Esensi kesenian adalah menyarankan setiap orang untuk
berbuat baik. Sementara muatan kesenian adalah refleksi dari ihwal
menggetarkan dan menggentarkan yang terjadi dalam masyarakat. Lantaran
kesenian sesungguhnya adalah "antena sosial", seperti dikatakan
Marshall McLuhan. Itu sebabnya, ketika pada satu dasawarsa setelah
kemerdekaan 1945 Indonesia diresahkan adanya gejala korupsi, kesenianlah
yang lebih dulu menangkapnya. Dari sini lahir film berjudul Korupsi karya
sutradara Raden Arifien, produksi Tjendrawasih (1956).
Film hitam-putih yang dibintangi Bambang Hermanto,
Dian Anggrianie, dan Tuty S. ini menceritakan ihwal seorang lelaki lurus
hati bernama Muhamad. Namun istri dan ketiga anak gadisnya terseret
kehidupan mewah. Muhamad terpuruk ketika ia berurusan dengan calon
menantunya, yang importir penyelundup. Bahkan si menantu ini berhasil
memaksanya menerima suap dan menelan uang negara. Muhamad akhirnya hidup
nista setelah dicokok sebagai koruptor.
Film di atas agaknya efektif berperan sebagai
pengingat. Dengan demikian, sedikit-banyak berhasil menghambat munculnya
korupsi dalam skala besar pada kurun itu. Tapi tahun terus berjalan, dan
orang Indonesia memasuki masa Orde Baru. Tak disangka, masa ini ternyata
mencetak cukup banyak pejabat yang pandai korupsi, meski semua konon
berjalan sangat sistematis. Namun, serapat apa pun aib itu disembunyikan,
kebusukan akan kuat tercium. Sampai akhirnya ia termanifestasikan dalam
film terkenal Si Mamad (1973).
Korupsi Kertas
Si Mamad, produksi PT Matari Film, disutradarai oleh
Sjuman Djaja. Di situ diceritakan, ketika istri Si Mamad akan melahirkan
anaknya yang ketujuh, lelaki jujur ini bingung lantaran tak memiliki
uang. Ia pun melakukan korupsi kecil-kecilan, seperti memalsukan
pembelian bon kertas di kantor tempat ia bekerja. Perbuatan ini sangat
menyiksa jiwanya, sehingga sering timbul niat untuk mengaku ke hadapan
atasannya, yang diperankan oleh Aedy Moward. Namun niat itu selalu
terhalang. Sedangkan atasannya, yang sebenarnya juga koruptor besar, tahu
perbuatan Si Mamad. Dan Si Mamad--diperankan oleh Mang Udel--dibiarkan
melakukan perbuatannya. Sekaligus dibiarkan tertindih perasaan
bersalahnya sampai ia sakit dan meninggal dunia. Film yang diinspirasi
karangan Anton Chekov ini memperoleh beberapa Piala Citra 1974.
Film Si Mamad senapas dengan film antikorupsi Sjuman
Djaja sebelumnya, Lewat Jam Malam (1971), produksi PT Allied Film of
Indonesia. Film ini berbicara tentang pencurian uang negara dengan
melibatkan para koruptor yang diburu para polisi yang (pada waktu itu)
masih jujur. Tokoh-tokoh film diperankan Rachmat Hidayat, Rima Melati,
Sukarno M. Noor, Rahayu Effendi, dan Sjuman Djaja sendiri. Keberanian
Sjuman Djaja mengkritik koruptor disulut oleh sejumlah puisi kritis
Rendra pada kurun itu.
Dalam sajak Pesan Pencopet kepada Pacarnya, Rendra
memang membakarnya. "Sebagai
kepala jawatan lelakimu normal / Suka disogok dan suka korupsi / Bila ia
ganti kau tipu / itu sudah jamaknya / Maling menipu maling itu
biasa...." Kita tahu, sajak ini merupakan embrio dari drama
korupsi birokrasi yang berjudul Sekda (Sekretaris Daerah), ciptaan Rendra
beberapa tahun kemudian.
Orde Baru runtuh pada Mei 1998. Keruntuhan ini
menyemburkan kekhawatiran betapa keganasan korupsi yang bermain di bawah
permukaan itu diprediksi akan terus berlangsung pada era Reformasi. Dan
kanker korupsi akan mematikan apabila tidak segera dihadang. Dari sini,
gerakan reaktif kesenian antikorupsi berhamburan muncul. Ada yang didera
perasaan pesimistis. Tapi tidak sedikit yang optimistis. Contoh yang paling
optimistis adalah ini.
Pada 28 Oktober 1998, di Solo berdiri Parsendi, atau
Partai Seni dan Dagelan Indonesia. Dalam kongresnya yang luar biasa,
Parsendi memilih Sri "Milko" Mulyati sebagai ketua umum. Sri
adalah pelawak yang peka sosial, terus terang, kampungan, buta huruf,
sekaligus mahajujur sehingga jauh dari niat korupsi. Ini selaras dengan
jiwa Parsendi yang sangat antikorupsi. Menyadari bahwa Parsendi hidup di
Indonesia, maka pada Pemilu 1999 organisasi "pulitik"
(kumpul-kumpul untuk menggelitik) ini pun menjunjung semboyan penuh
percaya diri: "Hanya ada kata
bertuah: Optimis Kalah!"
Sementara Parsendi melumuri dirinya dengan tawa pedih
dan senyum sinis, penyair Taufiq Ismail tampil dengan kedongkolan tak
tertahankan. Dalam puisi panjang Malu Aku Jadi Orang Indonesia (1998), ia
pun berkata: "Di negeriku,
selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomer satu / Di negeriku,
sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari
tandingan/Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeum dipotong
birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari."
Tikus Reformasi
Dalam seni rupa, korupsi juga ramai menjadi tema.
Banyak adikarya yang lahir dari isu membencikan ini. Lukisan Suraji,
Jakarta Berburu Tikus (2008), misalnya. Karya ini merupakan pemenang
utama dalam kompetisi Jakarta Art Awards 2008 yang diikuti 3.456 lukisan.
Dalam kanvas tampak masyarakat kota sedang riuh menangkap tikus-tikus
raksasa (berdasi!) yang tubuhnya kuat bagai banteng. Ribuan tangan
manusia yang dibantu hewan buas seperti serigala dan harimau tak juga
mampu meringkusnya. Sementara di pojok sana, tampak seekor macan putih
yang tertawa gembira lantaran merasa berhasil menangkap tikus-tikus
sangat kecil segede ibu jari saja.
Perupa Agapethus A. Kristiandana pada tahun 2000-an
menciptakan adikarya seni patung yang menggambarkan sapi bertubuh sangat
panjang, dengan belang kulit yang menggambarkan peta Indonesia. Ia
seperti meramalkan bahwa, pada saatnya, Indonesia akan diperas bak sapi
perah lewat skandal korupsi impor daging sapi, seperti yang sekarang
terjadi. Pada Maret 2013, Aris Budiono Sadjad berpameran khusus seni
lukis yang bertema "Perang
Suci Melawan Korupsi". Apa yang dikerjakan membarengi suara
musik Ikang Fawzi, Iwan Fals, Franky, sampai Slank yang jelas-jelas
memusuhi perbuatan busuk itu.
Tapi, apakah para seniman dirugikan secara langsung
oleh perbuatan para koruptor itu? Seniman, sebagai rakyat, cenderung
mengaku tidak. Lalu, kita ingat apa yang dikatakan Jean Jaques Rousseau,
filsuf Prancis abad ke-18, "Sesungguhnya
rakyat tidak pernah dikorupsi. Rakyat hanya ditipu oleh para koruptor."
Bagi seniman, penipuan justru lebih menyakitkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar