Jumat, 17 Juni 2016

Ahok, Eksperimen Demokrasi

Ahok, Eksperimen Demokrasi

Heru Margianto ;   Wartawan Kompas.com;
Meminati isu-isu Politik dan Keberagaman.
                                                         KOMPAS, 15 Juni 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Let us never forget that government is ourselves and not an alien power over us. The ultimate rulers of our democracy are not a president and senators and congressmen and government officials, but the voters of this country.

--Franklin D. Roosevelt

Mantan Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt pernah mengingatkan, tuan sesungguhnya atas demokrasi adalah masyarakat, bukan presiden, anggota parlemen, atau pejabat negara.

Tersirat di dalamnya, segala prasarana praktik demokrasi seyogianya mendekatkan dan melibatkan publik di dalamnya, sebab proses demokrasi bukan milik elit politik.

Di Pilkada DKI Jakarta saya sebenarnya berharap Ahok tetap maju di jalur perseorangan. Saya tidak ingin menihilkan peran partai politik. Saya hanya berharap menyaksikan sebuah eksperimen demokrasi di jantung politik Indonesia yaitu Jakarta.

Ahok, Teman Ahok, dan jalur perseorangan yang ditempuhnya adalah eksperimen tentang otentisitas partisipasi publik yang sejatinya merupakan tuan atas sistem demokrasi kita sebagaimana disebut Roosevelt.

Ahok kini berada di simpang jalan, apakah tetap maju melalui jalur perseorangan atau melalui partai politik. Jalur partai yang dulu rasanya musykil dilalui kini terbuka lempang menyusul dukungan resmi yang dinyatakan Partai Golkar, Selasa (14/6/2016).

Dukungan Golkar menggenapi dukungan dua partai sebelumnya, Nasdem dan Hanura. Dengan dukungan tiga partai ini, syarat minimal 20 persen total kursi DPRD DKI Jakarta terpenuhi, yaitu 24 kursi.

Sebelumnya, saat “digoda” Megawati agar maju bersama PDI-P berpasangan dengan Djarot Saeful Hidayat, Ahok mengatakan ia sudah telanjur berkomitmen pada Teman Ahok untuk maju melalui jalur perseorangan.

Dengan dukungan Golkar yang tidak memiliki “prasyarat mekanisme partai” seperti PDI-P, akankah Ahok tergoda untuk meninggalkan Teman Ahok?

Jalur partai politik memang memberi banyak keuntungan bagi Ahok. Setidaknya, untuk jangka pendek, ia tidak perlu dipusingkan lagi oleh proses verifikasi faktual dukungan yang memberatkan.

Untuk jangka panjang, jika kembali memenangi pilkada, Ahok akan punya tandem koalisi di parlemen daerah untuk mengelola berbagai program pemerintah provinsi. Tidak ada lagi keributan yang tidak perlu dengan legislatif seperti beberapa waktu lalu.

Jalur perseorangan

Saya berharap Ahok tetap maju di jalur peseorangan. Agak konyol memang karena ia harus meninggalkan jalan terbuka nan lempeng di partai politik. Juga berisiko karena ia bisa gugur dalam tahap verifikasi faktual yang sulit.

Tapi, bukankah ia berulangkali menyatakan tak soal jika harus gugur atau kalah dalam pertarungan ini? Lagi pula, tidakkah meninggalkan Teman Ahok berarti juga mencederai dukungan publik?

Namun, lebih daripada itu, jalur perseorangan yang di tempuh Ahok bersama Teman Ahok di pusat etalase politik Jakarta merupakan pembelajaran politik partisipatoris yang paling nyata untuk Indonesia. Setidaknya ada tiga hal yang bisa menjadi legacy Ahok.

Pertama, seperti dikatakan Roosevelt di atas, pemilik demokrasi yang sesungguhnya adalah publik, bukan partai politik atau elit-elite politik.

Fenomena Teman Ahok adalah eksperimen partisipasi otentik publik di luar partai politik. Ia menjadi semacam pengingat bahwa masyarakat memiliki kekuatan untuk melakukan dekonstruksi atas ketidakpuasan mereka pada kinerja partai politik dan nilai-nilai buruk yang ada di dalamnya seperti korupsi, politik transaksional, dan setoran kiri kanan untuk berbagai urusan.

Selain itu, bukankah wajah sebagian partai politik kita umumnya menampilkan potret oligarki ketua umumnya ketimbang sebagai partai yang partisipatoris. Teman Ahok menjadi semacam kontrol nyata civil society atas praktik demokrasi oligarkis yang dijalankan para politisi itu.

Catatan lain, Teman Ahok adalah representasi generasi milienial atau kerap disebut generasi Y. Anak-anak muda berusia 17-35 tahun yang selama ini barangkali merasa teralienasi dalam hiruk pikuk politik di tanah air, mampu membuktikan diri menjadi sebuah kekuatan politik yang mumpuni. Ini kelak menjadi warisan dan proses pembelajaran yang berharga dalam perjalanan demokrasi Indonesia.

Transaksional

Kedua, meminimalisir politik transaksional. Politik transaksional rasanya mustahil dilepaskan dalam praktik demokrasi di manapun. Politik selalu adalah soal kompromi.

Jokowi yang semasa kampanye pilpres mendengung-dengungkan “dukungan tanpa syarat” toh akhirnya harus terjerambab pada kompromi politik dalam penyusunan kabinetnya.

Secara pragmatis Jokowi tidak bisa melepaskan utang budi sejumlah partai politik yang mendukungnya. Tak ada makan siang gratis.

Calon perseorangan meminimalisir ruang utang budi. Ia seharusnya memiliki posisi tawar yang lebih baik. Ini sama sekali tidak ingin menafikan peran partai politik di legislatif yang menjadi penyeimbang kekuasaan.

Justru eksperimen penting yang harus dibuktikan adalah bahwa calon perseorangan yang menang pilkada dituntut untuk dapat bermitra secara lebih sehat dengan partai politik di parlemen.

Ahok punya catatan buruk dalam relasinya dengan legislatif DKI Jakarta sepanjang periode kepemimpinannya yang galak. Tentu saja ini adalah pekerjaan rumah berikutnya yang harus diselesaikanya jika ia kelak memenangi pilkada dari jalur perseorangan.

Partisipasi politik

Ketiga, partisipasi politik civil society di luar relawan adalah sesuatu yang ril. Bisa jadi ini adalah bagian yang terberat.

Sebagaimana ramai diperdebatkan, Undang-Undang baru Pemilihan Kepala Daerah yang disetujui DPR dinilai memperberat majunya calon perseorangan. UU baru itu mempersempit ruang klarifikasi pendukung calon perseorangan dalam tahap verifikasi faktual.

Pasal 48 RUU Pilkada mengatur, jika pendukung calon perseorangan tidak bisa ditemui Panitia Pemungutan Suara (PPS) dalam verifikasi faktual ke alamatnya, pasangan calon diberikan kesempatan menghadirkan mereka ke kantor PPS dalam waktu 3 hari.

Apabila tenggat itu dilampaui, dokumen dukungan yang diajukan terhadap calon perseorangan dinyatakan tak memenuhi syarat.

Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy mengatakan, dengan ketentuan itu DPR dan pemerintah ingin menghapus kemungkinan dukungan fiktif yang selama ini kerap ditemukan.

Hal ini juga untuk lebih memastikan penyelenggara pilkada menjalankan sepenuhnya mekanisme yang ada dan mencegah multi-interpretasi.

Undang-undang itu mungkin bisa berlaku di daerah yang mobilitas penduduknya tidak setinggi Jakarta. Semangat di baliknya baik: menghapus kemungkinan dukungan fiktif, meskipun mekanismenya terasa tidak realistis.

Sudahlah. Sudah diundangkan. Tidak sempat untuk diujimateri di Mahkamah Konstitusi.

Ketentuan undang-undang ini justru merupakan ujian nyata bagi partisipasi politik terhadap mereka yang memberikan dukungan pada calon perseorangan.

Di pihak lain, ketentuan ini juga merupakan tuntutan bagi mereka yang maju di jalur perseorangan untuk menunjukkan bahwa mereka layak mendapat dukungan publik.

Wacana gerakan “cuti sehari di hari verifikasi” yang digaungkan Teman Ahok lagi-lagi merupakan ujiannya. Jika Ahok dan Teman Ahok berhasil melewati bagian ini, kita boleh bergembira bahwa demokrasi di Jakarta bukan semata prosedural, tapi substantif.

Ini akan tentu akan menjadi sejarah. Ahok berhasil menggerakan publik untuk ambil bagian secara nyata dalam sebuah pesta demokrasi. Jika demikian, ia layak disebut pembaharu dalam demokrasi modern di Indonesia.

Partai politik itu penting karena ia adalah pilar demokrasi. Tak pernah ada masalah dengannya. Yang selalu menimbulkan masalah adalah para politisinya.

Seorang politisi semata-mata hanya mengejar kemenangan, sementara seorang negarawan mengajarkan bagaimana caranya berdemokrasi dengan benar.

Di negeri ini terlalu banyak politisi. Negarawan? Anda tahu jawabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar