Minggu, 25 Agustus 2013

M e s i r

M e s i r
Sarlito Wirawan Sarwono  ;    Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 25 Agustus 2013


Saya pertama kali ke Mesir pada tahun 1976. Pada waktu itu saya sedang menyelesaikan disertasi saya di Leiden, Belanda, dengan kopromotor mendiang Prof D Joos Jaspars dari Universitas Leiden dan promotor almarhum Prof Dr Fuad Hassan, guru besar psikologi UI yang pada waktu itu kebetulan sedang menjadi Dubes RI di Kairo. 

Untuk berkonsultasi dengan promotor saya itu saya terbang ke Kairo dan menjadi tamu Yang Mulia Dubes Fuad Hassan di Wisma Indonesia, Kairo. Siang hari saya diajak jalan-jalan oleh Bu Fuad (panggilan akrabnya: Bu Cip), yang kebetulan juga dosen Fakultas Sastra UI, dan malamnya diskusi tentang tesis sampai menjelang pagi. Kesempatan kedua datang pada tahun 1980. Prof Fuad masih jadi dubes di Kairo. 

Kebetulan saya mendapat job sebagai konsultan SDM untuk pemasangan jaringan telepon di Mekkah dan Madinah. Mumpung sudah dekat, bersama rekan saya Drs Aswad Dipo, yang menjabat manajer SDM di perusahaan telekomunikasi tersebut, dan kebetulan juga seorang psikolog, mantan mahasiswa Prof Fuad Hassan (sama seperti saya), kami berdua melancong ke Kairo. Dalam kedua kunjungan itu saya betul-betul menikmati Mesir yang masih damai, padat penduduk, dan agak jorok seperti di Indonesia. 

Berisik juga, tetapi penuh dengan objek turis yang selalu ramai dengan turis: piramida, patung Sphinx, kota kuno Giza, tari perut di kapal-kapal pesiar sepanjang Sungai Nil, museum Mesir yang berisi ratusan mumi Pharaoh Mesir kuno, restoran-restoran sepanjang Sungai Nil (pada tahun 1976, karena kesulitan daging, masyarakat dan restoran-restoran diwajibkan hanya mengonsumsi daging unggas pada hari-hari tertentu) dan pada tahun 1980 kami sempat diantar mobil KBRI menelusuri Sungai Nil sampai ke Alexandria, kota wisata yang eksotis di tepian laut tengah yang sensual. 

Pokoknya antara tahun 1976 dan 1980 Mesir tidak banyak berubah, meskipun di antara dua tahun itu pernah terjadi peristiwa-peristiwa sangat penting di Timur Tengah, yaitu perang Mesir melawan Libya (1977) dan pembajakan Kakbah oleh kaum Islam radikal (1979). Bahkan sampai bertahun-tahun kemudian negara yang rakyatnya mengagumi Bung Karno ini tetap menjadi negara damai yang menjadi tujuan wisata bangsa-bangsa sedunia, walaupun pada tahun 1981 (setelah saya mengunjungi Mesir), Presiden Anwar Sadat dibunuh oleh anggota pasukan pengawalnya sendiri.

Pada tahun 2007 saya datang lagi ke Kairo. Kali ini untuk sebuah kongres keluarga berencana. Kairo masih seperti yang dulu. Piramid, Sphinx, Giza, museum, tari perut, restoran di tepi Sungai Nil (sudah full menu, termasuk aneka daging). Tetapi staf KBRI yang menemani saya berbisik agar jangan bicara mengenai IM (Ikhwanul Muslimin) terlalu keras. IM adalah gerakan ilegal yang tidak disukai pemerintah, sehingga mereka selalu bergerak di bawah tanah. 

Padahal malam hari beberapa hari sesudah itu saya memberi ceramah kepada mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Mesir (bukan hanya dari Kairo) dan pertanyaan-pertanyaan mereka tentang IM dan bagaimana pengaruhnya di Indonesia kencang sekali (pada waktu itu sedang heboh-hebohnya pengeboman di Indonesia oleh kaum radikal Islam).

Terakhir saya berkunjung ke Kairo lagi awal tahun 2012. Kali ini bersama tim peneliti deradikalisasi teroris. Kami jadi tamu KBRI dan Universitas Al-Azhar. Kami ditempatkan di sebuah hotel ”Moven Pick” di Giza yang langsung bisa melihat Piramid yang sudah sangat sepi dari turis, hanya tinggal segelintir pedagang asongan dan pemilik unta yang masih mencoba mengadu nasib di sana. Negaranya sudah hampir bangkrut, dan kata Pak Dubes Komjen Pol Nurfaizi (yang masih menjabat sampai sekarang), beasiswa untuk mahasiswa-mahasiswa Indonesia sudah dihentikan. 

Tetapi ketika kami bertemu dengan para pemimpin Jamaah Islamiyah, Dr Karom Zuhdi (Dewan Sura JI) dan Dr Najib Ibrahim (mantan ketua JI Mesir) yang selama ini belasan tahun mendekam di penjara di bawah rezim Hosni Mubarak, mereka bersuara optimistis. Pandangan mereka jauh dari radikal. Ideologi mereka penuh dengan masa depan Mesir yang berjaya. Bisa dimaklumi, karena saat itu pemilu baru saja memenangkan Mursi yang tokoh IM sebagai presiden.

Tetapi suasana hari ini sangat berbeda. Entah karena apa, militer tiba-tiba mengudeta Presiden Mursi. Akibatnya bisa kita saksikan semua, Mesir menjadi tanah tertumpah darah. Korbannya adalah rakyat Mesir juga yang tertembus peluru-peluru tajam serdadu-serdadu Mesir. 

Tepat bersamaan dengan pertumpahan darah di Mesir, saya menyaksikan di televisi Indonesia, serdadu-serdadu TNI sedang ramai-ramai membersihkan kali Ciliwung. Membantu program Gubernur Jokowi. Tidak tanggung-tanggung, operasi sweeping Sungai Ciliwung ini dipimpin langsung oleh KSAD Jenderal Muldoko. 

Alangkah berbeda antara Mesir dan Indonesia. Bagaikan bumi dan langit. Mungkin perjalanan reformasi masih jauh dari memuaskan untuk banyak politisi, pengamat, pakar, atau penggembira. 

Tetapi bangsa Indonesia harus bersyukur bahwa Allah telah membimbing para pemimpin bangsa di awal era reformasi (1998-1999), sehingga mengambil langkah yang tepat tentang status TNI dan dari pihak TNI pun tidak ada pembantahan, apalagi perlawanan sama sekali. Kalau tidak, hari ini kita pun akan mengalami seperti di Mesir. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar