|
Tahun 2006, ketika masih menjadi
anggota DPD, saya ikut rombongan ke Brisbane, Australia. Di sana, kami melihat
dari dekat Pemerintah Negara Bagian Queensland berhasil menumpas korupsi dan
penyakit masyarakat lainnya, termasuk narkoba, pornografi, dan perdagangan
anak.
Ada dua
pendekatan yang mereka pakai, yaitu integrated approach (pendekatan
terpadu) dan yang satu lagi integrity
approach (pendekatan nilai-nilai luhur kemanusiaan).
Dengan
pendekatan terpadu, itu berarti semua unsur pemerintahan, swasta, dan masyarakat
dilibatkan. Setiap unsur punya fungsi, peranan, dan tanggung jawab yang
koordinasinya ditangani Komisi Kejahatan.
Dengan
pendekatan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai luhur yang terkandung
dalam ajaran agama, etika, dan budaya dimanfaatkan untuk penyadaran dan kontrol
sosial. Adapun sanksinya dituangkan dalam bentuk hukum dan perundang-undangan.
Hukum dan perundang-undangan yang diterapkan tidak hanya tanpa pandang bulu,
tetapi juga berakibat jera. Melalui pendekatan integritas, orang lalu merasa
malu untuk berbuat salah dalam melakukan korupsi ataupun penyakit sosial
lainnya.
Negara Bagian
Queensland khususnya dan Australia secara keseluruhan memerlukan satu dekade
untuk menumpas secara tuntas praktik-praktik korupsi dan penyakit masyarakat
lainnya sehingga benar-benar pulih kembali. Contoh dari pendekatan integritas
itu tidak saja bisa dilihat dari mekanisme yang diciptakan dalam birokrasi
pemerintahan yang mengharuskan penerapan sistem lalu lintas keuangan secara
transparan dan akuntabel, tetapi juga sistem kontrol dan sanksi yang, selain
dari pendekatan hukum, juga pendekatan
nilai-nilai luhur kemanusiaan itu.
nilai-nilai luhur kemanusiaan itu.
Contoh
penerapannya pun bisa dilihat dan dirasakan di mana-mana. Di kantor, di
sekolah, di jalanan, di pusat-pusat belanja, dan di mana saja. Yang ditekankan
adalah keteraturan dan adab serta sopan santun sosial.
Contoh kecil,
sekali waktu saya masuk ke satu warnet dekat hotel tempat kami menginap di
daerah pusat perbelanjaan untuk mengirim surat elektronik. Di sana komputer
diletakkan berderet di sepanjang dinding tanpa sekat. Dengan begitu, pemakai
jadinya menghadap ke dinding, sementara siapa pun yang masuk ke ruangan bisa
melihat melalui layar: apa pun yang ditayangkan. Lewat penataan ini, orang
dengan sendirinya tidak akan berani membuka situs porno
karena bisa terlihat oleh siapa pun yang lewat di belakang pemakai.
karena bisa terlihat oleh siapa pun yang lewat di belakang pemakai.
Berbanding terbalik
Di Indonesia
sebaliknya, sengaja dibikin bersekat-sekat agar tidak ada yang bisa melihat
yang sedang ditayangkan. Tidak saja ada kepuasan gairah dari yang menontonnya
tanpa merasa terganggu, tetapi juga banyaknya duit masuk dari pemilik warnet
itu sendiri sehingga bisa dibuka sepanjang malam sampai pagi.
Saya lalu
berpikir, bukankah hal seperti ini bisa ditiru dan diterapkan di mana saja di
Indonesia, dengan sekaligus juga menerapkan ajaran agama dan budaya yang
berlaku di daerah masing-masing. Tinggal keinginan politik untuk menerapkannya,
baik secara nasional maupun menurut daerah masing-masing.
Masalah kita di
Indonesia ini adalah keinginan politik itu sendiri yang dikalahkan kepentingan
pribadi dan kelompok, yang ujung-ujungnya adalah duit itu sendiri. Duit lalu
menjadi do it dan menghalalkan segala cara. Sistem demokrasi yang
kita terapkan di Indonesia sekarang ini, yaitu dengan mengutamakan perolehan
kekuasaan dengan mendapatkan suara terbanyak, dan dengan segala macam cara,
ketimbang penegakan kebenaran dan kemaslahatan bagi semua, adalah penyebab
utama dari maraknya korupsi serta penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
Sedemikian maraknya sehingga Indonesia telah dicap dan masuk ke dalam kelompok
negara terkorup di dunia ini.
Demokrasi
dengan sistem multipartai yang kita terapkan sekarang ini jelas adalah juga
penyebab dari maraknya korupsi itu. Partai-partai yang demikian banyak itu
dengan sendirinya akan berlomba mendapatkan dukungan suara terbanyak dari
rakyat pemilih, yang karenanya menggelitik mereka untuk melakukan segala macam
cara: yang sah ataupun tak sah, yang halal ataupun yang batil.
Jika sistem itu
sendiri yang menjadi faktor penyebabnya, dengan sendirinya sistem itu yang
harus diubah. Kembali ke dua atau tiga partai utama, seperti yang berlaku di
Australia dan Amerika Serikat—juga di banyak negara demokrasi lain—mungkin
adalah jawab dan sekaligus solusinya. Kalau saja di Indonesia hanya ada dua
atau tiga partai, korupsi akan dapat teredam. Satu partai Islam, satu partai
nasionalis, dan satu lagi, kalau perlu, partai sosialis. Semua kembali ke
ideologi politik yang mendasari.
Dengan
pendekatan terintegrasi dan integritas seperti yang diterapkan di Australia
itu, rasanya Indonesia masa depan akan jauh berbeda dengan Indonesia yang
gonjang-ganjing dan di tepi jurang kehancuran seperti sekarang ini. Tinggal
kemauan politik kita dalam menentukan masa depan kita itu: mau atau tidak? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar