Anak-anak Dunia Maya
Damhuri Muhammad ; Sastrawan; Alumnus Pascasarjana Filsafat UGM
|
KOMPAS, 14 Juni
2016
Di masa lalu, bila
seorang anak hendak berpamitan, ia mesti mengetuk pintu kamar ayahnya, atau
menghampiri ibunya ke dapur, untuk bersalaman, cium tangan, sebelum
meninggalkan rumah.
Tata krama dan laku
santun itu kini telah diringkas oleh perkakas bernama gawai. Ia cukup
mengetik satu-dua kalimat di layar telepon pintar, lalu kirim melalui
fasilitas online messenger ke nomor Mama-Papa, dan tuntas perkara. Mama-Papa
akan membalas pesan-pesan digital dari anak- anaknya, lantas kembali
tenggelam dalam rutinitas yang tiada sudah-sudah. Begitu selalu, hingga
banyak keluarga seperti sedang membangun rumah di semesta jagat maya.
Seolah-olah ramai perbincangan, seakan- akan semarak oleh kehangatan, padahal
mereka jarang bertemu muka.
Generasi yang lahir di
era 1980-an hingga 2000-an adalah generasi yang tumbuh di lingkungan serba
digital. Mereka meluncur ke bumi ketika dunia internet telah merajalela.
Hampir semua aktivitas dijembatani oleh internet. Gawai adalah perkakas.
Jagat maya adalah napas.
Marc Prensky (2001)
menyebut mereka sebagai generasi digital native. Bila anak-anak yang terbiasa
berbincang dengan Ibu- Bapaknya via
WhatsApp-meski mereka berada di rumah yang sama-disebut digital
native, maka orangtua atau generasi di atas usia mereka adalah kaum digital
immigrant. Mereka ini lahir di zaman analog, tetapi tak bisa lari dari
kepungan dunia digital. Ada yang bisa beradaptasi, tetapi lebih banyak yang
kepayahan karena generasi masa kini tidak lagi bisa memahami fitur-fitur
analog dalam bahasa mereka.
Kolumnis M Burhanuddin
(2016) mencatat, generasi digital native membangun gaya, perilaku, dan bahasa-bahasa baru dalam alur
komunikasi dan interaksi yang cepat, masif, dan penuh fantasmagoria. Mereka
mengubah tatanan nilai dan gaya hidup jadi serba digital. Jumlah mereka
sangat besar, dan akan jadi yang terbesar di Indonesia pada 2030. Bila
menggunakan istilah Manuel Castells (1996), pertumbuhan generasi digital
native dapat dianalogikan seperti rhizome, tumbuhan yang berkembang dengan
cara menjalar ke segala arah.
Di berbagai belahan
dunia, kaum digital native terus bermunculan. Bahkan di negara yang dikuasai
junta militer dan paling represif terhadap media, seperti Myanmar sekalipun,
sejak 1988-sebagaimana dicatat Reza AA Wattimena-muncul kelompok virtual
bernama Support the Monks Protest. Setiap 12 jam, 10.000 anggota baru
mendaftar.
"Kini Anda bisa
menyaksikan komunitas-komunitas yang kuat, dari orang-orang Myanmar di
Norwegia, Thailand, India, dan Inggris. Teknologi digital membuat jaringan
bawah tanah menjadi lebih efektif," kata Vincent Brossel, wartawan
Reporters Without Border. Di negara-negara Arab, revolusi digital bahkan menggerakkan
perubahan sosial politik. Otoritarianisme bertumbangan digilas gelombang
perlawanan yang bermula dari suara anak-anak dunia maya.
Penggerak ekonomi
Dari kaum digital
native pula lahir sosok seperti Travis Kalanick, pendiri sekaligus CEO Uber,
aplikasi penghubung para pengguna jasa transportasi. Sebagaimana dilansir
www.cnnindonesia.com (24/03/16), Kalanick mendirikan Uber pada 2009 di San
Fransisco, California, AS. Uber diterima
masyarakat karena harganya terjangkau. Uber mengekspansi layanan ke
berbagai negara secara agresif, mengganggu tatanan transportasi, dan memicu
kontroversi.
Pada 2015 di New York,
Uber menyediakan layanan kepada 1,9 juta pengguna dalam waktu tiga tahun dan
menciptakan rata-rata 13.750 pekerjaan.
Sementara di London, pengguna Uber sudah mencapai 900.000 dan membuka
7.800 pekerjaan. Kini Uber telah menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk
Indonesia, dan dianggap mengganggu
bisnis transportasi konvensional.
Anthony Tan, putra
konglomerat Malaysia, suatu hari saat ia kuliah di Harvard Business School
(AS), temannya berkabar perihal sulitnya mendapatkan taksi di Malaysia. Ia
kemudian menyusun rencana bisnis yang mirip layanan Uber pada 2012. Tan
membangun GrabTaxi, aplikasi yang semula dirancang guna mendukung operasional
perusahaan taksi, tetapi kemudian malah menggoyang perusahaan taksi itu
sendiri.
Generasi digital
native adalah para penggerak ekonomi digital. Pertumbuhan kelas menengah dan
penetrasi internet tak dapat diabaikan. Bank Dunia mencatat, Indonesia telah mengalami
pertumbuhan kelas menengah yang fantastis sejak krisis moneter 1998.
Pertumbuhan itu diprediksi terus meningkat hingga 2030 dengan populasi
sebanyak 141 juta jiwa. Lembaga riset eMarketer mencatat, pada 2014 jumlah
pengguna internet dalam negeri sudah 83,7 juta jiwa. Angka ini diprediksi
akan terus meningkat seiring majunya teknologi di Indonesia. Litbang Kompas
memprediksi, pada 2017 jumlahnya akan sebanyak 117 juta jiwa.
Uber, Grab, Go-Jek,
hanya sebagian kecil dari bentuk-bentuk kreativitas kaum digital native, yang
kini sedang menggelinding jadi buah simalakama. Disukai banyak orang, tetapi
dicerca banyak orang pula. Dalam silang- sengkarut layanan transportasi
publik yang tak kunjung terurus, banyak orang merasa terbantu, ratusan ribu
orang terlapangkan ekonominya. Namun, penyelenggara negara tak bisa
membiarkan itu bergulir tanpa aturan. Maka, dalil UU lekas dibacakan, imbauan
dimaklukmatkan, bahkan ancaman memblokir situs telah dikumandangkan. Solusi
analog dan super-manual. Kreativitas diadang dengan UU. Keleluasaan
berinovasi dikunci dengan regulasi yang kaku.
Namun, anak-anak dunia
maya tak terbiasa banyak bicara di dunia analog. Mereka akan terus
berselancar di layar-layar digital, mencari celah yang bisa ditelusuri untuk
kembali menemukan bentuk-bentuk kreativitas baru, dan boleh jadi akan jatuh
sebagai buah simalakama yang jauh lebih pahit. Begitu seterusnya, hingga
negara ini lapuk dalam keletihan.. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar