Isu penyadapan menjadi salah satu klausul yang masuk dalam Rancangan
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Isu penyadapan menjadi menarik karena terkait anggapan Rancangan
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) akan melemahkan lembaga
seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kewenangan penyadapan
dianggap perlu melekat pada KPK mengingat manfaatnya dalam membongkar
kasus-kasus korupsi di negeri ini.
Aturan penyadapan berelasi dengan keputusan Mahkamah Konstitusi
(MK) yang membatalkan Pasal 31 Ayat 4 dalam UU Informasi dan Transaksi
Elektronik yang berisi ”tata cara penyadapan yang diatur oleh
pemerintah”. MK mengabulkan permohonan Wahyu Wagiman yang meminta pasal
ini dihapus menanggapi rencana pembuatan RPP Penyadapan.
MK berpendapat, pembatasan mengenai penyadapan harus diatur dengan
UU untuk menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi
manusia (HAM). MK memandang perlu mengingatkan penyadapan dan perekaman
pembicaraan merupakan pembatasan HAM. Pembatasan hanya dapat dilakukan
dengan payung UU sebagaimana diatur Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945.
Diskursus di MK
Sebelum ramai dibahas dalam RUU HAP, diskursus penyadapan
sebenarnya sudah berlangsung dalam pemutaran dan penyiaran rekaman
pembicaraan telepon. Ini terutama setelah sidang di MK terkait uji materi
(judicial review) Pasal 32 Ayat (1) huruf c UU Nomor 30 Tahun 2002
tentang KPK yang diajukan unsur pimpinan KPK non-aktif saat itu, Chandra
M Hamzah dan Bibit S Rianto. Ada yang mendukung, ada yang menolak.
Yang mendukung melihat bahwa penyadapan sah dilakukan. Misalnya,
bagi KPK, penyadapan menjadi alat ampuh menjerat para pelaku korupsi.
Terbukti tim penyidik KPK beberapa kali berhasil membongkar ulah koruptor
yang bahkan melibatkan penegak hukum.
Seperti kasus jaksa Urip Tri Gunawan, di persidangan terungkap,
melalui penyadapan telepon ada hubungan antara Artalyta Suryani dan Urip,
dan bahkan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Untung Uji
Santoso. Dalam kasus Bibit-Chandra, tersebutlah tokoh Anggodo dan
kawan-kawan.
Yang menolak penyadapan berargumen bahwa pembicaraan telepon,
termasuk akses internet, merupakan wilayah pribadi dan dilindungi UU.
Penyadapan serampangan membuat hal-hal pribadi terpublikasi.
Jaminan Privasi
UU Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999 menjamin privasi pengguna
layanan telekomunikasi. Pasal 40 menyatakan, ”Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas
informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk
apa pun”.
Menurut Pasal 41, operator telekomunikasi wajib merahasiakan
informasi yang dikirim dan atau diterima konsumen jasa telekomunikasi. UU
Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 pada Pasal 31 Ayat
(1) dan (2) juga melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi
elektronik dan atau dokumen
elektronik.
Namun, tetap ada perkecualian. Penyadapan (merekam informasi) dapat
dilakukan untuk keperluan proses peradilan pidana atas permintaan
tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk
tindak pidana tertentu, serta permintaan penyidik untuk tindak pidana
tertentu sesuai UU yang berlaku (Pasal 42 Ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 1999
dan Pasal 31 Ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik No 11 Tahun
2008). Selain Kejaksaan dan Polri, berdasar UU 30 Tahun 2002 Pasal 12
Ayat (1) huruf a, KPK dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan juga dapat menyadap dan merekam pembicaraan.
Tidak Mudah
Kenyataannya, penyadapan tidak selalu sesuai dengan UU, tugas, dan
wewenang yang dimiliki. Permintaan tertulis tidak selalu ditandatangani
Jaksa Agung atau Kapolri. Dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen,
ditengarai telepon seluler Rani Juliani dan Nasrudin Zulkarnaen disadap
meski tidak langsung terkait tindak pidana korupsi.
Ada juga wartawan yang disadap, padahal ia melakukan tugas
jurnalistik. Bahkan, ada seorang ibu yang sedang dalam proses perceraian
disadap untuk kepentingan (bakal mantan) suami di pengadilan agama.
Dari pro dan kontra yang mengemuka, yang perlu dikedepankan adalah
hak masyarakat, konsumen telekomunikasi, dan internet khususnya untuk
tidak disadap. Dalam RUU HAP Pasal 83, tegas dinyatakan bahwa penyadapan
pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi yang lain dilarang,
kecuali terhadap pembicaraan terkait dengan tindak pidana serius atau
diduga keras akan terjadi tindak pidana serius yang tidak dapat diungkap
tanpa penyadapan.
Penyadapan hanya dapat dilakukan penyidik atas perintah tertulis
atasan penyidik setempat setelah mendapat surat izin dari hakim
komisaris. Aturan ini memberikan perlindungan privasi bagi masyarakat.
Sayangnya, aturan jenis tindak pidana serius yang dimasukkan
terlalu banyak. Harusnya, dibatasi pada hal terkait keamanan negara,
terorisme, korupsi, narkoba, pengancaman atau pemerasan, serta perampasan
kemerdekaan/penculikan saja.
Selain itu, ketentuan Pasal 84 dalam RUU HAP menyebutkan, dalam
keadaan mendesak penyidik dapat melakukan penyadapan tanpa surat izin
dari hakim komisaris dengan ketentuan wajib memberitahukan penyadapan
tersebut kepada hakim komisaris melalui penuntut umum. Hal itu dapat
menjadi pembenar penyadapan tanpa izin.
Terkait isi RUU HAP, yang diperlukan adalah prosedur operasi standar
dalam hal penyadapan. Misalnya, siapa yang berwenang menandatangani
permintaan tertulis penyadapan, kapan boleh dilakukan, dan sampai berapa
lama. Sebab, mungkin saja, walau belum ada indikasi tindak pidana atau
korupsi, sudah disadap. Bahkan, yang tidak masuk dalam tindak pidana atau
korupsi juga disadap.
Yang juga perlu diatur adalah audit penyadapan yang telah dilakukan
penegak hukum. Ini untuk menilai apakah mekanisme penyadapan sesuai
dengan prosedur operasi standar atau tidak. Sadap-menyadap yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan membuat masyarakat tidak percaya terhadap
aparat penegak hukum dan pemerintah.
Terkait pembukaan dan penyebaran rekaman penyadapan, perlu dilihat
kembali Pasal 17 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik. Ada beberapa informasi yang dikecualikan dari akses publik untuk
mendapatkan informasi. Informasi yang dikecualikan itu antara lain
apabila dibuka dan diberikan dapat menghambat proses penyelidikan dan
penyidikan suatu tindak pidana ataupun mengungkapkan identitas informan,
pelapor, saksi, dan atau korban tindak pidana. Selain itu, dikecualikan
juga informasi publik yang apabila dibuka dapat mengungkap rahasia
pribadi.
Membuka penyadapan ke publik hendaknya disampaikan secara lengkap,
sejak awal pembicaraan hingga selesai. Pembicaraan yang dipotong-potong
berpotensi membuat teks keluar dari konteks. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar