Sabtu, 13 April 2013

Ketika Seni Membaca Korupsi


Ketika Seni Membaca Korupsi
Agus Dermawan T  ;  Kritikus, Penulis Buku-Buku Berbasis Seni, Sosial, dan Budaya
KORAN TEMPO, 13 April 2013

  
Esensi kesenian adalah menyarankan setiap orang untuk berbuat baik. Sementara muatan kesenian adalah refleksi dari ihwal menggetarkan dan menggentarkan yang terjadi dalam masyarakat. Lantaran kesenian sesungguhnya adalah "antena sosial", seperti dikatakan Marshall McLuhan. Itu sebabnya, ketika pada satu dasawarsa setelah kemerdekaan 1945 Indonesia diresahkan adanya gejala korupsi, kesenianlah yang lebih dulu menangkapnya. Dari sini lahir film berjudul Korupsi karya sutradara Raden Arifien, produksi Tjendrawasih (1956).

Film hitam-putih yang dibintangi Bambang Hermanto, Dian Anggrianie, dan Tuty S. ini menceritakan ihwal seorang lelaki lurus hati bernama Muhamad. Namun istri dan ketiga anak gadisnya terseret kehidupan mewah. Muhamad terpuruk ketika ia berurusan dengan calon menantunya, yang importir penyelundup. Bahkan si menantu ini berhasil memaksanya menerima suap dan menelan uang negara. Muhamad akhirnya hidup nista setelah dicokok sebagai koruptor. 

Film di atas agaknya efektif berperan sebagai pengingat. Dengan demikian, sedikit-banyak berhasil menghambat munculnya korupsi dalam skala besar pada kurun itu. Tapi tahun terus berjalan, dan orang Indonesia memasuki masa Orde Baru. Tak disangka, masa ini ternyata mencetak cukup banyak pejabat yang pandai korupsi, meski semua konon berjalan sangat sistematis. Namun, serapat apa pun aib itu disembunyikan, kebusukan akan kuat tercium. Sampai akhirnya ia termanifestasikan dalam film terkenal Si Mamad (1973). 

Korupsi Kertas

Si Mamad, produksi PT Matari Film, disutradarai oleh Sjuman Djaja. Di situ diceritakan, ketika istri Si Mamad akan melahirkan anaknya yang ketujuh, lelaki jujur ini bingung lantaran tak memiliki uang. Ia pun melakukan korupsi kecil-kecilan, seperti memalsukan pembelian bon kertas di kantor tempat ia bekerja. Perbuatan ini sangat menyiksa jiwanya, sehingga sering timbul niat untuk mengaku ke hadapan atasannya, yang diperankan oleh Aedy Moward. Namun niat itu selalu terhalang. Sedangkan atasannya, yang sebenarnya juga koruptor besar, tahu perbuatan Si Mamad. Dan Si Mamad--diperankan oleh Mang Udel--dibiarkan melakukan perbuatannya. Sekaligus dibiarkan tertindih perasaan bersalahnya sampai ia sakit dan meninggal dunia. Film yang diinspirasi karangan Anton Chekov ini memperoleh beberapa Piala Citra 1974. 

Film Si Mamad senapas dengan film antikorupsi Sjuman Djaja sebelumnya, Lewat Jam Malam (1971), produksi PT Allied Film of Indonesia. Film ini berbicara tentang pencurian uang negara dengan melibatkan para koruptor yang diburu para polisi yang (pada waktu itu) masih jujur. Tokoh-tokoh film diperankan Rachmat Hidayat, Rima Melati, Sukarno M. Noor, Rahayu Effendi, dan Sjuman Djaja sendiri. Keberanian Sjuman Djaja mengkritik koruptor disulut oleh sejumlah puisi kritis Rendra pada kurun itu. 

Dalam sajak Pesan Pencopet kepada Pacarnya, Rendra memang membakarnya. "Sebagai kepala jawatan lelakimu normal / Suka disogok dan suka korupsi / Bila ia ganti kau tipu / itu sudah jamaknya / Maling menipu maling itu biasa...." Kita tahu, sajak ini merupakan embrio dari drama korupsi birokrasi yang berjudul Sekda (Sekretaris Daerah), ciptaan Rendra beberapa tahun kemudian.

Orde Baru runtuh pada Mei 1998. Keruntuhan ini menyemburkan kekhawatiran betapa keganasan korupsi yang bermain di bawah permukaan itu diprediksi akan terus berlangsung pada era Reformasi. Dan kanker korupsi akan mematikan apabila tidak segera dihadang. Dari sini, gerakan reaktif kesenian antikorupsi berhamburan muncul. Ada yang didera perasaan pesimistis. Tapi tidak sedikit yang optimistis. Contoh yang paling optimistis adalah ini.

Pada 28 Oktober 1998, di Solo berdiri Parsendi, atau Partai Seni dan Dagelan Indonesia. Dalam kongresnya yang luar biasa, Parsendi memilih Sri "Milko" Mulyati sebagai ketua umum. Sri adalah pelawak yang peka sosial, terus terang, kampungan, buta huruf, sekaligus mahajujur sehingga jauh dari niat korupsi. Ini selaras dengan jiwa Parsendi yang sangat antikorupsi. Menyadari bahwa Parsendi hidup di Indonesia, maka pada Pemilu 1999 organisasi "pulitik" (kumpul-kumpul untuk menggelitik) ini pun menjunjung semboyan penuh percaya diri: "Hanya ada kata bertuah: Optimis Kalah!" 

Sementara Parsendi melumuri dirinya dengan tawa pedih dan senyum sinis, penyair Taufiq Ismail tampil dengan kedongkolan tak tertahankan. Dalam puisi panjang Malu Aku Jadi Orang Indonesia (1998), ia pun berkata: "Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomer satu / Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari tandingan/Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari." 

Tikus Reformasi

Dalam seni rupa, korupsi juga ramai menjadi tema. Banyak adikarya yang lahir dari isu membencikan ini. Lukisan Suraji, Jakarta Berburu Tikus (2008), misalnya. Karya ini merupakan pemenang utama dalam kompetisi Jakarta Art Awards 2008 yang diikuti 3.456 lukisan. Dalam kanvas tampak masyarakat kota sedang riuh menangkap tikus-tikus raksasa (berdasi!) yang tubuhnya kuat bagai banteng. Ribuan tangan manusia yang dibantu hewan buas seperti serigala dan harimau tak juga mampu meringkusnya. Sementara di pojok sana, tampak seekor macan putih yang tertawa gembira lantaran merasa berhasil menangkap tikus-tikus sangat kecil segede ibu jari saja. 

Perupa Agapethus A. Kristiandana pada tahun 2000-an menciptakan adikarya seni patung yang menggambarkan sapi bertubuh sangat panjang, dengan belang kulit yang menggambarkan peta Indonesia. Ia seperti meramalkan bahwa, pada saatnya, Indonesia akan diperas bak sapi perah lewat skandal korupsi impor daging sapi, seperti yang sekarang terjadi. Pada Maret 2013, Aris Budiono Sadjad berpameran khusus seni lukis yang bertema "Perang Suci Melawan Korupsi". Apa yang dikerjakan membarengi suara musik Ikang Fawzi, Iwan Fals, Franky, sampai Slank yang jelas-jelas memusuhi perbuatan busuk itu. 

Tapi, apakah para seniman dirugikan secara langsung oleh perbuatan para koruptor itu? Seniman, sebagai rakyat, cenderung mengaku tidak. Lalu, kita ingat apa yang dikatakan Jean Jaques Rousseau, filsuf Prancis abad ke-18, "Sesungguhnya rakyat tidak pernah dikorupsi. Rakyat hanya ditipu oleh para koruptor." Bagi seniman, penipuan justru lebih menyakitkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar