KORAN JAKARTA,
31 Juli 2013
|
Umat muslim
perlu membangun kesadaran bahwa kesalehan akan terbentuk melalui komunikasi
dengan Allah secara terus-menerus, bukan sekadar momentum Ramadan atau melalui
berbagai tayangan bernuansa keagamaan yang kemudian lenyap setelahnya.
Setiap tahun, kedatangan bulan Ramadan selalu membawa
fenomena menarik dan unik di kalangan umat Islam. Kalangan muslim menjalankan
praktik keagamaannya berbeda dengan bulan-bulan lain. Ada nuansa saat umat
Islam beramai-ramai menampilkan semangat keagamaannya begitu tinggi seperti puasa,
shalat Tarawih, tadarus Al Quran.
Ini wujud kesadaran religiositas umat Islam dalam menyambut bulan puasa sebagai momen tepat untuk meningkatkan spiritualitas, introspeksi diri, dan perbaikan moral. Kesadaran ini patut terus dipupuk.
Pikiran dan tindakan terarah kepada kebaikan dengan meningkatkan serangkaian ibadah demi mendapat keridhaan, pahala, serta berharap menjadi manusia yang kembali suci di pengujung Ramadan nanti (Idul Fitri).
Selain melihat gegap gempita nuansa Ramadan yang diciptakan umat Islam dengan serangkaian aktivitas ibadah tersebut, juga dapat disaksikan masuknya budaya massa ke dalam aktivitas-aktivitas keagamaan melalui berbagai media massa (televisi, radio, koran, dan sebagaianya). Masyarakat menyimak fenomena umat Islam yang sedang menjalankan ibadah di ruang-ruang publik yang tak ubahnya seperti sebuah karnaval.
Memang, hiruk-pikuk dengan berbagai ucapan, simbol, dan atribut sepintas sangat mengesankan kekompakan dan kesungguhan dalam beribadah. Namun, di balik simbolitas yang dangkal dan populer semacam itu, terseruak wajah ibadah yang diwarisi setiap datangnya bulan Ramadan, di antaranya wajah kesalehan yang bersifat sementara karena ketika Ramadan usai, tanda-tanda tersebut (misalnya berpuasa, tadarus) hilang bersamaan dengan berakhirnya Ramadan. Masyarakat mesti ingat bahwa datang dan munculnya tanda-tanda religiositas selama Ramadan sangat didukung media massa.
Seperti dikatakan Mc Luhan, medium is a message, media adalah sebuah pembawa pesan. Bahkan, kini, media itu sendiri juga merupakan pesan yang hendak dikomunikasikan kepada publik. Bentuk komunikasinya menentukan isi. Fenomena medium is a message, tampak jelas dari televisi, radio, surat kabar sebagai media sekaligus pesan itu sendiri.
Artinya, media bukan sekadar produk teknologi yang bebas nilai, tetapi alat untuk mencapai kepentingan tertentu, termasuk mencapai kesalehan temporer seseorang di bulan Ramadan. Selain itu, juga bisa dicermati bahwa kesalehan seseorang pada Ramadan abad informasi ini menggantungkan diri pada citra visual (visual images) seperti televisi.
Hanya perlu disadari, kini media berwatak kapitalistik, yang merayakan logika popularitas, penampilan, penampakan, kesenangan, bukan substansi, ilmu pengetahuan, kebenaran, dan pencerdasan keagamaan. Anehnya, masyarakat muslim mutakhir cenderung mengutamakan kesalehan sementara tersebut dengan memanfaatkan bulan Ramadan sebagai momen dan media massa sebagai tempatnya.
Kapitalis
Tayangan-tayangan religius selama bulan Ramadan yang disiarkan berbagai media massa merupakan upaya memberi pesan tertentu agar menarik perhatian pemirsa. Masyarakat menonton, melihat, dan mencermati. Tayangan bernuansa keagamaan diproduksi sebagai magnet penarik mereka yang sedang berpuasa. Ini merupakan proyek besar kapitalis (misalnya pemilik media) untuk meraup keuntungan material sebesar-besarnya.
Harus diakui bahwa pada saat Ramadan, media menemukan tempat mengaktualisasikan diri guna menampilkan sebanyak mungkin tayangan atau program religius. Sering kali media tidak peduli makna atau subtansi keagamaan. Mereka lebih mengedepankan citra keagamaan. Media berubah menjadi sangat sopan dan alim dengan senantiasa menggelar tayangan religius dari dini hari, menjelang saur, hingga waktu berbuka puasa.
Misalnya, di dalam televisi dijumpai acara-acara bernuansa keagamaan yang diisi artis-artis kondang sebagai presenter, yang "dibungkus" baju muslimah. Padahal, artis-artis tersebut, hari-hari di luar Ramadan, kadang berpakain seronok, tidak sopan, dan seksi. Maka, tidak perlu heran bila selama Ramadan banyak disakasikan artis "saleh/salehah" yang kini juga sudah menjadi mesin-mesin penggerak spiritualitas umat muslim.
Contoh lain, iklan-iklan SMS yang menawarkan doa dan konsultasi pesan singkat via telepon seluler yang dilakukan mubalik yang punya nama besar dan populer. Rupanya, ada keinginan di sejumlah kalangan untuk memanfaatkan teknologi komunikasi untuk tujuan ibadah di tengah-tengah masyarakat yang masih dianggap perlu untuk mendapat siraman rohani atau kiriman paket doa penyejuk kalbu.
Sering kali semua aktivitas keagamaan yang bertubi-tubi saat puasa akan lenyap bersamaan dengan paripurnanya Ramadan itu sendiri. Inilah "kesalehan temporer". Kesalehan bersifat dadakan dan sementara yang hanya hadir dalam momen-momen tertentu (Ramadan).
Lalu sikap apa yang perlu dimiliki umat Islam dalam menghadapi bulan suci Ramadan? Umat Islam harus menjadikannya sebagai "pintu masuk" mencapai kesalehan-kesalehan abadi dan hakiki. Umat muslim perlu membangun kesadaran bahwa kesalehan akan terbentuk melalui komunikasi dengan Allah secara terus-menerus, bukan sekadar momentum Ramadan atau melalui berbagai tayangan bernuansa keagamaan yang kemudian lenyap setelahnya.
Yang perlu diperhatikan kaum muslim adalah terbebasnya dari godaan-godaan kesalehan yang bersifat sementara ini. Sebab pemenuhan spiritualitas keagamaan sesaat yang ditawarkan di pasar konsumsi massa tidak jarang membuat semangat keberagamaan sekadar dipraktikan sebatas simbol-simbol yang sepenuhnya belum menyentuh kesadaran etik-religius penganutnya.
Tugas umat adalah menggapai kesalehan hakiki dan abadi, baik individual maupun sosial, pada bulan Ramadan dan bulan-bulan lain. ●
Ini wujud kesadaran religiositas umat Islam dalam menyambut bulan puasa sebagai momen tepat untuk meningkatkan spiritualitas, introspeksi diri, dan perbaikan moral. Kesadaran ini patut terus dipupuk.
Pikiran dan tindakan terarah kepada kebaikan dengan meningkatkan serangkaian ibadah demi mendapat keridhaan, pahala, serta berharap menjadi manusia yang kembali suci di pengujung Ramadan nanti (Idul Fitri).
Selain melihat gegap gempita nuansa Ramadan yang diciptakan umat Islam dengan serangkaian aktivitas ibadah tersebut, juga dapat disaksikan masuknya budaya massa ke dalam aktivitas-aktivitas keagamaan melalui berbagai media massa (televisi, radio, koran, dan sebagaianya). Masyarakat menyimak fenomena umat Islam yang sedang menjalankan ibadah di ruang-ruang publik yang tak ubahnya seperti sebuah karnaval.
Memang, hiruk-pikuk dengan berbagai ucapan, simbol, dan atribut sepintas sangat mengesankan kekompakan dan kesungguhan dalam beribadah. Namun, di balik simbolitas yang dangkal dan populer semacam itu, terseruak wajah ibadah yang diwarisi setiap datangnya bulan Ramadan, di antaranya wajah kesalehan yang bersifat sementara karena ketika Ramadan usai, tanda-tanda tersebut (misalnya berpuasa, tadarus) hilang bersamaan dengan berakhirnya Ramadan. Masyarakat mesti ingat bahwa datang dan munculnya tanda-tanda religiositas selama Ramadan sangat didukung media massa.
Seperti dikatakan Mc Luhan, medium is a message, media adalah sebuah pembawa pesan. Bahkan, kini, media itu sendiri juga merupakan pesan yang hendak dikomunikasikan kepada publik. Bentuk komunikasinya menentukan isi. Fenomena medium is a message, tampak jelas dari televisi, radio, surat kabar sebagai media sekaligus pesan itu sendiri.
Artinya, media bukan sekadar produk teknologi yang bebas nilai, tetapi alat untuk mencapai kepentingan tertentu, termasuk mencapai kesalehan temporer seseorang di bulan Ramadan. Selain itu, juga bisa dicermati bahwa kesalehan seseorang pada Ramadan abad informasi ini menggantungkan diri pada citra visual (visual images) seperti televisi.
Hanya perlu disadari, kini media berwatak kapitalistik, yang merayakan logika popularitas, penampilan, penampakan, kesenangan, bukan substansi, ilmu pengetahuan, kebenaran, dan pencerdasan keagamaan. Anehnya, masyarakat muslim mutakhir cenderung mengutamakan kesalehan sementara tersebut dengan memanfaatkan bulan Ramadan sebagai momen dan media massa sebagai tempatnya.
Kapitalis
Tayangan-tayangan religius selama bulan Ramadan yang disiarkan berbagai media massa merupakan upaya memberi pesan tertentu agar menarik perhatian pemirsa. Masyarakat menonton, melihat, dan mencermati. Tayangan bernuansa keagamaan diproduksi sebagai magnet penarik mereka yang sedang berpuasa. Ini merupakan proyek besar kapitalis (misalnya pemilik media) untuk meraup keuntungan material sebesar-besarnya.
Harus diakui bahwa pada saat Ramadan, media menemukan tempat mengaktualisasikan diri guna menampilkan sebanyak mungkin tayangan atau program religius. Sering kali media tidak peduli makna atau subtansi keagamaan. Mereka lebih mengedepankan citra keagamaan. Media berubah menjadi sangat sopan dan alim dengan senantiasa menggelar tayangan religius dari dini hari, menjelang saur, hingga waktu berbuka puasa.
Misalnya, di dalam televisi dijumpai acara-acara bernuansa keagamaan yang diisi artis-artis kondang sebagai presenter, yang "dibungkus" baju muslimah. Padahal, artis-artis tersebut, hari-hari di luar Ramadan, kadang berpakain seronok, tidak sopan, dan seksi. Maka, tidak perlu heran bila selama Ramadan banyak disakasikan artis "saleh/salehah" yang kini juga sudah menjadi mesin-mesin penggerak spiritualitas umat muslim.
Contoh lain, iklan-iklan SMS yang menawarkan doa dan konsultasi pesan singkat via telepon seluler yang dilakukan mubalik yang punya nama besar dan populer. Rupanya, ada keinginan di sejumlah kalangan untuk memanfaatkan teknologi komunikasi untuk tujuan ibadah di tengah-tengah masyarakat yang masih dianggap perlu untuk mendapat siraman rohani atau kiriman paket doa penyejuk kalbu.
Sering kali semua aktivitas keagamaan yang bertubi-tubi saat puasa akan lenyap bersamaan dengan paripurnanya Ramadan itu sendiri. Inilah "kesalehan temporer". Kesalehan bersifat dadakan dan sementara yang hanya hadir dalam momen-momen tertentu (Ramadan).
Lalu sikap apa yang perlu dimiliki umat Islam dalam menghadapi bulan suci Ramadan? Umat Islam harus menjadikannya sebagai "pintu masuk" mencapai kesalehan-kesalehan abadi dan hakiki. Umat muslim perlu membangun kesadaran bahwa kesalehan akan terbentuk melalui komunikasi dengan Allah secara terus-menerus, bukan sekadar momentum Ramadan atau melalui berbagai tayangan bernuansa keagamaan yang kemudian lenyap setelahnya.
Yang perlu diperhatikan kaum muslim adalah terbebasnya dari godaan-godaan kesalehan yang bersifat sementara ini. Sebab pemenuhan spiritualitas keagamaan sesaat yang ditawarkan di pasar konsumsi massa tidak jarang membuat semangat keberagamaan sekadar dipraktikan sebatas simbol-simbol yang sepenuhnya belum menyentuh kesadaran etik-religius penganutnya.
Tugas umat adalah menggapai kesalehan hakiki dan abadi, baik individual maupun sosial, pada bulan Ramadan dan bulan-bulan lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar