Sabtu, 22 Juni 2013

Aneh, Ribut Polwan Berjilbab

Aneh, Ribut Polwan Berjilbab
M Anwar Djaelani ;   Dosen Universitas Muhammadiyah Malang
dan Pesantren Hidayatullah Surabaya
JAWA POS, 21 Juni 2013



"Korps Polri larang polwan berjilbab" menjadi tema diskusi yang menarik. Dengan alasan masing-masing, banyak yang berdebat tentang boleh atau tak bolehnya polisi wanita (polwan) berjilbab saat berdinas. Perlulah kita mendudukkannya dari sisi pandangan hidup bangsa.

Soal polwan mengenakan jilbab (pakaian untuk menutup aurat wanita muslim), Wakapolri Komjen Nanan Soekarna pada 7 Juni lalu menyatakan, "Aturan di kepolisian tidak boleh." Dia menambahkan, "Jangan sampai pelayanan kepolisian terkendala sehingga tidak imparsial." Dia pun memberi pilihan keras, "Kalau keberatan, kita serahkan kepada yang bersangkutan, pensiun atau memilih tidak menjadi polwan." 

Banyak yang menyesalkan sikap Nanan. Saan Mustopa, anggota Komisi Hukum DPR, mengatakan bahwa larangan itu tidak masuk akal dan melanggar pasal 29 UUD 45 tentang hak warga negara. Saan juga mengatakan, Komisi III DPR akan memanggil Kapolri untuk membahas persoalan itu.

Sejatinya, debat soal penggunaan jilbab tersebut tak baru. Pertama, secara khusus di internal Polri. Pada 2009 Anton Bachrul Alam yang menjabat Kapolda Jatim mengimbau polwan mengenakan jilbab. "Ini kan mengajak ke jalan yang benar. Dengan memakai jilbab, berarti menutup aurat seorang wanita. Tapi, ini bukan paksaan," kata Anton (4/3/2009). Mabes Polri menanggapinya secara positif. "Polwan yang ada di jajaran Polda Jatim diimbau menggunakan jilbab sah-sah saja," kata Kadivhumas Mabes Polri Irjen Pol Abubakar Nataprawira keesokan harinya. 

Kedua, secara umum. Dulu, di zaman otoriter Soeharto pada 1980-an, wanita-wanita muslim (terutama mahasiswi dan siswi) harus rela berpayah-payah untuk bisa berjilbab. Saat itu kesadaran berjilbab baru dimulai dan dimotori oleh sejumlah aktivis Islam di "kampus-kampus nonagama" seperti ITB, UGM, UI, Unair, dan lain-lain. Lewat masjid kampus atau lembaga dakwah kampus, mereka gulirkan ghirahkeagamaan. Situasi seperti itu juga "menular" ke sejumlah SMA.

Fenomena itu dibaca rezim represif sebagai indikator kebangkitan (politik) umat Islam. Tapi, makin keras intimidasi, makin hebat semangat "para pejuang jilbab". Padahal, mereka harus berhadapan dengan larangan, pengusiran, dan sejumlah teror yang dilakukan oleh birokrasi-birokrasi sekolah, pabrik, dan perusahaan.

Itu dulu. Sekarang, seiring dengan bertambahnya pemahaman umat Islam atas syariat agamanya plus kesadaran atas hak mereka, leluasalah wanita muslim mana pun yang akan berjilbab. Kini cukup mudah menjumpai wanita-wanita muslim pemegang jabatan strategis seperti wali kota, hakim, jaksa, dosen, pengacara, notaris, dan lain-lain yang saat berdinas memakai jilbab. 

Di paragraf ketiga UUD 1945, jelas bangsa ini tidak sekadar mengakui keberadaan Allah, tapi juga pertolongan-Nya. Tertulis, "Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."

Kemudian, di UUD 1945 Bab XI tentang Agama, pasal 29 (2) jelas menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 

Dari tiga landasan tersebut, pertama, siapa yang berani membuat peraturan perundang-undangan yang isinya berlawanan dengannya? Kedua, jika belum ada aturan, misalnya tentang jilbab bagi polwan, seharusnyalah aturan yang akan dibuat itu memperhatikan secara serius bagaimana Islam -sebagai salah satu agama di negeri ini- mengatur busana bagi para pemeluknya. Itu sejalan dengan spirit tiga landasan tersebut.

Cara busana adalah sebentuk ibadah Islam. Misal, busana bagi wanita muslim harus menutup auratnya, yaitu sekujur tubuh, kecuali muka dan telapak tangan (baca QS [33]: 59, QS An-Nuur [24]: 31, dan HR Abu Dawud yang terkait dengan busana muslimah).

Polri, yang belakangan mulai melunak, harus memutuskan. Sebab, "Sudah lebih dari tiga tahun hati nurani saya menjerit karena sepulang dari menunaikan ibadah haji, saya berkeinginan besar mengenakan seragam Polri dengan berhijab," kata seorang perwira polwan yang pernah bertugas di jajaran Polda Jawa Tengah (www.hidayatullah.com 4/6/2013).

Sungguh esensi dari tribrata polisi Indonesia akan memudahkan Polri memutuskan soal hijab/jilbab bagi polwan. Bukankah Polri itu dalam pengabdiannya, pertama, berdasar ketakwaan kepada Tuhan Yang Mahaesa? Kedua, berdasar Pancasila dan UUD 1945? Ketiga, senantiasa melindungi, mengayomi, dan melayani (termasuk anggotanya sendiri)? 

Aneh dan jahil, berjilbab diributkan, malah bermini-mini dan berketat ria direstui. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar