Selasa, 23 Oktober 2012

Sekarang Selamatkan Polri


Sekarang Selamatkan Polri
Reza Indragiri Amriel ;  Dosen Psikologi Forensik
KORAN TEMPO, 23 Oktober 2012



Animo masyarakat yang ingin menjadi personel Polri tetap tinggi dari tahun ke tahun. Ini merupakan fakta yang semestinya menggembirakan. Pasalnya, sesuai dengan adagium bahwa polisi adalah agen perubahan sosial, terus membanjirnya peminat untuk bergabung ke dalam korps Tribrata itu menandakan Indonesia tidak akan mengalami kekurangan reformis potensial, betapapun kondisi republik ini kerap dinilai terus memburuk dan Polri sering "ketiban pulung" dalam situasi tersebut.
Tapi sejenak harapan berkecambah, digantikan pesimisme. Siklus Mollen tentang proses dekadensi moral personel polisi, dari polisi idealis menjadi polisi korup, memunculkan kekhawatiran bahwa benih-benih pembaru tersebut justru terkontaminasi dengan mudahnya, akibat tidak berjalan wajarnya sistem pengembangan karier dan toxic-nya kultur internal lembaga kepolisian.
Dalam berbagai diskusi, saya memang memiliki pandangan berbeda tentang unit-unit kerja yang patut diandalkan sebagai jangkar pembenahan institusi Polri. Menurut saya, dua unit paling vital itu semestinya adalah unit sumber daya manusia serta unit lembaga pendidikan dan pelatihan.
Dengan menjadikan unit sumber daya manusia (SDM) serta lembaga pendidikan dan pelatihan (lemdiklat) sebagai unit penggerak utama, saya mengusulkan beberapa program strategis yang bersifat konkret.
Pertama, di masa mendatang perlu ditetapkan bahwa hanya lapis-lapis kepangkatan ataupun unit-unit tertentu saja yang diisi oleh personel Polri dengan status permanen. Personel yang tugas kesehariannya paling dekat dengan masyarakat diangkat sebagai karyawan berbasis kontrak. Tujuannya untuk meningkatkan kepastian bahwa masyarakat dilayani hanya oleh petugas-petugas yang relatif selalu dalam keadaan segar.
Penting dipahami, betapapun media memiliki andil dalam mempengaruhi persepsi publik terhadap aparat kepolisian, penilaian akhir dan kepuasan masyarakat sebagai respons susulannya lebih ditentukan oleh pengalaman mereka berkontak langsung dengan personel polisi. Jadi, kendati sistem kontrak bisa jadi lebih mahal (semestinya lebih murah) daripada mempermanenkan personel, hal itu tetap lebih rendah "biaya"-nya daripada mempertaruhkan kualitas pelayanan yang risikonya adalah hilangnya kepercayaan masyarakat.
Kedua, agar Polri bisa lebih fokus pada bisnis intinya selaku pelayan, pelindung, pengayom masyarakat, dan penegak hukum, area kerja yang tidak berhubungan langsung dengan kerja-kerja tersebut sebaiknya dilimpahkan ke pihak eksternal. Salah satu area kerja periferal tersebut adalah pengembangan SDM. Penunjukan lembaga konsultansi SDM diharapkan akan menghasilkan penghematan anggaran, sehingga dapat dialihkan ke sektor-sektor kerja inti Polri. Pelimpahan urusan pengembangan SDM ke pihak eksternal juga menjanjikan penilaian kinerja (berimplikasi pada perjalanan karier: promosi maupun demosi) yang lebih obyektif.
Program kedua di atas akan membangun mindset para personel tentang pentingnya penguatan kompetensi diri. Jadi, secara tidak langsung, pergeseran unit SDM ke posisi strategis akan menarik unit lemdiklat ke posisi strategis pula. Lemdiklat niscaya nantinya diisi oleh personel-personel senior terbaik yang bangga diberi kesempatan untuk "mencuci otak" para junior mereka menjadi insan-insan kepolisian yang beretos terus-menerus memperkuat kemampuan pelayanan mereka.
Ketiga, saya berkeyakinan bahwa problem terbesar yang dihadapi setiap organisasi kepolisian terletak pada penanganan kasus korupsi. Lebih sulit lagi adalah korupsi internal institusi kepolisian itu sendiri. Siklus Mollen, seperti disebutkan pada alinea terdahulu, membuat korupsi menjadi penyimpangan, bahkan pelanggaran, hukum sistemik. Ini jelas merupakan agenda besar bagi lembaga kepolisian, khususnya--berdasarkan asumsi saya--bagi unit SDM. Sembari menunggu SDM melakukan pembenahan besar-besaran, paling tidak untuk sementara waktu Polri dibebaskan dari kewenangan penanganan kasus korupsi. Termasuk korupsi internal.
Kian relevan bagi Polri; peniadaan kewenangan tersebut akan menghilangkan "faktor perusak" prestasi kerja Polri. Toh selama ini terlihat, kerja keras Polri dalam pemberantasan narkoba dan raihan dahsyat Polri dalam perang melawan teror selalu saja ternihilkan akibat penilaian tentang ketidakmampuan Polri menindak kasus-kasus korupsi, terlebih (dugaan) korupsi internal. Alhasil, meskipun usul ketiga ini mengurangi kewenangan Polri, peluang bagi Polri untuk memperoleh simpati publik justru meninggi karena Polri bisa lebih gencar lagi mengukir prestasi-prestasi penegakan hukumnya tanpa harus terecoki oleh permasalahan korupsi tadi.
Selanjutnya, keempat, sebagai organisasi yang menjadikan power dan hierarki sebagai jantungnya, dekadensi agen-agen perubahan Polri dari yang semula idealis menjadi ikut-ikutan korup--saya pandang--disebabkan oleh ketidakmampuan mereka menahan "pengkondisian" para personel senior. Agen-agen tersebut akan lebih resistan terhadap pengaruh toxic, apabila mereka yakin bahwa kekukuhan mereka dalam menolak jiwa korps menyimpang selalu dilindungi oleh orang nomor satu di institusi tempat mereka bekerja. Figur puncak tersebut adalah individu yang tidak pernah terkontaminasi dalam proses regenerasi perilaku korup lembaga kepolisian itu sendiri.
Persoalannya, saya skeptis sosok macam itu bisa ditemukan (dengan mudah) dari lingkungan dalam organisasi. Bertitik tolak dari situ, patut dipertimbangkan untuk memberi kesempatan kepada pihak eksternal untuk menjadi kepala Polri. Sukma yang terkandung dalam empat usulan di atas adalah satu: bukan menghina-dinakan Polri, melainkan mendukung Polri menjadi institusi modern dengan kepercayaan masyarakat sebagai amunisi utamanya. Berpekan kita kumandangkan "selamatkan KPK", sekarang saatnya kita bersungguh-sungguh ambil langkah "selamatkan Polri", karena itu salah satu syarat "selamatkan Indonesia".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar