mencukupi kebutuhan selama 23 tahun, gas 62 tahun, dan batubara 146 tahun, kebijakan konversi energi tidak terbarukan ke energi terbarukan menjadi sangat penting. Ada beberapa pertimbangan yang mendasari kebijakan ini.
Pasokan sumber daya energi primer seperti panas bumi, sumber daya nabati, air, arus laut, matahari, dan lain sebagainya bersifat permanen. Tidak dapat diperdagangkan dan tidak dapat diekspor. Energi terbarukan juga ramah lingkungan, tidak memerlukan jaringan distribusi yang mahal dan ekstensif, dan beberapa jenis energi terbarukan tertentu dapat disediakan secara lokal sehingga menciptakan efek desentralisasi.
Dalam banyak hal, pengolahan energi terbarukan seperti panas bumi dan tenaga air serta biofuel tidak memerlukan pengembangan teknologi baru. Karena sifatnya yang ramah lingkungan, energi terbarukan dapat membantu pengurangan efek rumah kaca sehingga memungkinkan perolehan pendanaan dari clean development mechanism.
Pengembangan energi terbarukan dapat menciptakan lapangan kerja yang melibatkan orang banyak. Dalam konteks ini, energi terbarukan secara alamiah bersifat non-monopolistik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar