Selasa, 23 Oktober 2012

Seandainya Saya SBY


Seandainya Saya SBY
F Kus Sapto W ;  Praktisi Pemasaran, Dosen Tamu
pada Program Magister Manajemen Fakultas Ekonomi UNS Surakarta
SUARA MERDEKA, 23 Oktober 2012



SEANDAINYA saya SBY, desakan untuk segera turun tangan mengurai benang kusut dugaan intervensi terhadap laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agaknya akan menguat kembali. Dua orang dekat saya diduga terlibat dalam suap pada Pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang Sentul Kabupaten Bogor Jabar.

Menpora Saudara Andi Alifian Mallarangeng dan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Saudara Anas Urbaningrum disebut-sebut dalam laporan audit sebagai penerima fee proyek koruptif itu (Koran Tempo, 21/10/12). Kali ini saya tidak terburu-buru berpidato seperti ketika sejumlah polisi mengepung gedung KPK minggu pertama Oktober (05/10).

Terlebih instruksi saya dalam pidato itu pun terlihat belum cukup efektif mendorong Polri menyerahkan penanganan kasus suap simulator mengemudi (simulator SIM) kepada KPK. Saya hanya berharap Polri dan KPK bisa segera keluar dari kerumitan serah terima kasus, baik yang mendasarkan pada KUHAP maupun Pasal 50 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Saya juga tahu bahwa penghilangan beberapa nama dalam laporan audit BPK dan perselisihan Polri-KPK sarat oleh kepentingan. Bisa dipastikan konflik lain masih ada sebab saya berharap lebih banyak lagi. Semata-mata bukan demi konflik itu melainkan untuk pembelajaran mencari solusi. Makin sering terjadi konflik dan makin sering rekonsiliasi maka bangsa ini makin cerdas mengelola konflik.

Jadi, kejadian demi kejadian itu termasuk bagian road map yang sedang saya bangun. Selain terhadap permasalahan KPK-Polri, saya pun mengeluarkan banyak imbauan. Misalnya kepada kader Partai Demokrat yang merasa korupsi untuk mengundurkan diri. Sayang, imbauan saya pada medio Juni lalu tidak direspons positif.

Dalam rapat kabinet 19 Juli lalu, lagi-lagi saya mengeluarkan imbauan. Kali itu tertuju kepada menteri untuk mundur jika lebih sibuk nyambi sebagai pengurus parpol (tentu dengan sepengetahuan saya bahwa hampir semua menteri adalah elite parpol).

Namun seperti sudah diduga, imbauan itu pun ditanggapi negatif. Sebagian elite justru memelintir sebagai sindiran balik dalam kapasitas saya sebagai ketua dewan pembina partai. Banyak pihak menengarai komunikasi politik berpola imbauan tersebut tidak efektif.

Padahal perilaku kepemimpinan efektif, menurut Gary A Yukl dalam Leadership in Organizations (2010) paling tidak tercirikan dalam tiga hal. Pertama; tindakan nyata terhadap penyelesaian tugas-tugas untuk mencapai tujuan (objectives). Kedua; concern tinggi terhadap relationships. Ketiga; perhatian tinggi terhadap perubahan dan inovasi.

Pada ciri perilaku pertama, tujuan; kepemimpinan saya adalah pemberdayaan pejabat terkait untuk lebih aktif dan betul-betul in charge. Hal itu bermuara pada secara sistemik bisa terbangun kemandirian struktural yang dinamis, koordinatif, dan solutif terhadap semua konflik.

Dari konflik yang mengemuka, terlihat nyata bahwa para subordinat saya sudah terlihat bekerja. Setidak-tidaknya, terlihat dari kegaduhan mereka, dan hal itu indikasi positif. Pada ciri perilaku yang kedua, relasional, saya dinilai tersandera dalam sebuah koalisi yang penuh tawar-menawar kepentingan. Situasi itu dirasa mendistorsi keefektifan kepemimpinan. Tapi suatu saat hal itu akan menjadi pembuktian terbalik.

Pada ciri perilaku yang ketiga tentang perhatian tinggi terhadap perubahan dan inovasi, agaknya publik masih belum sepaham. Saat ini saya sedang dalam posisi memberikan contoh kepemimpinan yang santun dan tidak dominan.

Tidak Tegas

Dasar-dasar kepemimpinan santun yang coba saya bangun merupakan inovasi dan terobosan. Proses ini memang berdampak pada karakter yang seolah-olah tidak tegas dan terkesan lepas tangan.

Saat ini proses pemberdayaan fungsi-fungsi eksekutif pada menteri-menteri dan pejabat terkait sedang berlangsung.

Kelak ketika proses ini selesai, publik baru menyadari bahwa model kepemimpinan saya inilah yang justru inovatif dan diterima pada era peradaban maju. Secara organisasional kabinet saya bisa jadi masih rigid terhadap wacana ini.

Seturut Robbins dalam Organizational Behaviour (2005) saya memang sedang memilih dan menjalankan di antara enam taktik. Keenam taktik itu adalah pendidikan dan komunikasi, partisipasi, fasilitas dan dukungan, negosiasi, manipulasi dan kooptasi, serta koersi atau ketegasan dengan paksaan.

Di antara keenamnya, saya menghindari manipulasi, kooptasi, dan koersi karena belajar dari mentor saya pada era Orba, tiga taktik yang saya hindari itu memang terbukti efektif. Bahkan dengan koersi yang mematikan dalam arti sebenarnya, sangat ampuh menumbuhkan kepatuhan tanpa syarat.

Namun sekaligus terbukti hal itu menyisakan sampah permasalahan peradaban yang mahal dari generasi ke generasi. Demi tujuan luhur mulia itu, saya rela dianggap tidak tegas, lepas tangan, penari poco-poco, bahkan sebutan sebagai bukan the real president.  

Kelak ketika sistem ini sudah berjalan akan terbukti bahwa model kepemimpinan saya justru paling efisien sebab bisa sangat efektif, bahkan ketika saya belum mengimbau. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar