|
”Yang paling toleran itu di dunia adalah Indonesia.” Itulah ungkapan yang dikeluarkan beberapa waktu yang lalu
oleh menteri agama. Jadi, toleransi yang melekat pada jati diri bangsa adalah
bagian dari esensinya! Enak didengar, kan? Dan memang, tambahnya, tidak kurang
tanda toleransi di negeri ini! Mulai dari kerangka hukum dan ideologi negara
hingga ke acara misa Natal yang dihadiri pejabat.
Baik. Namun, kenapa justru terdapat
LSM-LSM, dan bahkan orang awam, yang menyangkal pernyataan itu. Anggota
minoritas, kata mereka, dan juga pers, tak jarang entah ”dibujuk” ke jalan yang
benar, ditutup tempat ibadahnya, atau bahkan dikeroyok hingga mati. Lalu siapa
yang salah?
Namun, bagaimana kalau menteri
agama berpegang pada asumsi intelektual yang tidak valid. Boleh jadi seseorang
tahu sejarah agamanya, tetapi pantas diragukan sejauh mana pengenalannya
terhadap sejarah umum. Sejarawan mana yang kini masih meyakini bahwa terdapat
ciri-ciri ”esensial” lintas waktu yang melekat pada bangsa apa pun? Yang ada
hanyalah gelombang-gelombang sejarah, kadang penuh kehidupan yang tercerahkan,
kadang diliputi awan gelap prasangka. Kedua hal tersebut selalu berkelindan
satu sama lain, dan kemungkinan untuk terhindar jatuh dalam kegelapan hanya
bergantung pada kesadaran pelaku sejarah–yang kini, tiada lain, adalah kita
sendiri.
Apa yang sejatinya tengah terjadi
pada Indonesia? Bangsa ini menghadapi perubahan-perubahan mendasar pada
struktur ekonomi dan struktur sosialnya. Kapitalisasi dan urbanisasi
merenggangkan solidaritas tradisional. Pengetahuan dan sistem pendidikan sedang
mengalami perombakan total. Akibatnya, kultur dan mentalitas masyarakat pun
turut serta berubah, yang pada gilirannya mengubah struktur identitas. Di dalam
masyarakat agraris Indonesia (Jawa) tradisional, adat setempatlah yang
merupakan perekat sosial utama. Agama belum merupakan komponen dominan jati
diri. Pendidikan rendah dan pengetahuan atas kaidah-kaidah/kredo-kredo agama
tidak terlalu dirisaukan: selain bersifat batiniah, agama adalah milik dari
segelintir ahli dan belum dimanipulasi sebagai penyekat antarkelompok.
Bahkan,
agama-agama kerap dipersepsikan ”sama”, dan tidak jarang ditemukan
keluarga-keluarga dengan satu dua anggotanya yang agamanya berbeda, tetapi
justru perbedaan itu menjadi kebanggaan tersendiri. Tak jarang pula ditemukan
remaja-remaja Kristen/Katolik yang pada kurun waktu tertentu turut bermain
bedug di masjid dengan teman Islam-nya, dan bahkan memohon kepada ayah-ibunya
untuk turut dalam sunatan massal. Slametan berlaku bagi semua. Spiritualitas
hadir secara batin tanpa afirmasi sosial agama terkait.
Namun, kini konstruksi identitas
berbeda. Afiliasi religius pada suatu umat menjadi unsur utama dari jati diri
serta penentu pokok dari sosialisasi. Akibatnya, agama sebagai fenomena sosial
menempati bagian yang kian besar bagi ruang publik, yang kini semakin
distruktur olehnya. Suatu studi yang dilakukan peneliti Australia, Prof Pam
Nilan, menunjukkan, agama kian cenderung menempati peringkat pertama di dalam
persepsi identitas diri orang Indonesia, baik Islam, Hindu, maupun
Kristen/Katolik. Situasi tersebut tentulah bertolak belakang dengan yang
berlaku pada zaman kemerdekaan ketika unsur kebangsaan lebih mengemuka daripada
unsur keagamaan. Maka, melihat keberpihakan agama dan konflik religius semakin
melejit, pantas dipertanyakan sejauh mana pengerasan identitas religius ini merenggangkan
ikatan berbangsa?
Karena kecenderungan ini, konsep
toleransi harus diubah. Tak cukup lagi berbangga dengan toleransi tradisional.
Dari toleransi tradisional yang berciri indiferensiasi (ketidak-pembedaan)
sosial antar-agama kini harus kita kelola menuju suatu toleransi yang menerima
perbedaan sebagai kewajaran. Namun, hal ini dapat berlaku efektif secara sosial
apabila terdapat suatu payung hukum yang kokoh, hal mana pada gilirannya
menuntut adanya pejabat-pejabat, termasuk menteri, yang betul-betul sadar
sejarah, serta yang mampu mengantisipasi evolusi ”negatif” dari mentalitas
masyarakat dan mengeluarkan kebijakan yang tepat untuk menanggulanginya.
Indonesia memiliki kerangka
normatif ideal dengan Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila. Namun, jangan
sampai kerangka ideal itu meninabobokan kita. Kalau itu sampai terjadi,
jangan-jangan genggaman Burung Garuda atas moto Bhinneka Tunggal
Ika melemah hingga terjatuh dari cengkeramannya.
Ayunkan langkah maju melewati usia 68, hai Garuda, dan waspadalah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar