Masyarakat ”Post-Sekuler”
Zuly Qodir ;
Sosiolog dan Direktur Sekolah
Politik Ahmad Syafii Maarif Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(UMY)
|
KOMPAS, 30 Mei 2016
”Masyarakat agama dalam kondisi modern senantiasa berhubungan dengan
ekonomi, bentuk keagamaan, ritualistik serta komodifikasi agama.” (Bryan S Turner, 2014)
Fenomena kehidupan
keagamaan di negeri ini tak dimungkiri semakin marak. Semarak orang pergi ke
gereja, pura, wihara, kelenteng, serta masjid tidak terbantahkan. Sebagai
masyarakat, bangsa ini secara artikulatif tampak kasatmata: semakin religius,
bukan makin sekuler. Inilah masyarakat ”post-sekuler”.
Penduduk Muslim yang
mayoritas—data tahun 2015 menyebutkan 88,2 persen—bukti khusus bahwa umat
Muslim tak berkurang, tetapi bertambah. Karena itu, fenomena aktivitas
kegiatan keislaman semarak di seluruh Nusantara. Upacara keagamaan bersuasana
keislaman tak pernah berhenti diselenggarakan.
Masalahnya,
kemakinsemarakan aktivitas artikulasi keislaman (keagamaan) yang terjadi di
negeri ini adakah berhubungan dengan internalisasi dan obyektivikasi nilai
keagamaan yang dianut masyarakat, perlu mendapat perhatian serius kaum
agamawan. Ada pesan kuat bahwa keagamaan di negeri ini sebenarnya masih
bersifat formalistis, bukan substansialistis.
Marah dan rakus
Keagamaan masyarakat
kita adalah keagamaan yang simbolis, bukan esensialistis. Beragama, tetapi
puas dengan simbol, atribut, serta berbagai aksesori yang tak jarang sekadar
menyenangkan pihak lain untuk memberi pujian, serta kepuasan aksesoris semata
pada para penganutnya. Inilah ”abu dari agama”, bukan ”api agama” yang jadi
pegangan kaum beragama.
Kaum agama dalam
masyarakat ”post-sekuler”, dikatakan Bryan S Turner, merupakan fenomena
keagamaan yang tak jarang ”berbalut kemarahan dan kerakusan”. Mereka
beragama, tetapi kurang menghayati nilai substansial agama itu sendiri. Kaum
beragama telah terpuaskan dengan apa yang telah dikerjakan sekalipun tak
berdampak sosial apa pun. Kaum beragama puas dengan artikulasi kesalehan
personal yang dikerjakan setiap hari menjadi bagian dari hidup religius
sehari-hari.
Banyaknya pasukan
paramiliter agama di Jakarta serta kota lain di Indonesia yang beragama
dengan paham ”paling benar” dan tak ada kompromi, dialog dengan pihak lain
yang dipersalahkan bahkan disesatkan, merupakan bukti nyata keagamaan
masyarakat sekarang sebenarnya berbalut kemarahan. Terlalu banyak kekerasan,
kebengisan, bahkan aksi radikalis serta teroris memberi bukti mereka
beragama, tetapi berbungkus kemarahan, bukan dalam kemurahan dan keramahan.
Banyak orang menganut agama sekaligus gampang pula marah dalam beragama.
Selain itu, kaum
beragama juga tak peduli kesengsaraan orang lain sehingga perilakunya tak
sederhana, secukupnya sesuai dengan kebutuhan hidupnya, tak mengambil hak
orang lain, menipu serta memanipulasi keagamaan dengan bungkus kesalehan
simbolis. Semua ini merupakan keagamaan yang rakus sehingga keagamaan kita
dalam era modern adalah cermin keagamaan yang rakus.
Orang beragama, tetapi
tak dapat merasa cukup dengan yang telah diperoleh. Orang beragama tak pernah
puas dengan ibadah umrah tiga kali sebagaimana contoh Nabi Muhammad dan haji
satu kali saja. Orang Muslim tiap bulan menjalankan umrah sebagai bagian dari
artikulasi kesalehan tanpa batas.
Inilah sebenarnya
beragama, tetapi dalam kerakusan yang nyata. Bukan hanya rakus harta benda,
tetapi rakus akan hak orang lain sehingga orang lain tak dapat menikmati
kesejahteraan dan kenikmatan yang selalu dimiliki oleh kelas menengah Muslim
Indonesia.
Apakah tak mungkin
kelas menengah Muslim cukup menjalankan umrah tiga kali seumur hidup dan haji
satu kali seumur hidup sehingga memberi kesempatan pada Muslim lainnya untuk
umrah atau haji?
Minus kritik sosial
Beragama ”formalistis”
inilah fenomena mutakhir dari keagamaan kaum modern ”post-sekuler”. Orang tak
mencari-cari keagamaan yang spiritualitas, tetapi ”puas dengan keagamaan”
yang artikulatif sekalipun semu dan nihil akan kritik sosial. Keagamaan tak mampu menciptakan daya kritik masyarakat
karena yang dipentingkan adalah menjalankan kesalehan personal, bukan
kesalehan sosial sebagaimana diamanatkan kitab suci.
Kaum agama terbelenggu
dalam kesadaran palsu keagamaan yang sebenarnya ”membius” bagai candu karena
tak memiliki kesadaran kolektif untuk berbagi, menyantuni, mengayomi, serta
menyelamatkan para pihak yang sengsara dan duafa dalam makna yang
sebenar-benarnya.
Di kalangan umat Muslim, misalnya, banyaknya aktivitas
doa bersama, jemaah duha, jemaah majelis taklim, jemaah haji dan umrah, serta
jemaah sedekah rombongan tak berbanding positif dengan pengurangan
kemiskinan, kebodohan, serta kejahatan yang dibuat kaum beragama. Ini
menandakan kaum beragama yang tampak rajin di satu pihak tak berhubungan dengan
berkurangnya fenomena kemungkaran sosial yang juga dikerjakan kaum beragama.
Kekerasan orangtua
terhadap anaknya, pemerkosaan seorang guru terhadap siswa, kejahatan para
siswa terhadap sesama siswa, serta kejahatan para guru ngaji ”gadungan” atas
jemaah adalah bukti otentik jika kaum beragama dalam masyarakat
”post-sekuler” sejatinya bisa dikatakan ”hanya ramai diartikulasi” kesalehan
individual, tetapi ”sepi dalam kesalehan sosial”, apalagi membasmi
kemungkaran sosial.
Terlalu banyak
manipulasi dalam beragama. Terlalu sering agama itu dijadikan mesin penarik
uang dari para pemimpinnya. Para pemimpin jemaah taklim, misalnya, menjadikan
agama sebagai penarik modal keuntungan finansial dengan penjualan produk
kesalehan simbolis, seperti menjual mukena, hijab, kain sarung, sorban, serta
yang tak kalah heboh adalah ”jualan pintu surga” dengan tawaran haji dan
umrah eksekutif.
Masih terlalu banyak
umat beragama (Muslim) sebagai mayoritas yang tak dapat menikmati
”kebahagiaan hidup” bersama keluarganya karena kekurangan makanan sehat dan
biaya menyekolahkan anaknya, serta terlalu banyak keluarga miskin yang hidup
serba kekurangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar