Senin, 08 April 2013

Mendulang Suara lewat Perempuan


Mendulang Suara lewat Perempuan
Honest Dody Molasy ;   Dosen FISIP Universitas Jember,
Kandidat Doktor Ilmu Politik di Swinburne University - Australia 
KORAN SINDO, 08 April 2013



Di penghujung bulan Maret ini, media massa dipenuhi iklan partai politik (parpol) untuk menjaring calon anggota legislatif (caleg). 

Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan caleg potensial dan berpengaruh dalam masyarakat untuk mendongkrak pemerolehan suara pada Pemilu 2014. Bak petugas marketing, para petinggi parpol di Jakarta pun ramai-ramai ”turun gunung” menjajakan kursi parlemen kepada tokoh-tokoh berpengaruh yang ada di daerah. Salah satu yang menjadi incaran mereka adalah perempuan. 

Upaya parpol untuk menjaring para tokoh perempuan ini bukan tanpa alasan, sebab undang-undang dan aturan KPU mewajibkan setiap parpol untuk mencantumkan sedikitnya 30% perempuan dalam daftar caleg, yang batas akhir pengirimannya pada 9 April 2013. Kuota 30% perempuan sebagaimana diamanatkan undangundang adalah salah satu bentuk affirmative action untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen. Langkah ini sangat penting karena sejak Republik ini menyatakank emerdekaannya di tahun 1945, hingga sekarang jumlah perempuan di dalam parlemen masih sangat sedikit. 

Padahal, demokrasi mensyaratkan adanya sistem perwakilan yang memungkinkan setiap kelompok dalam masyarakat terwakili. Tinggi rendahnya tingkat keterwakilan ini akan memengaruhi baik buruknya kualitas demokrasi. Sejak pemilu pertama tahun 1955 hingga Pemilu 2009, jumlah perempuan di kursi DPR memang meningkat, tapi tidak cukup signifikan. Pada Pemilu1955 misalnya, hanya ada 17 perempuan dari 272 anggota parlemen pada saat itu, atau hanya sekitar 6,25%. 

Persentase ini meningkat menjadi 9% pada Pemilu 1999, dan 17,86% pada Pemilu 2009. Tentu saja persentase ini sangat tidak sebanding dengan jumlah perempuan Indonesia yang mencapai 118.010.413 jiwa atau hampir separuh dari jumlah penduduk Indonesia (BPS, Sensus Penduduk 2010). Ketimpangan persentase keterwakilan perempuan ini semakin nyata jika kita lihat data per provinsi.

Ada banyak provinsi di Indonesia yang ternyata tidak memiliki wakil perempuan di DPR RI, misalnya Provinsi Aceh dan Bali. Belum lagi bila kita lihat jumlah perempuan di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang persentasenya jauh lebih sedikit. Demikian juga jika kita lihat per parpol, banyak di antaranya yang persentase wakil perempuannya di parlemen masih sangat kecil. PKS misalnya, hanya punya sekitar 5% saja wakil perempuan di DPR RI. 

Hanya sebagai Umpan

Faktor penghambat utama dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen adalah tidak adanya keseriusan parpol untuk memprioritaskan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif. Kenyataan ini bisa dibuktikan dengan kondisi parpol yang ”kebingungan” dalam menjaring perempuan untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif, dan untuk memenuhi persyaratan kuota 30% perempuan. 

KORAN SINDO misalnya, awal Maret 2013 lalu memberitakan pernyataan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali yang mengaku kesulitan mencari kader perempuan untuk memenuhi kuota 30% perempuan menjelang penyerahan daftar calon sementara (DCS) pada tanggal 9 April 2013. Kondisi yang sama saya kira juga dialami oleh parpol lainnya. Akibatnya, parpol cenderung asal comotsaja, dan asal memenuhi persyaratan undang-undang.

Akibatnya, banyak perempuan yang dicalonkan parpol tidak terpilih dalam pemilu, dan kalaupun terpilih mereka tidak memiliki bekal dan kualitas yang cukup untuk dibawa dalam persidangan DPR. Jika partai politik serius dalam mencalonkan perempuan untuk menduduki kursi parlemen, tentu mereka akan menyiapkan kader-kader perempuan jauh-jauh hari sebelumnya. Para kader-kader perempuan ini seharusnya mendapatkan pelatihan khusus sehingga mereka siap bertarung pada saat pemilu. 

Apa yang parpol lakukan saat ini tak lebih hanya menempatkan perempuan sebagai umpan untuk mendapatkan ikan yang lebih besar. Umpan itu sendiri setelah pemilu akan lenyap, dan yang diuntungkan hanyalah parpol sebagai lembaga yang menebar pancing. Dalam sebuah kesempatan, seorang pimpinan organisasi perempuan di Jawa Timur berkeluh kesah kepada saya. 

Saat ini sudah ada tiga partai politik yang melamarnya untuk menjadi caleg di DPRD Jawa Timur, namun semua lamaran itu dia tolak. Alasannya karena tidak ada keseriusan dari parpol-parpol tersebut untuk mencalonkan dirinya. Salah satunya adalah tidak ada jaminan bahwa perempuan ditempatkan pada nomor urut satu dalam daftar caleg yang akan diserahkan ke KPU. Tahun 2009, dia mencalonkan diri namun pada detik-detik terakhir namanya digeser ke daerah pemilihan (dapil) lain karena dia ternyata satu dapil dengan salah seorang petinggi partai. 

Tentu kesalahan tidak bisa kita timpakan pada parpol semata. Sah-sah saja parpol menggunakan perempuan sebagai daya tarik untuk mendulang suara dalam pemilu, sebagaimana pabrik rokok menggunakan SPG cantik untuk melariskan barang dagangannya. Harusnya, perempuan lebih cerdas jika mendapatkan tawaran dari parpol untuk menjadi calon legislatif. Ibarat mau menikah, perempuan hendaknya memasang mas kawin yang mahal, yaitu dicalonkan dengan nomor urut satu dan diberi bantuan dana kampanye. 

Jika semua calon perempuan melakukan strategi ini, pasti parpol akan berpikir dua kali untuk menolak mas kawin itu. Sebab, jika parpol tidak bisa menyiapkan 30% perempuan dalam daftar caleg, sesuai dengan undang-undang parpol tersebut tidak akan bisa mengikuti pemilu. Maka mau tidak mau parpol akan menyediakan mas kawin sebagaimana diminta mempelai perempuan. Memang tidak ada jaminan bahwa nomor urut satu akan secara otomatis terpilih menjadi anggota legislatif. Namun, data dari Puskapol FISIP UI menunjukkan bahwa 44% perempuan yang saat ini duduk di kursi DPR berasal dari nomor urut satu. 

Artinya, perempuan yang menempati nomor urut satu memiliki peluang lebih besar untuk terpilih. Bisa dibayangkan, jika setiap partai politik menempatkan perempuan pada nomor urut satu, maka jumlah perempuan di DPR akan meningkat cukup signifikan. Strategi lain yang tak kalah pentingnya adalah perlunya pendidikan politik bagi perempuan yang dilakukan secara masif. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak perempuan saat ini enggan terjun ke dunia politik karena minimnya pengetahuan mereka tentang politik, dan faktor sosial budaya yang selama ini menghambat karier perempuan di bidang politik. 

Salah satu hasil terpenting dalam pendidikan politik secara masif ini adalah mempersiapkan para aktivis perempuan untuk bertarung dalam pemilu, dan duduk di kursi parlemen. Jika upaya ini berhasil dilakukan, dalam lima tahun ke depan DPR akan terisi perempuan-perempuan yang tidak hanya lebih banyak jumlahnya, tetapi juga lebih berkualitas. 

Pada akhirnya, diharapkan perempuan-perempuan berkualitas ini akan berkontribusi secara signifikan pada kualitas kebijakan lembaga legislatif yang lebih baik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar