Di penghujung bulan Maret ini, media
massa dipenuhi iklan partai politik (parpol) untuk menjaring calon
anggota legislatif (caleg).
Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan caleg potensial dan berpengaruh
dalam masyarakat untuk mendongkrak pemerolehan suara pada Pemilu 2014.
Bak petugas marketing, para petinggi parpol di Jakarta pun ramai-ramai
”turun gunung” menjajakan kursi parlemen kepada tokoh-tokoh berpengaruh
yang ada di daerah. Salah satu yang menjadi incaran mereka adalah
perempuan.
Upaya parpol untuk menjaring para tokoh perempuan ini bukan tanpa alasan,
sebab undang-undang dan aturan KPU mewajibkan setiap parpol untuk
mencantumkan sedikitnya 30% perempuan dalam daftar caleg, yang batas
akhir pengirimannya pada 9 April 2013. Kuota 30% perempuan sebagaimana
diamanatkan undangundang adalah salah satu bentuk affirmative action untuk meningkatkan keterwakilan perempuan
dalam parlemen. Langkah ini sangat penting karena sejak Republik ini menyatakank
emerdekaannya di tahun 1945, hingga sekarang jumlah perempuan di dalam
parlemen masih sangat sedikit.
Padahal, demokrasi mensyaratkan adanya sistem perwakilan yang
memungkinkan setiap kelompok dalam masyarakat terwakili. Tinggi rendahnya
tingkat keterwakilan ini akan memengaruhi baik buruknya kualitas demokrasi.
Sejak pemilu pertama tahun 1955 hingga Pemilu 2009, jumlah perempuan di
kursi DPR memang meningkat, tapi tidak cukup signifikan. Pada Pemilu1955
misalnya, hanya ada 17 perempuan dari 272 anggota parlemen pada saat itu,
atau hanya sekitar 6,25%.
Persentase ini meningkat menjadi 9% pada Pemilu 1999, dan 17,86% pada
Pemilu 2009. Tentu saja persentase ini sangat tidak sebanding dengan
jumlah perempuan Indonesia yang mencapai 118.010.413 jiwa atau hampir
separuh dari jumlah penduduk Indonesia (BPS, Sensus Penduduk 2010).
Ketimpangan persentase keterwakilan perempuan ini semakin nyata jika kita
lihat data per provinsi.
Ada banyak provinsi di Indonesia yang ternyata tidak memiliki wakil
perempuan di DPR RI, misalnya Provinsi Aceh dan Bali. Belum lagi bila kita
lihat jumlah perempuan di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang
persentasenya jauh lebih sedikit. Demikian juga jika kita lihat per
parpol, banyak di antaranya yang persentase wakil perempuannya di
parlemen masih sangat kecil. PKS misalnya, hanya punya sekitar 5% saja
wakil perempuan di DPR RI.
Hanya sebagai Umpan
Faktor penghambat utama dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di
parlemen adalah tidak adanya keseriusan parpol untuk memprioritaskan
perempuan dalam pencalonan anggota legislatif. Kenyataan ini bisa
dibuktikan dengan kondisi parpol yang ”kebingungan” dalam menjaring
perempuan untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif, dan untuk memenuhi
persyaratan kuota 30% perempuan.
KORAN SINDO misalnya, awal Maret 2013 lalu memberitakan pernyataan Ketua
Umum PPP Suryadharma Ali yang mengaku kesulitan mencari kader perempuan
untuk memenuhi kuota 30% perempuan menjelang penyerahan daftar calon
sementara (DCS) pada tanggal 9 April 2013. Kondisi yang sama saya kira
juga dialami oleh parpol lainnya. Akibatnya, parpol cenderung asal
comotsaja, dan asal memenuhi persyaratan undang-undang.
Akibatnya, banyak perempuan yang dicalonkan parpol tidak terpilih dalam
pemilu, dan kalaupun terpilih mereka tidak memiliki bekal dan kualitas
yang cukup untuk dibawa dalam persidangan DPR. Jika partai politik serius
dalam mencalonkan perempuan untuk menduduki kursi parlemen, tentu mereka
akan menyiapkan kader-kader perempuan jauh-jauh hari sebelumnya. Para
kader-kader perempuan ini seharusnya mendapatkan pelatihan khusus
sehingga mereka siap bertarung pada saat pemilu.
Apa yang parpol lakukan saat ini tak lebih hanya menempatkan perempuan sebagai
umpan untuk mendapatkan ikan yang lebih besar. Umpan itu sendiri setelah
pemilu akan lenyap, dan yang diuntungkan hanyalah parpol sebagai lembaga
yang menebar pancing. Dalam sebuah kesempatan, seorang pimpinan
organisasi perempuan di Jawa Timur berkeluh kesah kepada saya.
Saat ini sudah ada tiga partai politik yang melamarnya untuk menjadi
caleg di DPRD Jawa Timur, namun semua lamaran itu dia tolak. Alasannya
karena tidak ada keseriusan dari parpol-parpol tersebut untuk mencalonkan
dirinya. Salah satunya adalah tidak ada jaminan bahwa perempuan
ditempatkan pada nomor urut satu dalam daftar caleg yang akan diserahkan
ke KPU. Tahun 2009, dia mencalonkan diri namun pada detik-detik terakhir
namanya digeser ke daerah pemilihan (dapil) lain karena dia ternyata satu
dapil dengan salah seorang petinggi partai.
Tentu kesalahan tidak bisa kita timpakan pada parpol semata. Sah-sah saja
parpol menggunakan perempuan sebagai daya tarik untuk mendulang suara
dalam pemilu, sebagaimana pabrik rokok menggunakan SPG cantik untuk
melariskan barang dagangannya. Harusnya, perempuan lebih cerdas jika
mendapatkan tawaran dari parpol untuk menjadi calon legislatif. Ibarat
mau menikah, perempuan hendaknya memasang mas kawin yang mahal, yaitu
dicalonkan dengan nomor urut satu dan diberi bantuan dana kampanye.
Jika semua calon perempuan melakukan strategi ini, pasti parpol akan
berpikir dua kali untuk menolak mas kawin itu. Sebab, jika parpol tidak
bisa menyiapkan 30% perempuan dalam daftar caleg, sesuai dengan
undang-undang parpol tersebut tidak akan bisa mengikuti pemilu. Maka mau
tidak mau parpol akan menyediakan mas kawin sebagaimana diminta mempelai
perempuan. Memang tidak ada jaminan bahwa nomor urut satu akan secara
otomatis terpilih menjadi anggota legislatif. Namun, data dari Puskapol
FISIP UI menunjukkan bahwa 44% perempuan yang saat ini duduk di kursi DPR
berasal dari nomor urut satu.
Artinya, perempuan yang menempati nomor urut satu memiliki peluang lebih
besar untuk terpilih. Bisa dibayangkan, jika setiap partai politik
menempatkan perempuan pada nomor urut satu, maka jumlah perempuan di DPR
akan meningkat cukup signifikan. Strategi lain yang tak kalah pentingnya
adalah perlunya pendidikan politik bagi perempuan yang dilakukan secara
masif. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak perempuan saat ini enggan
terjun ke dunia politik karena minimnya pengetahuan mereka tentang
politik, dan faktor sosial budaya yang selama ini menghambat karier
perempuan di bidang politik.
Salah satu hasil terpenting dalam pendidikan politik secara masif ini
adalah mempersiapkan para aktivis perempuan untuk bertarung dalam pemilu,
dan duduk di kursi parlemen. Jika upaya ini berhasil dilakukan, dalam
lima tahun ke depan DPR akan terisi perempuan-perempuan yang tidak hanya
lebih banyak jumlahnya, tetapi juga lebih berkualitas.
Pada akhirnya, diharapkan perempuan-perempuan berkualitas ini akan
berkontribusi secara signifikan pada kualitas kebijakan lembaga
legislatif yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar