Rabu, 31 Oktober 2012

Ancaman Bangsa Tunasejarah


Ancaman Bangsa Tunasejarah
Samsudin Adlawi ;  Wartawan Jawa Pos, menerbitkan dua buku puisi,
Jaran Goyang (2009) dan Haiku Sunrise of Java (2011)
JAWA POS, 31 Oktober 2012



SEJARAH membuktikan, kemerdekaan negara ini bukanlah hadiah, melainkan berkat perjuangan yang gigih melawan penjajah. Tak terhitung nyawa pejuang yang melayang. Tak terhitung harta benda yang hilang. Sejarah juga membuktikan, kemerdekaan negara ini diraih berkat persatuan dan kesatuan seluruh anak negeri. Egoisme kesukuan, etnis, faksi, kelompok, dan organisasi ditanggalkan. Lebur menjadi satu bangsa. Bangsa Indonesia yang ingin lepas dari penjajahan.

Dalam mengisi kemerdekaan yang baru diraihnya, seperti tertulis dalam sejarah, bangsa ini terus memelihara persatuan dan kesatuan. Dua "azimat" itu diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari lewat semangat gotong royong dan toleransi. Namun, seiring dengan pertumbuhan negara ini, "kebersamaan dalam perbedaan" itu perlahan mulai luntur. Hidup rukun dan saling membantu antar penduduk yang beda suku, agama, ras, dan golongan kini mulai tergerus oleh virus intoleransi. Yang terjadi sekarang, masyarakat lebih mendahulukan otot daripada akal, apalagi etika dan logika. Sumbu emosi masyarakat yang dulu panjang dan bercabang-cabang saat ini berubah menjadi sangat pendek. Karena itu, sedikit saja terkena percikan, langsung meledak.

Begitulah yang terjadi saat ini. Perselisihan yang berakibat kerusuhan pecah hampir setiap hari. Hanya gara-gara SMS (short message service) dan BBM (BlackBerry Messenger) gelap, masyarakat jadi kalap. Itulah yang terjadi di Mataram, NTB (Nusa Tenggara Barat), beberapa hari lalu. Gara-gara beredar secara berantai SMS dan BBM berisi tentang penculikan anak, masyarakat melakukan sweeping terhadap orang asing (non penduduk setempat). Yang diketahui mencurigakan langsung dihakimi oleh massa. Tercatat, dua orang meninggal dalam peristiwa yang menggemparkan NTB itu. Terbaru, tujuh orang tewas dalam bentrokan antarkampung di Lampung (29/10). Peristiwa yang terjadi di Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan, tersebut dipicu persoalan sepele juga. Yakni, menurut versi polisi, gadis yang jatuh dari motor lalu ditolong pemuda. Kemudian, beredar cepat informasi simpang siur hingga pecah bentrokan antarkampung. Kejadian itu setidaknya mengakibatkan tiga nyawa melayang, juga membuat enam orang lain menderita luka berat.

Yang memprihatinkan, tindakan anarkistis juga menular ke kalangan mahasiswa, bahkan pelajar. Tawuran mahasiswa di Makassar pertengahan Oktober lalu mengakibatkan dua mahasiswa tewas. Tewasnya dua mahasiswa perguruan tinggi di Makassar itu merupakan klimaks dari peristiwa tawuran yang sering terjadi di sejumlah kampus di Makassar. Sebelumnya, Agustus sampai September, tercatat lima siswa tewas dalam tawuran antar pelajar di Jakarta. Tewasnya lima generasi penerus bangsa hanya dalam waktu dua bulan dalam tawuran tersebut tidak bisa dianggap sebagai fenomena biasa. Sebaliknya, dijadikan momentum untuk memulai introspeksi.

Ada apa sebenarnya dengan bangsa ini? Kenapa aksi kekerasan terus saja terjadi. Bahkan, makin menjadi-jadi. Tidak hanya melibatkan masyarakat, tapi juga pelajar dan mahasiswa. Sementara itu, aksi kekerasan itu sendiri kini tidak melulu terjadi di tengah masyarakat lewat aksi kekerasan fisik. Tapi, juga menjalar di gedung parlemen serta panggung lain, misalnya televisi. Hampir setiap hari kita disuguhi kekerasan verbal yang dipertontonkan oleh politisi. Baik yang duduk di kursi DPR maupun yang berada di luar panggung Senayan. Dalam diskusi, politisi tidak hanya mendebat, tapi juga "menyerang" pendapat lawan diskusinya.

Tentu saja kondisi itu tidak bisa dibiarkan. Seperti halnya dengan percikan api, kalau dibiarkan akan menjadi bara. Tentu saja kita tidak ingin rentetan aksi kekerasan dan kerusuhan akhir-akhir ini berubah menjadi petaka bagi negara ini. Sebelum benar-benar menjadi petaka, bibit-bibit api yang mulai menyala harus segera dipadamkan. Salah satu cara untuk memadamkannya adalah kembali membuka dan membaca sejarah. Sebab, sejarah telah membuktikan bahwa negara ini dibangun dengan landasan nilai-nilai yang luhur. Nilai yang menjunjung tinggi sikap toleransi alias tepa selira serta kebersamaan alias kesatuan dan persatuan.

Saya yakin seyakin-yakinnya, kita semua tidak ingin menjadi bangsa yang tunasejarah. Sebab, tunasejarah akan mengancam eksistensi sebuah negara. Mari mengenang masa romantis dan harmonis bangsa kita agar kita bisa menepis segala prasangka keseharian yang kian menghebat lewat aneka jalur komunikasi.

Mesin Produksi Pendidikan


Mesin Produksi Pendidikan
Candra Fajri Ananda ;  Praktisi Pendidikan dan Guru Besar
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
JAWA POS, 31 Oktober 2012



ARAK-arakan kelulusan siswa sekolah selalu mencerminkan betapa senangnya para siswa keluar dari proses pendidikan yang dijalani di sekolah. Kegembiraan itu kadang cukup berlebihan karena juga diikuti tindakan yang tidak terpuji oleh sebagian siswa. (Kabar terakhir yang kita lihat, para pelajar dan mahasiswa sudah membunuh temannya dalam tawuran).

Tentu, kita sebagai orang tua akan berpikir keras mengapa hal itu bisa terjadi. Anggaran pendidikan senilai 20 persen terus meningkat. Dana BOS 2013 yang diajukan mencapai Rp 22,3 triliun atau Rp 710 ribu per siswa (Jawa Pos, kemarin). Tetapi, mengapa anggaran tersebut terkesan tidak berkorelasi dengan meningkatnya semangat belajar siswa (bahkan mahasiswa), bahkan ada yang brutal dan kriminal? Mestinya dunia pendidikan menyadari pertumbuhan ekonomi nasional yang cukup tinggi dan memerlukan kualitas SDM untuk menjaga keberlanjutan (sustainability) pertumbuhan.

Sampai saat ini, keberhasilan pendidikan masih diukur dari tingkat kelulusan ujian nasional (unas) dan rapor, sedangkan mahasiswa diharapkan mampu mencapai IP (indeks prestasi) yang setinggi-tingginya. Untuk mencapai kelulusan unas, para siswa sudah disiapkan oleh sekolahnya untuk ''hanya belajar'' mata ujian unas dan orang tua melakukan apa saja seperti ikut les pelajaran tambahan. Begitu juga, mahasiswa berlomba-lomba mendapat nilai IP tertinggi, walaupun dicapai tanpa mengindahkan etika dan moral.

Mesin Pendidikan

Secara faktual, sistem pendidikan yang kita terapkan dapat diilustrasikan seperti mesin produksi dalam aktivitas ekonomi. Suatu aktivitas produksi akan menghasilkan output tertentu dengan biaya input tertentu. Input di sini adalah anggaran pendidikan, murid, guru, dan fasilitas sekolah. Melalui pengolahan komponen input itu, output pendidikan (lulusan) akan ditentukan menjadi seperti apa, termasuk kualitas lulusan yang kita inginkan.

Menjamurnya lembaga pendidikan akhirnya mendorong terjadinya persaingan. Beberapa lembaga pendidikan mencantumkan internasionalisasi, penguasaan bahasa asing serta tambahan kurikulum lain, sebagai alat menang bersaing. Ada yang membuat profil sekolah yang mengedepankan biaya murah, tetapi tidak ada jaminan kualitas output-nya. Alhasil, banyak murid (tidak mampu/miskin) yang terjerembap dalam jurang sekolah abal-abal bermotif profit, karena yang penting terdaftar sekolah.

Input guru juga menjadi faktor penting kualitas lulusan murid. Sebenarnya, sejak era pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (SBY), kesejahteraan guru meningkat secara signifikan. Tetapi, itu belum sejalan dengan peningkatan kapasitas intelektual dan emosional seorang guru. Untuk itu, perlu terus ada evaluasi pencapaian pendidikan. Jika tidak ada target, tentunya pembiayaan yang besar tersebut akan memboroskan uang rakyat. Persoalan lain dalam input guru adalah masih rendahnya rasio antara guru dan murid, terlebih di wilayah yang jauh dari pusat pertumbuhan ekonomi.

Input mesin pendidikan yang tidak kalah penting adalah fasilitas sekolah. Bentuk konkret fasilitas sekolah dalam hal ini, antara lain, ruang kelas, perpustakaan, dan laboratorium. Penunjang pendidikan yang urgen itu masih belum tercukupi di sebagian besar sekolah di negara kita. Kita sering mendengar berita di televisi maupun media lain yang memberitakan adanya gedung sekolah yang tidak layak pakai, padahal gelontoran dananya sangat besar.

Dana BOS, misalnya. Ternyata, kita masih sering mendengar penggunaannya tidak sesuai dengan aturan maupun terjadi keterlambatan dalam pencairannya. Dalam beberapa penelitian terungkap, dana BOS hanya menyelesaikan biaya operasional sekolah, tetapi biaya transportasi dari rumah ke lokasi sekolah tetap menjadi beban orang tua murid. Tentu, biaya itu akan semakin besar jika pemerintah benar-benar akan mencabut subsidi BBM (bahan bakar minyak). Kondisi tersebut terjadi karena lokasi sekolah-sekolah unggulan (sekolah yang menjadi rebutan semua murid dan orang tua) biasanya terkumpul (cluster) di daerah tertentu. Transportasi jadi mahal karena jauh.

Reformasi Berlanjut

Karena persoalannya sangat kompleks, perlu gebrakan baru. Reformasi pendidikan meliputi semua faktor input sangat dibutuhkan.

Pertama, peningkatan kualitas sekolah. Manajemen sekolah perlu diperbaiki. Komitmen antara kepala sekolah dan komite sekolah untuk memajukan sekolah harus ditingkatkan. Pemilihan kepala sekolah seyogianya memperhatikan kemampuan manajemen, bukan hanya pada kepangkatan atau senioritas. Selain itu, perlu diberikan pelatihan khusus agar sang Kasek memiliki keahlian dalam mengelola sekolah.

Kedua, peningkatan kapasitas intelektual dan emosional guru. Murid akan langsung bersentuhan dengan guru, setiap bertemu dan tatap muka langsung. Bisa dikatakan, hampir sembilan jam per hari para siswa tersebut berinteraksi dan bercengkerama dengan guru. Faktor guru itu alangkah menentukan. Langkah Kemendikbud perlu didukung untuk terus mengevaluasi guru-guru yang sudah lolos sertifikasi. Memang banyak guru yang mengikuti sertifikasi dengan menghalalkan segala cara agar bisa lolos. Untuk itu, perlu recheck kualitas mereka.

Ketiga, penyebaran sekolah berkualitas di beberapa lokasi. Saat ini, ketimpangan pembangunan turut berdampak terhadap ketimpangan sekolah. Daerah maju selalu didukung sekolah yang berkualitas. Sebaliknya, daerah kumuh/tidak berkembang akan dihuni sekolah asal-asalan. Padahal, kualitas faktor input di pelosok seperti murid belum tentu lebih rendah dibanding daerah maju. Begitu juga guru-gurunya yang sudah bersertifikat. Tetapi, orang tua dan murid tetap akan berusaha diterima di sekolah berkualitas yang jauh dari lokasi rumah mereka. Kebijakan pemerintah daerah untuk menyebar lokasi sekolah yang bermutu di banyak lokasi perlu didorong, tidak terpusat di lokasi tertentu. Tujuannya, mendorong akses pendidikan yang lebih murah (dekat dan terjangkau) bagi semua calon siswa.

Melalui kebijakan pemerintah yang tepat, kerja sama orang tua murid serta kebijakan nasional yang tidak kontradiktif, dunia pendidikan diharapkan bisa menghasilkan output lulusan yang lebih baik dan mampu menjadi faktor produksi ekonomi yang berkualitas serta berkarakter.

Menjajaki Pemilu Serentak


Menjajaki Pemilu Serentak
Effendi Gazali ;  Peneliti Komunikasi Politik
KOMPAS, 31 Oktober 2012



Salah satu inti komunike bersama tokoh lintas agama pada September lalu adalah kemarahan terhadap korupsi politik. Mereka berpendapat bahwa pelemahan KPK dimotivasi oleh keterlenaan atau kekhawatiran politisi akan dana persiapan Pemilu 2014.

Terlena sebab politisi merasa sebelumnya cukup mudah mendapatkan dana melalui korupsi politik beramai-ramai. Khawatir karena Pemilu 2014 sudah dekat, sementara kemungkinan korupsi politik ditutup oleh KPK.

Pada negeri yang tak sungguh-sungguh memiliki semacam komisi rekonsiliasi dan kebenaran, titik nol pemberantasan ko- rupsi sering tidak jelas tegas. Aparat pene- gak hukum bisa merambah ke zona waktu sebelumnya sekaligus merangsek korupsi terbaru. Karena hanya sebagian kecil dari beban puluhan ribu laporan atau temuan yang sempat diolah, segera mencuat teri- akan tebang pilih. Mengapa orang tertentu saja? Mengapa yang jumlah uangnya hanya segini? Sebagian bilang bahwa yang terkena hukuman kebetulan sedang apes.

Di tengah kebuncahan masa lalu dan masa kini itu, tentu sorotan ke masa depan untuk mencegah atau mengurangi korupsi politik amat diperlukan. Tantangan utamanya: biaya politik dan politik uang pada pemilihan umum. Kami peneliti komuni- kasi politik serius berpikir bahwa pemilu serentak pada 2014 adalah keniscayaan yang amat perlu dijajak dan didesak secara nasional.

Cegah Suap

Dengan pemilu serentak pada 2014, setiap kita akan menghadapi enam kotak di tempat pemungutan suara. Kotak pertama untuk pemilu presiden. Kotak kedua untuk pemilu legislatif (DPR) pusat. Kotak ketiga untuk pemilu legislatif tingkat satu. Kotak keempat untuk pemilu legislatif tingkat dua. Kotak kelima untuk pemilu senator (DPD). Kotak keenam untuk pemilihan kepala daerah. Tentu beberapa daerah tidak memerlukan pemilu legislatif tingkat dua sehingga kotak suara di situ hanya lima.

Terdapat beberapa manfaat pemilu serentak. Pertama, penghematan APBN dan APBD. Setidaknya efisiensi akan menca- kup tujuh hal: pemutakhiran data pemilih, sosialisasi, perlengkapan TPS, distribusi logistik, perjalanan dinas, honorarium, dan uang lembur. Ferry Kurnia, komisio- ner KPU, memperkirakan lebih kurang Rp 22 triliun bisa dihemat. Belum lagi penghematan di tingkat daerah dengan 530 pilkada.

Kedua, arah kaderisasi dan pembangunan kapabilitas politik lebih jelas. Dengan adanya pemilu serentak, tiap partai politik jauh-jauh hari harus memetakan siapa yang bertarung di level dan daerah mana. Jangan seperti sekarang, ada poli- tisi yang terkesan mencari peruntungan ke mana-mana. Maju ke tingkat pilpres, lalu coba lagi di pilkada di satu provinsi, terus pindah mengadu nasib ke provinsi lain. Spekulasi bahwa seorang kepala daerah akan menelantarkan rakyatnya karena bisa tiap saat sesukanya maju ke pilkada atau bahkan pilpres bisa dikurangi.

Dari kedua poin ini kita bisa pula men- cegah biaya politik dan politik uang yang telah terbukti amat ganas. Ganjar Pranowo pernah menyebut angka Rp 1,2 triliun yang dihabiskan dua kandidat pada suatu pilkada. Menyangkut pilpres, selama ini kita tak pernah meyakini berapa biaya kampanye riil. Apalagi soal politik uang yang amat kita yakini baunya, tetapi hampir tak pernah diakui. Mungkin pelaku politik uang malah menuduh lawannya lebih gila lagi melakukan politik uang.

Dari mana asal dana taktis itu? Buku se- rial Wisnu Nugroho (Gramedia, 2010- 2011) memperlihatkan secara tak langsung kedekatan para pengusaha dengan pilpres. Bahkan, terlihat gambar koper uang yang dibawa ke mana-mana. Dalam konteks kini, ada penangkapan kepala daerah karena indikasi suap menjelang pilkada. Dengan cara berpikir sederhana, pemilu serentak bisa menguras uang pengusaha yang mengharap imbalan calon kepala daerah ketika dia terpilih. Kalau dulu, misalnya, Rp 9 miliar cukup untuk tiga calon kepala daerah, bagaimana kini membagi atau menguras semua dana untuk investasi di pilpres, pemilihan legislatif, dan sekitar 265 pilkada?

Merencanakan Hambatan

Apa saja hambatan pilkada serentak? Pertama, jadwal pilkada yang berbeda-beda. Sebetulnya kalau saja semua pihak memiliki niat baik, rumusannya bisa dise- pakati bersama. Usul utama berupa pelak- sanaan pilkada hanya dua kali dalam kurun lima tahun. Tepatnya, bersamaan dengan pilpres 2014, bersamaan dengan pilpres 2019, dan satu kali di tengahnya. Jadi, terdapat jarak 2,5 tahun untuk pilkada serentak. 

Kepala daerah yang sisa masa jabatannya kurang dari 1,25 tahun merapat ke pemilu serentak 2014. Yang lebih dari 1,25 tahun disatukan ke pilkada serentak 2016.
Apakah kepala daerah akan sangat diru- gikan? Jika Anda telah berbuat untuk rakyat dan dicintai, dimajukan kurang dari 1,25 tahun bukan masalah serius. Joko Widodo terbukti dipilih 91 persen rakyatnya pada pilkada kedua di Solo dan menang (gagasan) di Jakarta yang belum pernah dia urus.

Hambatan kedua berupa rencana penolakan dari partai politik dan DPR. Salah satu alasan yang agak bernada keilmuan adalah presiden terpilih akan lemah karena tak didukung di parlemen. Ini pun sering terbukti keliru, baik pada tatanan teoretik maupun empirik.

Dalam banyak teori, koalisi pemerintahan bisa dibangun setelah jelas siapa presiden pilihan rakyat. Lebih gamblang dari alasan teoretik, lihatlah betapa kepemimpinan presidensial mutakhir di Indonesia relatif amat lemah meski ada sekretariat gabungan dan sebagainya.

Di atas itu semua, dengan pemilu seren- tak, kita tidak buang energi ribut-ribut soal ambang presidensial. Partai politik yang lolos sebagai peserta pemilu, baik sendiri- sendiri maupun bersama-sama (sesuai dengan bunyi konstitusi) bisa mengusulkan calon presiden. Hanya dengan terobosan ini, kita bisa memiliki capres alternatif. Capres yang sudah merasa memiliki elektabilitas tinggi, kalau berani dengan ambang batas 20 persen, mengapa ciut nyali dengan kompetisi lebih terbuka?

Hambatan ketiga yang bisa diembuskan adalah kekhawatiran tidak siapnya KPU dan Mahkamah Konstitusi (jika terdapat sengketa). Namun, sebagian politisi, komisioner KPU, dan Ketua MK telah menyatakan siap. Mereka yakin rakyat juga siap. Dalam komunikasi politik modern, yang diperlukan sekarang tinggal media dan tokoh-tokoh nasional menyuarakan opinionated news untuk menggulirkan informasi ini guna mendapat dukungan sikap. Khususnya melalui televisi.

Semoga pemilik dan profesional di televisi insaf bahwa menyelamatkan bangsa dengan mencekik bayang-bayang korupsi politik 2014 tak dapat dilakukan oleh sinetron galau, mistik, dan komedi fisik.

Bertanya-tanya tentang Pemimpin


Bertanya-tanya tentang Pemimpin
David Krisna Alka ;  Peneliti Populis Institute;
Ma’arif Institute for Culture and Humanity
KOMPAS, 31 Oktober 2012



"Kita tak perlu tepuk dan sorak kalau kita tak sanggup berjuang,” kata Bung Hatta. Ya, kita tak ingin pemimpin yang tak sanggup berjuang, yang melulu berpijak pada teriak dan slogan, bukan pada kenyataan!

Barangkali hanya Indonesia, negara yang sudah puluhan tahun merdeka, tetapi masih bertanya-tanya pemimpin macam apa yang kita perlukan. Sebab, selama ini belum ada ”tangan-tangan” keadilan dari kepemimpinan yang mewujudkan kemakmuran rakyat di Tanah Air yang berlimpah kekayaan ini.

Indonesia dihadapkan pada kenyataan lemahnya basis-basis kepemimpinan dan tiadanya kepemimpinan yang berjuang setelah menang dalam perebutan kekuasaan. Lebih banyak pemimpin yang berjuang saat berebut kekuasaan. Lantas apa yang membuat kita gelisah dan bertanya-tanya mengenai seperti apa pemimpin di republik ini?

Basis Kepemimpinan

Hampir setiap hari ada saja berita tentang kebobrokan basis-basis kepemimpinan. Kerusakan mental bangsa lebih banyak diinisiasi oleh elite pemegang kewenangan/kekuasaan yang hulunya adalah partai politik, tempat bersemainya kepemimpinan politik.

Tim Litbang Kompas (24 Juli 2012) mencatat, tahun ini jumlah kepala daerah (bupati/wali kota/gubernur) yang tersangkut korupsi sebanyak 213 orang. Dari jumlah total 495 kepala daerah, berarti sekitar 43 persen kepala daerah bermasalah dengan kasus-kasus korupsi. Para kepala daerah itu jauh dari harapan tipikal pemimpin modern yang seharusnya bersih dari korupsi, berintegritas, populis, dan bekerja sepenuh hati untuk rakyat.

Itulah bukti corong-corong kepemimpinan di parpol lemah, bahkan mengalami kerusakan. Akibatnya, seperti keluhan Haji Agus Salim (1931), rakyat seolah diperbuat seperti kayu mati, yang dirundingkan bagaimana caranya harus dikerat, dipotong, dibelah, diketam, diketuk, dibentuk. Untuk keperluan siapa?

Memang, tipe masyarakat Indonesia masih sangat terpengaruh oleh para pemimpin. Kepemimpinan merupakan ”jiwa politik” yang melekat dalam dinamika politik di Tanah Air. Kepemimpinan politik yang tegas, kuat, dan merakyat menjadi harapan perbaikan negara.

Seorang pemimpin pasti diperlukan. Namun, Jakob Oetama (2003) mempertanyakan, pemimpin macam apa yang semakin mendesak dibutuhkan ketika orang menengok ke kiri dan ke kanan tak pula merasa menemukan sosok yang sepadan dengan tantangan zaman.

Kepemimpinan politik yang diperlukan adalah pemimpin bangsa yang berkepribadian, berkarakter, bervisi, berkomitmen, dan menjadi suri teladan bagi bawahan dan rakyatnya. Untuk menghadapi perubahan zaman seperti sekarang, kita perlu pemimpin politik yang mampu menyelenggarakan kekuasaan secara beradab, menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, yang tidak menyalahgunakan kekuasaan, wewenang, kesempatan, dan koneksi.

Di samping itu, rakyat jangan dikondisikan membeo kepada pemimpin yang tak beradab, yang dijadikan obyek tipu-daya dan pembodohan diam-diam demi kepentingan kekuasaan. Tentang hal ini, Mestika Zed (2003) mengutip pernyataan Bung Hatta. ”Negara yang rakyatnya hanya tahu menerima perintah dan tidak pernah turut memperhatikan atau mengatur pemerintahan negerinya, (berarti) tidak memiliki kemauan dan tidak melakukan kemauan itu dengan rasa tanggung jawab penuh.”

Jika demikian, rakyat tidak akan pernah insaf akan harga diri dan kedaulatannya sehingga ia mudah tunduk ke bawah kekuasaan apa dan siapa saja, rakyat akan tetap tertindas oleh orang yang berkuasa.

Artinya, tugas pemimpin pertama-tama ialah mendidik rakyat, bukan memperalat rakyat. Memimpin berarti menyelami perasaan dan pikiran rakyat serta memberikan inspirasi agar rakyat bisa keluar dari kesulitan yang membebaninya.

Namun, kini kita tak punya lagi waktu untuk berandai-andai dan berkhayal menginginkan kembali sosok dwitunggal: Soekarno-Hatta. Ahmad Syafii Maarif pernah mengatakan, baiknya peradaban suatu bangsa akan dihasilkan oleh pemimpin yang berperadaban tinggi. Sebaliknya, buruknya peradaban bangsa akan dihasilkan oleh pemimpin yang berperadaban buruk.

Suluh Moral

Sejatinya, karakter pemimpin lahir dari partai politik. Karena melalui partai politik akan didistribusikan kader-kader terbaik bangsa untuk menempati jabatan publik di lembaga-lembaga negara.

Kaderisasi pemimpin politik erat kaitannya dengan kesinambungan kepemimpinan bangsa. Dalam kaitan ini, membangkitkan dan melaksanakan nilai-nilai Pancasila sebagai suluh moral dalam pengaderan menjadi penting. Jangan sampai setiap pemimpin yang hadir selalu dituduh sebagai pengkhianat Pancasila.

Menetas pemimpin masa depan Indonesia perlu ”mengerami” calon-calon pemimpin dengan baik. Dengan begitu diharapkan muncul pemimpin yang mau, mampu, dan berani berjuang mengubah karut-marut kepemimpinan dari desa sampai istana. Begitulah kira-kira....