|
PERDAGANGAN
Indonesia mengalami zaman keemasan ketika ekspor migas mencapai nilai yang
sangat tinggi pada tiga dekade yang lalu. Pada saat itu migas merupakan
komoditas perdagangan yang menjadi ujung tombak bagi perdagangan internasional
Indonesia. Sebagai sektor yang sangat menguntungkan pada saat itu, migas
berkembang dan memberikan stimulus yang tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi. Perkembangan
perdagangan maupun industrialisasi di kawasan Asia, terutama dengan munculnya Newly Industrialized Economies (NIE),
pada waktu itu menjadi sebuah paradigma yang dikenal sebagai flying geese.
Perdagangan juga menjadi lokomotif
untuk kemajuan ekonomi bagi negara–negara industri tersebut. Mereka menggunakan
outward looking untuk menyerap potensi pendapatan untuk membiayai kebutuhan
pembangunan di dalam negeri. Ekspor menjadi senjata andalan, walaupun kualitas
komoditas yang diperdagangkan
belum begitu diperhatikan pada saat itu. Seiring berjalannya waktu, perdagangan
Indonesia yang mengandalkan sektor migas semakin berkurang dan hingga kini
Indonesia justru menjadi negara importir minyak yang nilainya lebih besar
dibandingkan dengan nilai eskpor minyak ke luar negeri.
Besarnya nilai impor migas membuat
neraca perdagangan Indonesia menjadi defi sit pada dua tahun terakhir ini.
Ketidakseimbangan salah satu indikator ekonomi Indonesia membuat contangious
effect bagi indikator ekonomi lainnya. Beberapa kebijakan dan langkah-langkah
telah diambil pemerintah untuk memulihkan keadaan saat ini, namun sepertinya
sedikit masih belum memberikan tanda–tanda untuk kembali normal.
Dari beberapa kasus seperti nilai
tukar rupiah yang terdepresiasi, telah membuat para pelaku ekonomi maupun
masyarakat terdorong untuk menekan pembuat kebijakan untuk berbuat sesuatu
dalam menanggulangi situasi yang sulit ini. Pemerintah dan pihak otoritas
moneter pun sebenarnya telah mengambil langkah maupun pernyataan yang
diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan sepertinya masyarakat
menunggu dan memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk membuat sebuah
kebijakan yang harmonis.
Untuk menyusun sampai mengeluarkan
sebuah kebijakan, pemerintah harus ber koordinasi dengan semua pihak termasuk
di dalamnya masyarakat sebagai stakeholder yang akan merasakan dampak langsung
atas kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah. Dengan demikian, kebijakan
tersebut ha ruslah cohesive dan applicable, seperti kebijakan untuk
meningkatkan kembali kinerja perdagangan Indonesia ke luar negeri yang akhirnya
juga akan mengembalikan posisi nilai tukar rupiah sesusai dengan asumsi makro
yang telah ditetapkan dalam APBN-P 2013.
Terkait dengan lemahnya nilai
tukar rupiah, pada dasarnya nilai tukar tersebut dipengaruhi kebutuhan valuta
asing yang akan dipergunakan. Secara umum tingginya kebutuhan valuta asing,
terutama dolar, dipenga ruhi transaksi keuangan seperti perdagangan luar
negeri, investasi portofolio maupun asing, pembayaran utang luar negri, dan
pembayaran lainnya yang memerlukan mekanisme penggunaan valuta asing. Transaksitransaksi
itulah yang memicu volatilias nilai tukar rupiah terhadap valuta asing.
Ketersediaan cadangan devisa yang
berkurang juga menimbulkan kekhawatiran beberapa pihak yang terutama memiliki
transaksi yang terkait dengan pihak luar negeri. Pengalaman krisis keuangan di
pertengahan 1990-an memberikan sebuah pelajaran bagi semua pihak untuk
mengelola keuangan secara berimbang. Transaksi domestik dan internasional
haruslah mempunyai porsi yang terukur untuk mengantisipasi gejolak yang tidak
diinginkan, terutama gejolak sosial, politik, dan ekonomi di luar negeri.
Untuk meredam nilai tukar rupiah
yang dikatakan sedang mencari titik ekuilibrium baru, pemerintah maupun pihak
otoritas moneter perlu melakukan penelitian lebih lanjut, dan mengelu arkan
kebijakan baru yang dapat mengembalikan nilai tukar rupiah untuk kembali kepada
kondisi normal. Pada sisi per dagangan internasio nal, kebutuhan valuta asing
diperlukan pada saat ekspor dan impor barang terjadi.
Depresiasi rupiah
tentunya akan memberikan beban yang cukup signifikan bagi para importir. Untuk
menanggulangi hal itu, kebijakan foreign
currency swap antara Indonesia dan partner dagang Indonesia diharapkan bisa
meredam gejala volatilitas nilai tukar rupiah.
Kebijakan ini pun akan efektif
jika diberikan kepada negaranegara yang memiliki transaksi perdagangan yang
cukup besar bagi Indonesia, seperti China, Jepang, Singapura, Amerika Serikat,
India, Korea Selatan, Malaysia, Thailand, Belanda, Taiwan, Australia, Filipina,
dan Jerman. Sebagian besar partner dagang Indonesia berasal dari Asia sehingga
memudahkan untuk berkoordinasi. Sebagian besar partner dagang tersebut
sebenarnya telah menerapkan foreign currency swap dan untuk lebih meningkatkan
cadangan devisa, kebijakan tersebut tampaknya mampu membantu untuk meredakan gejala
volitilitas rupiah.
Kebijakan lainnya untuk
menstabilkan nilai tukar rupiah adalah dengan melalui mekanisme instrumen
kebijakan fiskal, yaitu pinjaman luar negeri. Pinjaman luar negeri juga bisa
membantu untuk memberikan tambahan valuta asing pada neraca pembayaran
Indonesia. Namun, perlu diperhatikan bahwa pinjaman tersebut haruslah
memberikan manfaat dan produktif bagi pembangunan Indonesia serta tidak
memberatkan anggaran pendapatan dan belanja negara. Pengajuan pinjaman tersebut
juga harus tetap memperhatikan persyaratan yang diajukan mengingat Indonesia
masih memerlukan ruang untuk meningkatkan kapasitasnya menambah nilai produk
domestik brutonya. Pinjaman tersebut juga tidak menjadi beban yang harus
dipikul masyarakat dan generasi yang akan datang.
Kedua kebijakan tersebut bukan
merupakan kebijakan yang bisa menyelesaikan permasalahan dalam waktu singkat,
tetapi setidaknya bisa memberikan celah yang berarti untuk mengarahkan nilai
tukar rupiah kembali ke keadaan yang semula. Kebijakan tersebut sebenarnya
mengalami beberapa hambatan, terlebih dengan kondisi ekonomi global yang
cenderung masih belum memberikan sinyal perbaikan untuk meningkatkan ekspor.
Apabila kebijakan foreign currency swap dilakukan dalam
perjanjian bilateral khusus untuk menangani transaksi perdagangan, maukah
pelaku ekonomi menerapkannya? Selain itu, apabila kita menerapkan kembali fixed exchange rate system (yang pernah
diberlakuan antara 1970-1978 silam) pada transaksi perdagangan tertentu,
mungkinkah itu dilakukan?
Ataukah kita harus meminta bantuan
finansial dari negaranegara Asia lainnya yang tergabung dalam ASEAN+3
mengingat komitmen yang telah dituangkan di dalam the Chiang Mai Initiative? Apa pun itu, kebijakan ekonomi dan
moneter akan kita serahkan kepada pihakpihak yang mengaturnya, sehingga
stabilitas ekonomi dapat tetap terjaga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar