Kuda Mati
Bernama Ujian Nasional
Kreshna Aditya ; Inisiator Bincang Edukasi
|
MEDIA
INDONESIA, 15 Oktober 2012
SUKU Indian Dakota mengenal sebuah peribahasa
yang ber bunyi `apabila engkau sadar sedang menunggangi kuda yang sudah mati,
turunlah'. Kita tentu berpikir, peribahasa apa itu, bukankah hal tersebut
sudah jelas? Siapa yang mau tetap menunggangi kuda mati? Pada kenyataannya
lazim kita temui dalam dunia pemerintahan, bisnis, dan pendidikan, banyak
orang yang seharusnya sudah sadar bahwa sedang menunggangi kuda mati. Namun,
bukannya turun, ia malah melakukan hal-hal yang absurd.
Dalam dunia pendidikan, logika kuda mati
terlihat pada kengototan pemerintah menjalankan sistem ujian nasional yang
terus menuai kontroversi.
Ada dua masalah mendasar dalam sistem ujian nasional yang diterapkan saat
ini.
Masalah pertama ialah penempatannya sebagai
highstake standardized test--ujian standar yang bersifat hidupmati bagi
siswa, guru, sekolah, bahkan pejabat diknas daerah. Sifat ujian seperti itu
menyebabkan pendidikan di sekolah tereduksi menjadi sekadar persiapan untuk
lulus ujian nasional. Sekolah menjadi tak ubahnya bimbingan tes.
Masalah mendasar kedua ialah kualitas soal
ujian nasional yang menekankan pada kemampuan kognitif rendah. Ujian nasional
dipenuhi dengan soal-soal dengan hafalan dan hitungan rumit, tapi dengan
tingkat penalaran rendah. Tak mengherankan saat pemerintah membanggakan nilai
ujian nasional yang naik dari tahun ke tahun, nilai siswa-siswi kita justru
terpuruk di tes pemetaan berskala internasional yang lebih mengutamakan
penalaran.
Semisal di tes PISA terakhir untuk matematika, 50% siswa kita hanya mencapai
level 1 (terendah), 25% berikutnya mencapai level 2, lalu tidak ada satu pun
yang mencapai level 5 dan 6 (tertinggi).
Tak kurang para praktisi pendidikan, pakar
SDM, anggota DPR, dan Wantimpres telah menyuarakan penolakan pada ujian
nasional. Bahkan Mahkamah Agung pun telah mengeluarkan putusan menghentikan
ujian nasional sampai pemerintah memastikan keadilan distribusi layanan
pendidikan. Sayangnya, ketika banyak pihak telah menyeru pemerintah bahwa
ujian nasional adalah kuda yang sudah mati, pemerintah tak memilih turun
darinya, tetapi malah melakukan hal-hal yang absurd.
Misal, para petinggi Kemendikbud berulang kali
menyatakan bahwa, “Anak-anak tidak akan belajar bila tidak dipaksa. Ujian
nasional adalah alat rekayasa sosial memaksa anak belajar. Proses belajar
mengajar di sekolah tak akan berjalan bila tak ada ujian nasional.“ Dalam
analogi kuda mati, pemerintah malah membeli pecut yang lebih besar untuk
mengancam si kuda mati dan penunggangnya. Bukannya menyadari bahwa pendidikan
kita telah gagal membuat siswa senang belajar, pemerintah malah menjadikan
belajar sebagai keterpaksaan bagi anak-anak kita.
Mendikbud pernah menyatakan bahwa konsep ujian
nasional ialah yang terbaik secara akademik. Entah bagaimana caranya membela
sebuah uji standar untuk kognitif rendah sebagai yang terbaik secara
akademik. Itu seperti menurunkan standar kategori kuda pacuan sedemikian
rendah sehingga kuda mati bisa termasuk ke dalamnya.
Sering juga dikatakan bahwa ujian nasional
sudah baik, hanya pelaksanaannya yang masih penuh kecurangan yang perlu diperbaiki.
Tidak demikian. Ujian nasional bermasalah secara mendasar. Kecurangan adalah
konsekuensi dari penempatan ujian nasional sebagai ujian berisiko tinggi bagi
semua yang terlibat didalamnya. Mengganti kulit kuda mati yang sudah bopeng
bopeng dengan kulit baru yang mulus tak akan membuatnya menjadi kuda pacu
yang dapat berlari.
Baru-baru ini pemerintah juga menyatakan akan
mengintegrasikan ujian nasional sebagai tes masuk perguruan tinggi. Salah
satu alasan yang dikemukakan ialah demi efisiensi. Namun, efisiensi tak
seharusnya mengorbankan efektivitas. Penolakan telah disuarakan sebelumnya
oleh kalangan perguruan tinggi yang meragukan kredibilitas ujian nasional.
Pada dasarnya ujian untuk kelulusan proses
belajar, ujian untuk pemetaan distribusi kualitas pendidikan, dan ujian untuk
masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi adalah tiga macam ujian yang
memiliki format dan sifat berbeda. Menggabungkan ketiga ujian menjadi satu
akan menghasilkan termometer rusak yang tidak menggambarkan apa-apa. Hal itu
layaknya mengumpulkan beberapa kuda mati dan berharap lari mereka akan lebih
kencang, lalu menyatakan bahwa kuda mati itu juga lebih hemat biaya daripada
kuda hidup karena tak perlu diberi makan.
Alasan lainnya ialah untuk mengurangi tingkat
stres siswa karena tak perlu ujian dua kali. Benarkah? Belum tentu, karena
dengan demikia ujian nasional akan memiliki risiko semakin tinggi bagi siswa.
Analoginya, bila dulu siswa harus balap mobil dua kali di jalan raya, nanti
siswa cukup balap mobil sekali saja, tapi di pinggir jurang!
Terakhir, pemerintah saat ini sedang sibuk
mempersiapkan perubahan kurikulum nasional yang akan diterapkan mulai 2013.
Kabarnya, kurikulum baru nanti akan memberi penekanan lebih pada pendidikan
karakter dan juga mem buat proses belajar lebih menyenangkan. Itu merupakan
niat per niat perubahan yang baik.
Namun, perubahan kurikulum sebaik apa pun
akan percuma apabila di ujungnya tetap diletak kan proses evaluasi yang hanya
menguji kognitif rendah dan diposisikan bersifat high-stake bagi pelaku
pendidikan (siswa, guru, sekolah). Proses perseko lahan tetap akan bersifat
teaching-tothe-test. Tanpa reposisi ujian nasional, kurikulum sebaik apa
pun pada tataran kebij jakan hanya akan berubah menjadi kurikulum berbasis
ujian nasional pada penerapan di lapangan.
Yang perlu diingat pemerintah, ketika banyak
pihak menyuarakan penolakan terhadap kuda mati, bukan berarti mereka menolak
naik kuda hidup. Mengkritik ujian nasional bukan berarti antiterhadap segala
macam bentuk ujian. Justru peran evaluasi dalam pendidikan sangatlah penting
untuk mengarahkan dan memperkaya proses pembelajaran, apabila dirancang dan
dijalankan dengan benar. Oleh karena itu, diperlukan penataan ulang terhadap
sistem dan model evaluasi dalam pendidikan kita.
Tempatkan kembali ujian nasional sesuai dengan
fungsinya, yaitu pemetaan distribusi kualitas pendidikan yang tak perlu
dikaitkan dengan kelulusan siswa ataupun reward and punishment untuk guru,
sekolah, dan daerah. Lepaskan sifat high-stake dari ujian nasional karena tak
membawa efek positif bagi pembelajaran, tapi malah mengerdilkannya. Jangan
letakkan ujian nasional di ujung persekolahan agar ada kesempatan perbaikan
kualitas seusai pemetaan dilakukan.
Kembalikan wewenang menentukan kelulusan siswa
kepada para pendidik di sekolah sesuai amanat UU Sisdiknas dan roh Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan. Tingkatkan kemampuan guru di sekolah untuk
menjalankan evaluasi pembelajaran bersifat autentik yang mendorong proses
pengembangan diri berkelanjutan, bukan karbitan.
Bukankah semua itu sulit di lakukan? Tentu
saja. Menunggangi kuda hidup yang sehat dan kuat memang lebih sulit daripada
menunggangi kuda mati. Namun, bukankah menunggangi kuda mati tak akan membawa
kita ke manamana?
Menurut teori gaya pengasuhan (parenting
style) yang sangat relevan dengan dunia pendidikan, sifat otoriter pemerintah
dalam memaksakan prakonsepsi tentang ujian nasional jelas menunjukkan
rendahnya kontrol dan minimnya kehangatan (warmth). Pemerintah laksana
orangtua yang lepas kendali atas emosi dan hanya menimbang kebutuhan ijazah
untuk anak-anaknya agar cepat bisa bekerja.
Kuda mati tak akan mampu membawa siapa pun,
bahkan untuk satu langkah ke depan. Membiarkan anak, guru, dan sekolah tetap
dalam pelana kuda mati sama artinya dengan menghilangkan harapan dan mimpi
siapa saja untuk berkelana sesuai dengan citacita yang mereka idamkan. Jelas
sekali kita membutuhkan kuda hidup yang baru. Laksana para koboi, membiarkan
siswa, guru, dan sekolah mencoba menaklukkan kuda baru tersebut agar bisa
ditunggangi sesuai harapan dan arah yang mereka inginkan.
Bagaimanapun juga, usaha mendorong pemerintah untuk mengevaluasi
dan mereposisi ujian nasional tampaknya kini akan membutuhkan perjuangan yang
lebih besar. Beberapa waktu lalu Mendikbud mengeluarkan pernyataan, “Ujian
nasional sudah sah keabsahannya, jangan diganggu, tinggal kita laksanakan
dengan sebaik-baiknya.“ Maka, pertanyaan ini pun kembali terngiang, quo vadis pendidikan Indonesia? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar