Minggu, 25 Agustus 2013

Kebinekaan dan Intoleransi

Kebinekaan dan Intoleransi
Jean Couteau  ;    Kolumnis “Udar Rasa”Kompas
KOMPAS, 25 Agustus 2013


”Yang paling toleran itu di dunia adalah Indonesia.” Itulah ungkapan yang dikeluarkan beberapa waktu yang lalu oleh menteri agama. Jadi, toleransi yang melekat pada jati diri bangsa adalah bagian dari esensinya! Enak didengar, kan? Dan memang, tambahnya, tidak kurang tanda toleransi di negeri ini! Mulai dari kerangka hukum dan ideologi negara hingga ke acara misa Natal yang dihadiri pejabat.

Baik. Namun, kenapa justru terdapat LSM-LSM, dan bahkan orang awam, yang menyangkal pernyataan itu. Anggota minoritas, kata mereka, dan juga pers, tak jarang entah ”dibujuk” ke jalan yang benar, ditutup tempat ibadahnya, atau bahkan dikeroyok hingga mati. Lalu siapa yang salah?

Namun, bagaimana kalau menteri agama berpegang pada asumsi intelektual yang tidak valid. Boleh jadi seseorang tahu sejarah agamanya, tetapi pantas diragukan sejauh mana pengenalannya terhadap sejarah umum. Sejarawan mana yang kini masih meyakini bahwa terdapat ciri-ciri ”esensial” lintas waktu yang melekat pada bangsa apa pun? Yang ada hanyalah gelombang-gelombang sejarah, kadang penuh kehidupan yang tercerahkan, kadang diliputi awan gelap prasangka. Kedua hal tersebut selalu berkelindan satu sama lain, dan kemungkinan untuk terhindar jatuh dalam kegelapan hanya bergantung pada kesadaran pelaku sejarah–yang kini, tiada lain, adalah kita sendiri.

Apa yang sejatinya tengah terjadi pada Indonesia? Bangsa ini menghadapi perubahan-perubahan mendasar pada struktur ekonomi dan struktur sosialnya. Kapitalisasi dan urbanisasi merenggangkan solidaritas tradisional. Pengetahuan dan sistem pendidikan sedang mengalami perombakan total. Akibatnya, kultur dan mentalitas masyarakat pun turut serta berubah, yang pada gilirannya mengubah struktur identitas. Di dalam masyarakat agraris Indonesia (Jawa) tradisional, adat setempatlah yang merupakan perekat sosial utama. Agama belum merupakan komponen dominan jati diri. Pendidikan rendah dan pengetahuan atas kaidah-kaidah/kredo-kredo agama tidak terlalu dirisaukan: selain bersifat batiniah, agama adalah milik dari segelintir ahli dan belum dimanipulasi sebagai penyekat antarkelompok.

Bahkan, agama-agama kerap dipersepsikan ”sama”, dan tidak jarang ditemukan keluarga-keluarga dengan satu dua anggotanya yang agamanya berbeda, tetapi justru perbedaan itu menjadi kebanggaan tersendiri. Tak jarang pula ditemukan remaja-remaja Kristen/Katolik yang pada kurun waktu tertentu turut bermain bedug di masjid dengan teman Islam-nya, dan bahkan memohon kepada ayah-ibunya untuk turut dalam sunatan massal. Slametan berlaku bagi semua. Spiritualitas hadir secara batin tanpa afirmasi sosial agama terkait.

Namun, kini konstruksi identitas berbeda. Afiliasi religius pada suatu umat menjadi unsur utama dari jati diri serta penentu pokok dari sosialisasi. Akibatnya, agama sebagai fenomena sosial menempati bagian yang kian besar bagi ruang publik, yang kini semakin distruktur olehnya. Suatu studi yang dilakukan peneliti Australia, Prof Pam Nilan, menunjukkan, agama kian cenderung menempati peringkat pertama di dalam persepsi identitas diri orang Indonesia, baik Islam, Hindu, maupun Kristen/Katolik. Situasi tersebut tentulah bertolak belakang dengan yang berlaku pada zaman kemerdekaan ketika unsur kebangsaan lebih mengemuka daripada unsur keagamaan. Maka, melihat keberpihakan agama dan konflik religius semakin melejit, pantas dipertanyakan sejauh mana pengerasan identitas religius ini merenggangkan ikatan berbangsa?

Karena kecenderungan ini, konsep toleransi harus diubah. Tak cukup lagi berbangga dengan toleransi tradisional. Dari toleransi tradisional yang berciri indiferensiasi (ketidak-pembedaan) sosial antar-agama kini harus kita kelola menuju suatu toleransi yang menerima perbedaan sebagai kewajaran. Namun, hal ini dapat berlaku efektif secara sosial apabila terdapat suatu payung hukum yang kokoh, hal mana pada gilirannya menuntut adanya pejabat-pejabat, termasuk menteri, yang betul-betul sadar sejarah, serta yang mampu mengantisipasi evolusi ”negatif” dari mentalitas masyarakat dan mengeluarkan kebijakan yang tepat untuk menanggulanginya.

Indonesia memiliki kerangka normatif ideal dengan Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila. Namun, jangan sampai kerangka ideal itu meninabobokan kita. Kalau itu sampai terjadi, jangan-jangan genggaman Burung Garuda atas moto  Bhinneka Tunggal Ika melemah hingga terjatuh dari cengkeramannya.

Ayunkan langkah maju melewati usia 68, hai Garuda, dan waspadalah. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar