Kurban dan
Misi Memerangi Korupsi
Sarjuni ; Wakil
Dekan I Fakultas Agama Islam Unissula,
Anggota Dewan
Pakar ICMI Jateng
|
SUARA
MERDEKA, 23 Oktober 2012
"Inti ibadah kurban adalah semangat
pembebasan dari sifat yang melekat sebagai potensi antisosial"
IBADAH kurban yang secara rutin
dilaksanakan oleh umat Islam pada Hari Raya Idul Adha atau Idul Kurban
sejatinya memiliki nilai yang sangat penting, tidak hanya dalam konteks
kehidupan pribadi tapi juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun karena bersifat rutin, perayaan Idul
Kurban seringkali menjadi kehilangan makna, dan jauh dari pesan moral yang
terkandung di dalamnya. Implikasi lain adalah ibadah sunah itu menjadi
rutinitas ritual tanpa makna, bahkan tanpa dampak positif bagi pelaku ibadah
kurban dan masyarakat sekitar.
Jika umat Islam dapat mengasumsikan bahwa
semangat Idul Kurban itu bersifat dinamis maka sesungguhnya ia tidak berhenti
pada semangat untuk menumbuhkan kesalehan ritual secara individual tetapi
harus bermuara pada keterwujudan sebuah kesalehan sosial. Karena memang,
meminjam istilah Hashem (1995), agama bukan semata-mata berkedudukan sebagai
cultus privatus melainkan juga cultus publicus.
Berkurban berasal dari syariat Nabi Ibrahim
as yang berpuncak dari kerelaannya hendak menyembelih Ismail, sang anak,
semata-mata untuk memenuhi perintah Allah swt. Tuhan hendak menguji apakah
cinta dan kasih sayang Ibrahim terhadap anaknya itu melebihi cinta dan
imannya kepada Allah yang disembahnya. Perintah menyembelih sang anak
diterimanya sejak tiga malam berturut-turut, yaitu tanggal 8,
9, dan 10
Zulhijjah.
Nabi Ibrahim, pejuang seumur hidup dan
tokoh sejarah yang gagah berani, serta tidak terkalahkan ini, mendengar
perintah yang berturut-turut itu pada awalnya gemetar, goyah, seakan-akan
dunia hendak roboh, dan seolah-olah dirinya sedang mengalami kehancuran.
Batinnya teramat goncang menerima wahyu tersebut.
Kecintaannya kepada Ismail merupakan ujian
bagi Ibrahim, kecintaan itulah satu-satunya kelemahan Ibrahim dalam perjuangannya
melawan Iblis. Namun ia dengan keteguhan hati tetap melaksanakan perintah
Allah tersebut. Lalu, Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba.
Misi
Pembebasan
Ismail yang hendak dikurbankan oleh Ibrahim
di Mina beberapa abad lalu, sebenarnya sebuah simbolisasi. Adapun simbol
adalah setiap sesuatu yang dicintai manusia, dan kecintaannya kepada sesuatu
itu dapat membelenggu manusia untuk bertakwa kepada Allah swt.
Jadi, jika ’’ismail’’-nya Ibrahim adalah
anak sendiri, ’’ismail-ismail’’ manusia saat ini bisa berwujud jabatan,
kedudukan, harta, harga diri, atau profesi, termasuk di dalamnya mental korup
dan serakah yang menguasai manusia?
Apa yang dikiaskan sebagai ’’ismail’’
sebenarnya adalah tiap sesuatu yang membuat manusia hanya memikirkan
kepentingan diri sendiri, dan tiap sesuatu yang dapat membutakan mata dan
menulikan telinga mereka dari hidayah Allah swt.
Apa dan siapa pun ’’ismail-ismail”
itu maka harus dikurbankan di bumi yang fana ini, sebagai bukti
keimanan dan kecintaan kita kepada Tuhan? Inilah sejatinya makna terpenting
Idul Kurban, yakni tumbuhnya sikap kesediaan berkurban dalam konteks sosial
yang lebih luas. Yakni kapan dan di mana pun kita berada rela memberikan
pengorbanan tulus demi kemaslahatan masyarakat.
Presiden Soekarno pernah mengutip pendapat
Sir Oliver Lodge yang menyatakan, ’’There
is no life without sacrifice and no sacrifice is wasted’’, yang secara
bebas bisa diartikan bahwa tidak ada hidup tanpa pengorbanan dan tidak ada
korban (dalam konteks ajaran Islam: menyembelih hewan kurban) yang hilang
terbuang. Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa berkorban merupakan
inti dari kehidupan.
Jadi, inti ibadah kurban adalah semangat
pembebasan manusia dari sifat-sifat yang melekat sebagai potensi antisosial.
Sifat antisosial yang paling berbahaya dan dapat menghancurkan sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara adalah nafsu serakah, yang melahirkan
perilaku korup.
Dengan demikian semangat Idul Kurban
sejatinya sangat relevan dengan upaya bangsa kita memerangi tindak pidana
korupsi yang kini makin menggurita dan melanda semua sendi kehidupan. Pada
saat upaya-upaya pemberantasan korupsi yang dimotori oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat ujian dan hambatan yang sangat berat
maka semangat Idul Kurban bisa menjadi spirit untuk makin memperkuat upaya
pemberantasan korupsi.
Karena jika para pelaku kurban dan umat
Islam yang merayakan Hari Haya Idul Kurban benar-benar menghayati makna
ibadah kurban pasti mereka akan terhindar dari perbuatan korup, bahkan
sebaliknya lebih tebal memiliki semangat untuk secara bersama-sama melawan
korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar