Senin, 15 Oktober 2012

Berlomba Menghapus Hukuman Mati


Berlomba Menghapus Hukuman Mati
Mudzakkir ;  Doktor Bidang Hukum UI dan Pakar Hukum Pidana
Universitas Islam Indonesia
MEDIA INDONESIA, 15 Oktober 2012



PRESIDEN dan hakim agung memiliki sikap yang sama. Keduanya seolah-olah berlomba menghapus pidana mati bagi pelaku narkoba dengan pidana penjara dan tidak tanggap terhadap kebijakan legislasi yang secara jelas menempatkan narkoba sebagai kejahatan yang membahayakan bangsa dan negara. Itu sebabnya kemudian dibentuk lembaga khusus bernama Badan Narkotika Nasional (BNN).

Presiden dan hakim agung sama-sama memiliki wewenang, dan penggunaan wewenang tersebut bergantung pada interpretasi masing-masing sesuai dengan sifat keduanya yang independen. Grasi yang diberikan presiden tidak bisa diuji dan tidak bisa dinyatakan salah atau benar. Putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) pun tidak bisa diuji, karena final dan mengikat dan tidak bisa dinyatakan benar dan salah. Lantas bagaimana jika secara faktual bisa dibuktikan bahwa pemberian grasi atau PK MA tersebut tidak benar dan salah?

Sekali lagi, hukum tidak mengaturnya, dan itu bergantung pada komitmen moral pengguna wewenang tersebut. Putusan PK MA yang mengabulkan PK terpidana mati dan telah mengubahnya menjadi pidana penjara selama 15 tahun mengejutkan banyak pihak. Alasan perubahan tersebut karena pidana mati yang dijatuhkan MA sebelumnya bertentangan dengan UUD 1945 dan melanggar hak asasi manusia. 

Terdapat dua pendapat di antara para hakim agung di MA, yaitu para hakim agung yang setuju dan yang tidak setuju dengan pidana mati. Beda pendapat sesungguhnya tidak dilarang jika diakhiri sebatas pada menggunakan wewenangnya untuk menjatuhkan pidana mati atau tidak. Perbedaan pendapat tersebut dimuat dalam pertimbangan hukum putusan PK MA, dan putusan MA dapat menjadi sumber hukum yurisprudensi.

Pertanyaannya, apakah putusan PK MA tersebut sebagai pandangan akhir MA secara kelembagaan (maksudnya dibenarkan oleh MA secara kelembagaan) ataukah pandangan pribadi hakim agung?

Pertimbangan hukum MA tersebut jelas bertentangan dengan putusan MK Nomor 2 dan 3/PUU-V/2007 yang menyatakan ancaman pidana mati dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hakim MA seharusnya mengetahui bahwa MA tidak memiliki wewenang hukum untuk menguji suatu norma hukum yang undang-undangnya bertentangan dengan UUD 1945, karena uji materiil tersebut menjadi wewenang MK. Sungguh ironis, di tengah maraknya tuntutan penegakan supremasi hukum, ternyata hakim MA secara sengaja menggunakan wewenangnya melampaui batas. Padahal MA diberi amanat oleh UU MA dalam Pasal 30, yaitu membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena a) tidak berwenang atau melampaui batas wewenang, b) salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.

Kekuatan Hukum

Bagaimanakah permasalahan hukum yang ditimbulkan putusan PK? Bagaimana juga kekuatan hukum putusan PK MA yang materi putusannya melampaui wewenang yang dimiliki MA tersebut? Putusan yang melampaui batas wewenang secara absolut tersebut secara hukum tidak dapat dibenarkan. MA harus bersikap tegas bahwa hakim MA tidak boleh memutus perkara yang melampaui wewenang secara absolut, mengingat putusan MA akan menjadi sumber hukum.

MA juga harus bersikap tegas terhadap hakim MA yang memberi putusan melampaui wewenangnya secara relatif, kecuali ada alasan yang dibenarkan secara ilmiah ilmu hukum.

Hal yang perlu menjadi perhatian ialah upaya hukum yang luar biasa PK yang dibatasi hanya satu kali, sehingga terhadap putusan PK sebagai putusan final dan mengikat, tidak ada upaya hukum lagi. Bagaimana jika putusan PK MA tersebut ditemukan mengandung pertimbangan yang cacat yuridis, atau setelah putusan PK diterbitkan ditemukan adanya bukti baru (novum) yang apabila dipertimbangkan dalam putusan secara benar diktumnya akan menjadi berbeda?

Jika mengacu kepada interpretasi hukum yang diikuti sekarang, praktis tidak mungkin ada lagi upaya hukum PK terhadap putusan PK MA dengan dalih demi kepastian hukum. Ada tiga alasan PK menurut Pasal 263 ayat (2) KUHAP. Namun jika dilihat dari substansinya, terdapat dua alasan utama, yaitu apabila terdapat keadaan baru (novum) dan terdapat pernyataan dalam pertimbangan yang saling bertentangan atau kekhilafan hakim.

Karena ada dua alasan utama permohonan PK, pengertian PK hanya satu kali (Pasal 269 KUHAP) terhadap semua alasan permohonan PK atau ditujukan terhadap setiap alasan PK sehingga menjadi tiga kali. Mahkamah Konstitusi telah menguatkan PK diajukan hanya sekali, dengan pertimbangan demi kepastian hukum. Tidak ada penjelasan pengertian hanya satu kali terhadap tiga alasan PK.

Bagaimana jika setelah putusan PK MA diterbitkan, ditemukan novum dan pernyataan dalam pertimbangan yang saling bertentangan atau kekhilafan hakim? Atau, bagaimana jika dalam proses pemeriksaan putusan PK ditemukan bukti bahwa putusan PK MA tersebut dibuat karena pengaruh tindak pidana yang dilakukan pihak yang berkepentingan dengan putusan PK MA tersebut? PK satu kali tidak memberi jalan keluar terhadap putusan PK MA tersebut.

Apabila dilihat dari substansi materi PK, seharusnya PK dapat diajukan lebih dari satu kali. Batasannya sampai putusan PK MA tersebut tidak memiliki lagi hal-hal yang dapat dijadikan alasan untuk mengajukan permohonan PK.

Artinya, jika putusan PK MA masih memiliki alasan menurut hukum sebagaimana terdapat di dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP, permohonan PK dapat diajukan demi tegaknya hukum (kepastian hukum) dan keadilan. Hal itu sesuai dengan amanat Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, `Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan'.

Kepastian Hukum

Persoalan interpretasi terhadap hukum (kepastian hukum) dan keadilan dana praktik penegakan hukum mengingatkan pada pandangan Prof Nico Keyser (Belanda) mengenai batas waktu permohonan kasasi 7 hari. Pendapat hukum yang disampaikan kepada MA Belanda, yang intinya bahwa batas waktu mengajukan permohonan banding tertulis selama 7 hari setelah putusan pengadilan, diinterpretasikan sebagai kesempatan untuk membaca dan mempelajari putusan pengadilan, bukan sebagai masa tunggu selama 7 hari.

Ketika seseorang baru datang dari luar negeri, lalu mendapati putusan pengadilan tinggi sudah berada di rumahnya, tetapi ketika hendak mengajukan kasasi telah lewat 7 hari setelah putusan pengadilan, berarti batas waktu pengajuan permohonan kasasi dihitung 7 hari sejak datang dari luar negeri. Dengan demikian, yang bersangkutan masih berhak melakukan upaya hukum mengajukan permohonan kasasi.

Pemberian grasi dan pertimbangan putusan PK MA, yang sama-sama menghapus pidana mati telah dijatuhkan menjadi pidana penjara, jelas berdampak secara luas. Meskipun atas pertimbangan sosial, kemanusiaan, atau hak asasi manusia, putusan tersebut kurang peka dan kurang tanggap terhadap sisi sosial, kemanusiaan, dan hak asasi manusia para korban penyalahgunaan narkoba dan keluarganya, semangat dan kegigihan lembaga legislatif, pegiat antinarkoba, dan aparat penegak hukum.

Dampak negatifnya, keputusan itu seolah-olah sebagai pesan kepada khalayak bahwa kebijakan pemberantasan narkoba Indonesia sudah melunak. Di sisi lain, keputusan itu juga bisa dianggap bahwa narkoba tidak lagi sebagai kejahatan yang serius dan membahayakan kehidupan bangsa dan negara, khususnya generasi muda. Oleh karenanya, menjadi tidak pantas lagi sang pelaku dijatuhi pidana mati.

Sekali lagi, kebijakan tersebut bisa menjadi faktor kriminogen kejahatan narkoba. Dalam menjatuhkan pidana dan kebijakan memberi grasi kepada para pelaku kejahatan narkoba, perlu dipikirkan untuk mempertimbangkan kepentingan keadilan masyarakat. Patut pula mempertimbangkan khususnya mereka yang menjadi korban dan juga keluarga mereka agar kebijakan tersebut berlaku adil bukan hanya bagi pelaku kejahatan, tetapi juga bagi korban kejahatan narkoba.

Keluarga korban kejahatan narkoba juga manusia yang perlu dihormati dan mendapat perhatian dalam hal rasa sosial, kemanusiaan, atau hak asasi manusia. Penghormatan dan penghargaan terhadap masyarakat yang menjadi korban kejahatan narkoba dan keluarganya dapat menjadi faktor pencegah terjadinya kejahatan narkoba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar