Selasa, 11 Juni 2013

RAPBNP Minus Kalkulasi Matang

RAPBNP Minus Kalkulasi Matang
Ahmad Erani Yustika ;   Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef    
JAWA POS, 10 Juni 2013



PEMERINTAH dan DPR akhirnya menyepakati beberapa asumsi makroekonomi penting dalam RAPBN Perubahan 2013. Proses kesepakatan tersebut alot karena, di luar soal asumsi makroekonomi, juga terkait dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Masih ada beberapa fraksi yang cenderung menolak kenaikan BBM itu, misalnya PKS, PDIP, dan Hanura, dengan beragam argumen. 

Di luar asumsi makroekonomi, postur pendapatan dan belanja juga berubah. Misalnya, penerimaan dalam negeri berkurang dari Rp 1.529,7 triliun ke Rp 1.488,3 triliun (minus Rp 41,4 triliun). Penyebabnya, penurunan penerimaan pajak (Rp 55,1 triliun) dan bea dan cukai (Rp 29,4 triliun). Untung, masih ada kenaikan penerimaan negara bukan pajak sekitar Rp 12,3 triliun. 

Asumsi makroekonomi merupakan fondasi penyusunan anggaran negara karena di dalamnya berpengaruh terhadap penerimaan yang bakal diperoleh, cara belanja dialokasikan, dan ke arah mana ekonomi sedang berjalan. Di dalamnya juga termaktub prioritas pemerintah, khususnya persoalan ekonomi yang hendak diselesaikan. RAPBNP sekurangnya menyepakati tujuh poin asumsi makroekonomi: (i) pertumbuhan ekonomi dipatok 6,3 persen (turun dari 6,8 persen); (ii) inflasi naik menjadi 7,2 persen karena rencana kenaikan harga BBM pertengahan Juni ini (jika tidak berubah lagi); (iii) nilai tukar ditargetkan Rp 9.600/USD; (iv)International crude price (ICP) sebesar USD 108/barel; (v) suku bunga SPN (Surat Perbendaharaan Negara) 3 bulan 5 persen; (vi) lifting minyak sebanyak 840 ribu barel/hari; dan (vii) lifting gas bumi 1,24 juta barel setara minyak per hari. 

Beberapa poin krusial asumsi makroekonomi itu perlu dicermati. Pertama, asumsi pertumbuhan ekonomi 6,3 persen itu jelas merupakan kesepakatan politis yang kurang didasarkan pada rasionalitas kalkulasi ekonomi. Pada triwulan I 2013, pertumbuhan ekonomi hanya 6,02 persen. Lazimnya, jika pertumbuhan ekonomi pada awal tahun sebesar itu, pertumbuhan pada triwulan berikutnya paling tinggi 6,2-6,3 persen. Jika pola itu berlanjut, sepanjang 2013 pertumbuhan hanya 6,1-6,2 persen. Itu pun hanya mungkin dicapai bila pemerintah tanpa menaikkan harga BBM. Dalam situasi seperti ini, pertumbuhan ekonomi berpotensi di bawah 6 persen, tergantung dari persentase kenaikan BBM. Jadi, asumsi pertumbuhan ekonomi itu bisa dikatakan pasti akan meleset lagi dan mengganggu kredibilitas pemerintah. 

Kedua, asumsi inflasi juga berpotensi tidak tercapai karena tekanan kenaikan harga pada tahun ini cukup tinggi meskipun tanpa kenaikan BBM. Pada Januari-Maret 2013, inflasi tinggi karena kenaikan komoditas pertanian, seperti daging, cabai, bawang merah. Kemungkinan inflasi sampai akhir tahun berkisar 5,5 persen. Kenaikan harga BBM bisa menyumbang 3 persen sehingga inflasi menjadi 8,5 persen. Tidak mudah bagi pemerintah mengendalikan inflasi karena masih buruknya infrastruktur, pasar distribusi yang oligopolistik (bahkan, terindikasi kartel), dan eratnya kaitan BBM dengan banyak sektor lain (belum lagi faktor spekulasi). Intinya, jika pemerintah gagal dalam meramalkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi, akibatnya akan lebih fatal: proyeksi terhadap angka kemiskinan dan pengangguran (dan juga variabel sosio-ekonomi lain) juga akan salah. Ini amat berbahaya. 

Di luar asumsi makroekonomi, hal yang penting lain adalah soal bentuk kompensasi yang diberikan untuk kelompok miskin, semacam BLT gaya baru, yakni BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat). Rencananya, kaum miskin diberi uang tunai tiap bulan selama 4-5 bulan untuk menahan dampak kenaikan harga (inflasi). Secara teknis, langkah ini sah-sah saja dikerjakan untuk menghindarkan kelompok tersebut dari kemerosotan daya beli, namun kehidupan mereka akan kembali sulit setelah bantuan dihentikan. Kedudukan mereka yang "tergantung" tidak menambah penguatan pemberdayaan dalam jangka panjang. Secara ideal, pemerintah mestinya menyusun program yang lebih memiliki dimensi menengah, seperti penciptaan lapangan kerja, agar kehidupan mereka bisa ditopang dalam jangka waktu yang lebih lama. 

Terakhir, pemerintah terlihat tidak punya kalkulasi matang untuk memitigasi dampak kenaikan BBM. Kenaikan BBM itu akan memicu inflasi dan menggoyahkan sendi-sendi perekonomian. Investasi merosot, perusahaan yang berorientasi ekspor akan jatuh, UMKM penyerap banyak tenaga kerja mudah terkoyak, dan lain-lain. Seyogianya, terdapat program-program yang fokus kepada pelaku ekonomi tersebut agar tetap terjaga kehidupannya. Stimulus fiskal dan nonfiskal mesti disusun untuk memastikan supaya sektor dan pelaku ekonomi itu tetap bertahan. 

Tetapi, tampaknya, itu semua tidak terekam dalam RAPBNP, hanya pembahasan soal BLSM yang menyembul ke lapangan. Ini tentu saja makin menguatkan dugaan bahwa kebijakan kenaikan BBM ini "dimanfaatkan" untuk kepentingan pemilu 2014 (lewat BLSM). Tentu saja, ini menyedihkan karena kenaikan harga BBM selalu saja ditelikung oleh syahwat politik, tidak pernah menjadi kinerja untuk mewujudkan kedaulatan energi di masa depan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar