Senin, 03 Juni 2013

Harga BBM Naik?

Harga BBM Naik?
Marwan Batubara ;  Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies, IRESS
REPUBLIKA, 28 Mei 2013


Rencana pemerintah mengurangi subsidi BBM yang berdampak pada kenaikan harga BBM karena beberapa hal mungkin dapat dipahami. Namun, rencana tersebut tidak layak didukung begitu saja jika tidak diiringi dengan pelaksanaan sejumlah kebijakan terkait dan mendesak. 

Bahkan, sebelum kenaikan harga diumumkan, pemerintah seharusnya segera menjalankan sejumlah kebijakan, mengingat dampak wacana penaikan harga BBM yang overdosis selama 2 tahun terakhir telah mengganggu perekonomian dan menambah kesulitan hidup masyarakat. Beberapa kebijakan tersebut diuraikan berikut ini.

Pertama, memotong belanja birokrasi (pegawai dan barang), termasuk perjalanan dinas, rapat pertemuan di luar kantor, dan honorarium tim minimal sebesar Rp 50 triliun. Selama periode 2006-2012, biaya pegawai dan barang masing-masing tumbuh 19 persen dan 38 persen. Pada 2012, belanja birokrasi Rp 404 triliun, meningkat menjadi Rp 445 triliun pada 2013. 

Namun, meskipun belanja terus meningkat, kinerja birokrasi masih buruk dan inefisiensi anggaran masih terus terjadi, yang pada 2012 besarnya mencapai Rp 72 triliun. Meskipun telah memperoleh remunerasi, sebagian pegawai bahkan masih terus mengorupsi anggaran. Karena itu, pemotongan anggaran birokrasi merupakan langkah yang adil untuk mengompensasi para korban birokrasi yang tidak becus bekerja dan korup.

Kedua, menjalankan industri dan tata niaga minyak mentah dan BBM, termasuk penetapan biaya produksi BBM secara transparan, efektif, efisien, dan bebas dari mafia minyak. Selama ini, akibat tindakan mafia minyak, negara dan rakyat harus membayar harga minyak dan BBM lebih mahal, industri migas nasional terpuruk, energi baru terbarukan gagal berkembang dan ketahanan energi semakin rapuh. Selama puluhan tahun, negara terbukti tidak berdaya menghadapi mafia minyak yang tetap eksis dari satu ke lain pemerintahan. DPR pun pernah membentuk Pansus Angket BBM pada Juni 2008, namun hingga akhir masa tugasnya pansus gagal mencapai tujuan. Hal ini menunjukkan betapa kuat dan dominannya mafia minyak.

Ketiga, menetapkan dimulainya pembangunan kilang BBM yang telah diwacanakan selama lebih dari 8 tahun, karena saat ini impor BBM telah mencapai minimal 600 ribu bph. Sejak 2006, pemerintah telah menandatangni puluhan MoU dengan sejumlah perusahaan dan negara asing, namun belum satu pun rencana pembangunan kilang dieksekusi. 

Keempat, mewujudkan pelaksanaan konversi BBM ke BBG secara sangat segera dan masif, dimulai dari penyusunan peta jalan dan blue print, pembangunan sarana transmisi, distribusi, SPBG, converter kit, serta kepastian pasokan dan harga gas/BBG. Wacana konversi telah dicanangkan pada 2006 dengan populasi 3.000-an kendaraan. 

Kelima, meningkatkan penerimaan pajak negara karena masih rendahnya rasio pajak terhadap PDB. Selama 8 tahun terakhir, rasio pajak RI hanya pada angka 11-12 persen. Padahal, menurut World Bank (2012), rasio pajak negara ASE- AN umumnya sudah cukup tinggi, seperti Malaysia (15 persen), Singapura (16 persen), dan Thailand (17 persen).

Keenam, mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) dengan alokasi subsidi yang lebih besar guna mengurangi impor BBM, meningkatkan ketahanan energi, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan menciptakan lapangan kerja. Pengembangan EBT secara massal akan menjamin tercapainya target bauran energi, meningkatkan aktivitas ekonomi di daerah, dan mencegah defisit perdagangan yang terbukti telah menurunkan kurs dan meningkatkan inflasi. 

Terlepas jadi atau tidaknya penaikan harga BBM, karena situasi dan kondisi yang sangat mendesak, keenam langkah kebijakan di atas perlu segera dijalankan. Faktanya, kebijakan-kebijakan penting tersebut gagal terlaksana akibat pemerintahan yang berkinerja buruk, berkomitmen rendah, dan masih bermental korup. 
Presiden SBY mengatakan harga BBM perlu dinaikkan guna menyelamatkan APBN. Total subsidi energi 2013 mencapai Rp 317 triliun, termasuk subsidi BBM Rp 193,8 triliun. Jika harga BBM tidak dinaikkan, maka total subsidi naik menjadi Rp 446,8 triliun, Rp 297,7 triliun subsidi BBM. Defi sit APBN akan melonjak dari 1,65 persen menjadi 3,83 persen terhadap PDB, melampaui angka yang diperbolehkan UU (3 persen). 

Namun, meskipun pemerintah berwenang menaikkan harga BBM seperti tercantum dalam Pasal 8 Ayat 10 UU No 19 Tahun 2012 tentang APBN, SBY tidak menggunakannya. Presiden masih mengulur waktu dengan alasan perlu persetujuan DPR. Sikap inkosisten ini tampaknya karena kepentingan menyelamatkan citra politik dengan memperlihatkan bahwa semua partai terlibat memutuskan. 

Wacana subsidi BBM yang berkepanjangan akibat kepentingan menjaga citra politik telah melecehkan kemampuan intelektual dan mempermainkan opini sebagian masyarakat. Hal ini juga telah menimbulkan ketidakpastian ekonomi dan bahkan menambah kesulitan hidup bagi sebagian anggota masyarakat. Karena itu, pemerintah dituntut untuk mengambil keputusan dengan sangat segera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar