Sabtu, 24 Agustus 2013

Cara Australia Menumpas Korupsi dan Pornografi

Cara Australia Menumpas Korupsi dan Pornografi
Mochtar Naim ;    Sosiolog
KOMPAS, 24 Agustus 2013

Tahun 2006, ketika masih menjadi anggota DPD, saya ikut rombongan ke Brisbane, Australia. Di sana, kami melihat dari dekat Pemerintah Negara Bagian Queensland berhasil menumpas korupsi dan penyakit masyarakat lainnya, termasuk narkoba, pornografi, dan perdagangan anak.
Ada dua pendekatan yang mereka pakai, yaitu integrated approach (pendekatan terpadu) dan yang satu lagi integrity approach (pendekatan nilai-nilai luhur kemanusiaan).
Dengan pendekatan terpadu, itu berarti semua unsur pemerintahan, swasta, dan masyarakat dilibatkan. Setiap unsur punya fungsi, peranan, dan tanggung jawab yang koordinasinya ditangani Komisi Kejahatan.
Dengan pendekatan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran agama, etika, dan budaya dimanfaatkan untuk penyadaran dan kontrol sosial. Adapun sanksinya dituangkan dalam bentuk hukum dan perundang-undangan. Hukum dan perundang-undangan yang diterapkan tidak hanya tanpa pandang bulu, tetapi juga berakibat jera. Melalui pendekatan integritas, orang lalu merasa malu untuk berbuat salah dalam melakukan korupsi ataupun penyakit sosial lainnya.
Negara Bagian Queensland khususnya dan Australia secara keseluruhan memerlukan satu dekade untuk menumpas secara tuntas praktik-praktik korupsi dan penyakit masyarakat lainnya sehingga benar-benar pulih kembali. Contoh dari pendekatan integritas itu tidak saja bisa dilihat dari mekanisme yang diciptakan dalam birokrasi pemerintahan yang mengharuskan penerapan sistem lalu lintas keuangan secara transparan dan akuntabel, tetapi juga sistem kontrol dan sanksi yang, selain dari pendekatan hukum, juga pendekatan
nilai-nilai luhur kemanusiaan itu.
Contoh penerapannya pun bisa dilihat dan dirasakan di mana-mana. Di kantor, di sekolah, di jalanan, di pusat-pusat belanja, dan di mana saja. Yang ditekankan adalah keteraturan dan adab serta sopan santun sosial.
Contoh kecil, sekali waktu saya masuk ke satu warnet dekat hotel tempat kami menginap di daerah pusat perbelanjaan untuk mengirim surat elektronik. Di sana komputer diletakkan berderet di sepanjang dinding tanpa sekat. Dengan begitu, pemakai jadinya menghadap ke dinding, sementara siapa pun yang masuk ke ruangan bisa melihat melalui layar: apa pun yang ditayangkan. Lewat penataan ini, orang dengan sendirinya tidak akan berani membuka situs porno
karena bisa terlihat oleh siapa pun yang lewat di belakang pemakai.
Berbanding terbalik
Di Indonesia sebaliknya, sengaja dibikin bersekat-sekat agar tidak ada yang bisa melihat yang sedang ditayangkan. Tidak saja ada kepuasan gairah dari yang menontonnya tanpa merasa terganggu, tetapi juga banyaknya duit masuk dari pemilik warnet itu sendiri sehingga bisa dibuka sepanjang malam sampai pagi.
Saya lalu berpikir, bukankah hal seperti ini bisa ditiru dan diterapkan di mana saja di Indonesia, dengan sekaligus juga menerapkan ajaran agama dan budaya yang berlaku di daerah masing-masing. Tinggal keinginan politik untuk menerapkannya, baik secara nasional maupun menurut daerah masing-masing.
Masalah kita di Indonesia ini adalah keinginan politik itu sendiri yang dikalahkan kepentingan pribadi dan kelompok, yang ujung-ujungnya adalah duit itu sendiri. Duit lalu menjadi do it dan menghalalkan segala cara. Sistem demokrasi yang kita terapkan di Indonesia sekarang ini, yaitu dengan mengutamakan perolehan kekuasaan dengan mendapatkan suara terbanyak, dan dengan segala macam cara, ketimbang penegakan kebenaran dan kemaslahatan bagi semua, adalah penyebab utama dari maraknya korupsi serta penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Sedemikian maraknya sehingga Indonesia telah dicap dan masuk ke dalam kelompok negara terkorup di dunia ini.
Demokrasi dengan sistem multipartai yang kita terapkan sekarang ini jelas adalah juga penyebab dari maraknya korupsi itu. Partai-partai yang demikian banyak itu dengan sendirinya akan berlomba mendapatkan dukungan suara terbanyak dari rakyat pemilih, yang karenanya menggelitik mereka untuk melakukan segala macam cara: yang sah ataupun tak sah, yang halal ataupun yang batil.
Jika sistem itu sendiri yang menjadi faktor penyebabnya, dengan sendirinya sistem itu yang harus diubah. Kembali ke dua atau tiga partai utama, seperti yang berlaku di Australia dan Amerika Serikat—juga di banyak negara demokrasi lain—mungkin adalah jawab dan sekaligus solusinya. Kalau saja di Indonesia hanya ada dua atau tiga partai, korupsi akan dapat teredam. Satu partai Islam, satu partai nasionalis, dan satu lagi, kalau perlu, partai sosialis. Semua kembali ke ideologi politik yang mendasari.

Dengan pendekatan terintegrasi dan integritas seperti yang diterapkan di Australia itu, rasanya Indonesia masa depan akan jauh berbeda dengan Indonesia yang gonjang-ganjing dan di tepi jurang kehancuran seperti sekarang ini. Tinggal kemauan politik kita dalam menentukan masa depan kita itu: mau atau tidak? ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar