Setelah Ahok dan "Teman Ahok" Menyilakan Parpol
Wisnu Nugroho ;
Pemimpin Redaksi Kompas.com
|
KOMPAS, 20 Juni 2016
Seperti sudah diduga
sebelumnya, ada kompromi antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama
alias Ahok yang ingin kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta melalui Pilkada
2017 dengan "Teman Ahok" yang mempersiapkan syarat untuk menempuh
jalur independen.
Dugaan akan adanya
kompromi itu dapat ditilik pada pernyataan-pernyataan Ahok berkali-kali bahwa
dirinya tidak akan meninggalkan "Teman Ahok". Sebaliknya,
pernyataan-pernyataan senada juga kerap dikemukan pihak "Teman
Ahok".
Posisi "Teman
Ahok" yang tidak akan meninggalkan Ahok sudah ditulis di
"Mukadimah" dan dijadikan pijakan hingga saat ini. Dituliskan,
"Teman Ahok" didirikan untuk membantu dan "menemani" Ahok
mewujudkan Jakarta Baru yang lebih bersih, maju, dan manusiawi.
"Teman Ahok"
didirikan dengan visi dan misi. Setelah misi utama mengumpulkan sejuta Kartu
Tanda Penduduk (KTP) warga DKI Jakarta sebagai syarat pencalonan Ahok di
jalur independen terpenuhi, Minggu (19/6/2016) malam, kompromi sebagai hasil
kesepakatan Ahok dan "Teman Ahok" dikemukakan. Dalam kompromi itu, Ahok dan "Teman
Ahok" sepakat membuka pintu bagi partai politik untuk pencalonan Ahok
dalam Pilkada DKI Jakarta. Kompromi ini melawan keyakinan dasar "Teman
Ahok" tentang partai politik.
"Teman Ahok"
yang didirikan Maret 2015 berinisiatif mengajukan Ahok dalam Pilkada DKI
Jakarta melalui jalur independen didasari penilaian kaku dan tidak berubahnya
partai politik. Dengan gaya kepemimpinan Ahok yang memancing kontroversi dan
konflik dengan para elite politik, "Teman Ahok" melihat ada
sandungan atas keinginan mereka memajukan Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta.
Dalam perjalanan
mengumpulkan dukungan untuk Ahok, penilaian "Teman Ahok" terhadap
partai politik yang kaku dan tidak berubah gugur. Bukan menjadi sandungan
seperti yang diduga, partai politik justru menjadi pemulus jalan.
Ini keliatan partai
politik (untuk tidak mengatakan oportunis) yang tidak diperkirakan
"Teman Ahok". Tiga partai
politik menjelang Pilkada DKI Jakarta, Februari 2017 memberi dukungan.
Pertama Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dengan Ketua Umum Surya Paloh.
Kedua Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dengan Ketua Umum Wiranto. Ketiga
Partai Golongan Karya (Golkar) dengan Ketua Umum Setya Novanto.
Tentang tiga partai
politik ini, kita semua tahu bahwa Golkar adalah asal muasal mereka. Golkar
adalah pendukung utama Presiden ke-2 RI Soeharto saat jaya dan berkuasa di
era Orde Baru. Kejelian Golkar melihat dan menempeli kekuasaan semasa Orde
Baru tampaknya masih diwarisi ketiga partai ini.
Bagi Ahok, tidak sulit
untuk menyatu dengan ketiga partai ini. Sebelum bergabung dengan Partai
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan meninggalkan partai sempalan Golkar
ini, Ahok adalah kader Partai Golkar. Bergaul dan berbaur dengan ketiganya,
Ahok tidak akan terlihat canggung. Masa lalu Ahok ada di sana. Bahkan jika
Partai Gerindra ada di kumpulan itu.
Canggung yang akan berlalu
Kesulitan bersikap
yang akan menimbulkan kecanggungan justru akan dialami mereka yang ada dalam
kumpulan "Teman Ahok" dengan jumlah KTP sejuta.
Terlebih, ada
kebanggaan dan heroisme kumpulan "Teman Ahok" di jalur independen
yang ditunjukkan dengan mencela perilaku elite dan partai politik yang memang
kerap memuakkan.
Sulit membayangkan
kumpulan "Teman Ahok" ini akan tenang dan nyaman mendapati partai
politik-partai politik memuluskan jalan Ahok dan bukan menjadi sandungan. Namun
tenang. Kepada mereka, Ahok dan "Teman Ahok" pasti akan turun
tangan membuat "pembenaran" yang bisa diterima nalar. Tidak akan
mudah, tetapi tidak tersedia banyak pilihan.
Jalur independen yang
semula diperjuangkan menemui sejumlah rintangan di tahap verifikasi faktual
dan bisa mengagalkan pencalonan. Di sisi lain, kumpulan "Teman
Ahok" ini sudah mematok agar kekuasaan di Jakarta saat ini dilanjutkan.
Partai politik akan membantu memudahkan jalan. Jatuh hati mereka kepada Ahok
tidak bisa ditawar.
Berdasarkan
pengalaman, canggung dalam sikap politik ini biasanya tidak bertahan lama
juga. Kita tidak kekurangan contoh tentang partai politik atau pihak yang
sebelumnya bermusuhan lantas bergandengan tangan.
Penyebab utamanya
adalah samanya kepentingan dan gairah akan kekuasaan. Sebab lainnya adalah
pendeknya ingatan kita di tengah mudahnya kita berpindah-pindah dari
terpesona dan kemudian membenci dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama.
Para pendiri
"Teman Ahok" sudah bisa mengatasi kecanggungan ini pada hari
terkumpulnya sejuta KTP untuk Ahok. Tips cepatnya mereka hilang canggung
melihat partai politik bukan sebagai sandungan tetapi pemulus jalan bagi Ahok
mungkin bisa dibagi-bagikan.
Bagi para penantang
Ahok, kepastian majunya Ahok bersama "Teman Ahok" dan partai
politik menambah kejelasan peta pertarungan. Jika jadi didukung dan
dicalonkan oleh gabungan tiga partai politik pewaris Golkar yaitu Partai
Nasdem, Partai Hanura, dan Partai Golkar, secara matematis bisa muncul empat
penantang Ahok.
Untuk mengajukan calon
dalam Pilkada DKI Jakarta, partai politik atau gabungan partai politik
sekurang-kurangnya memiliki 20 persen kursi atau 25 persen suara sah Pemilu
2014. Dengan jumlah kursi di DPRD DKI Jakarta 106 kursi, maka syarat
minimalnya adalah 21 kursi.
Komposisi kursi di DPRD
DKI Jakarta adalah PDI-P 28 kursi, Gerindra 15 kursi, PKS 11 kursi, PPP 10
kursi, Demokrat 10 kursi, Hanura 10 kursi, Golkar 9 kursi, PKB 6 kursi,
Nasdem 5 kursi, dan PAN 2 kursi. Berdasarkan komposisi ini, hanya PDI-P yang
bisa mengajukan calon sendiri.
Sambil menunggu
canggung "Teman Ahok", mari kita tunggu partai politik dan gabungan
partai politik lain menyiapkan lawan Ahok yang sepadan. Waktu tidak banyak
karena canggung "Teman Ahok" yang akan bahu membahu bersama partai
politik pendukung itu akan cepat hilang.
Di tengah beragamnya
gaya kepemimpinan yang melayani rakyat khususnya mereka yang terpinggirkan,
warga Jakarta berhak dan senang juga jika punya alternatif untuk ditimbang
sebelum dijatuhkannya pilihan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar