Urgensi UU Keamanan Nuklir
Harditya Suryawanto ;
Diplomat RI;
Bekerja di Direktorat Keamanan
Internasional dan Perlucutan Senjata
|
KOMPAS, 06 April
2016
Menjelang
penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Ke-4 Keamanan Nuklir di Washington
DC, 31 Maret-1 April 2016, pemerintah masih memiliki satu pekerjaan rumah
penting: menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Keamanan Nuklir.
Komitmen pemerintah
menyelesaikan RUU itu pernah disampaikan Wakil Presiden Boediono pada
penyelenggaraan KTT Ke-3 Keamanan Nuklir (KN) pada 2014 di Den Haag, Belanda.
Namun, karena alotnya pembahasan dalam mekanisme rapat kementerian dan
lembaga, sejak akhir 2015 pemerintah belum lagi melakukan pembahasan RUU itu
dan tak memasukkannya dalam Prolegnas 2015-2019.
Hal itu kiranya tidak
menyurutkan komitmen pemerintah untuk penyelesaian RUU itu. Penulis
berpendapat bahwa setidaknya terdapat tiga kepentingan utama agar RUU
tersebut dapat segera diselesaikan dan diundangkan.
Pertama, UU terkait
nuklir dan zat radioaktif yang ada saat ini dirasakan belum cukup mengatur
keamanan nuklir di Indonesia. Ratifikasi Konvensi Internasional tentang
Pemberantasan Terorisme Nuklir (KIPTN) melalui UU Nomor 10 Tahun 2014 masih
belum cukup dan perlu segera ditindaklanjuti dan diperkuat dengan penyusunan
UU khusus terkait keamanan nuklir.
Di samping itu, UU
10/1997 tentang Ketenaganukliran lebih banyak menonjolkan aspek keselamatan
nuklir dan belum banyak berbicara mengenai keamanan nuklir. Sebagai contoh,
ketentuan pidana dalam UU dimaksud lebih banyak menyentuh aspek pelanggaran
izin dan keselamatan, serta belum mengatur kriminalisasi penyalahgunaan bahan
nuklir dan radioaktif.
Berbeda dengan
keselamatan nuklir yang bertujuan menjamin keselamatan manusia, hewan, dan
lingkungan dari aktivitas pemanfaatan tenaga nuklir, keamanan nuklir lebih
banyak menyentuh aspek perlindungan masyarakat dari penyalahgunaan bahan dan
teknologi nuklir serta zat radioaktif oleh pihak tak bertanggung jawab,
khususnya pelaku dan jaringan terorisme. Ini juga yang mendorong pemimpin
lebih dari 50 negara dan empat organisasi internasional berperan aktif dalam
KT KN sejak 2010.
Memanfaatkan teknologi
Komunitas
internasional memercayai bahwa pelaku teror cenderung makin memanfaatkan
teknologi dan bukan tak mungkin menggunakan unsur senjata pemusnah massal
seperti bahan nuklir dan zat radioaktif. Karena itu, keamanan bahan,
teknologi nuklir, dan zat radioaktif, termasuk kepemilikan, transfer, dan
pemanfaatannya perlu diatur secara menyeluruh.
Kedua, UU tentang
keamanan nuklir akan menjamin keamanan pengelolaan teknologi dan sumber daya
nuklir. Dewasa ini, pemanfaatan teknologi nuklir bukan hanya dimonopoli
reaktor nuklir untuk tujuan riset atau pembangkit listrik, tetapi juga telah
dimanfaatkan berbagai industri. Sebagai contoh, penggunaan alat kesehatan
berteknologi nuklir di berbagai rumah sakit di Indonesia. Eksplorasi
pertambangan baik mineral maupun minyak bumi dan gas telah banyak
memanfaatkan peralatan berbasis teknologi nuklir.
Peta lokasi
pemanfaatan tenaga nuklir di situs Bapeten menunjukkan bahwa hampir 800
pelaku usaha di Indonesia telah memanfaatkan teknologi nuklir dan zat
radioaktif dalam kegiatan usahanya. Data Bapeten juga menunjukkan, selama
lebih dari satu dekade terakhir, permohonan izin pemanfaatan dan penggunaan
zat radioaktif di Indonesia meningkat signifikan. Diperkirakan, permohonan
izin itu akan terus meningkat sejalan dengan kemajuan dan pembangunan ekonomi
nasional.
Selain itu, potensi
sumber daya alam yang dimiliki Indonesia, khususnya mineral dan bahan tambang
yang mengandung zat radioaktif, juga perlu diatur aspek keamanannya. Sebagai
contoh, wilayah Bangka Belitung yang memiliki potensi tambang pasir timah dan
tanah jarang, dengan unsur mineral ikutan seperti monazite dan zircon, dalam
beberapa tahun terakhir makin diincar pihak asing. Kedua unsur itu terbukti
mengandung uranium dan torium sebagai bahan bakar nuklir serta bahan baku
industri pertahanan dalam pembuatan berbagai peralatan vital untuk militer.
Ketiga, legislasi
mengenai keamanan nuklir akan memperkuat diplomasi nuklir yang difokuskan
pada tiga pilar arsitektur nuklir global berdasarkan Traktat Non-proliferasi
Nuklir, yakni perlucutan senjata, non-proliferasi, dan penggunaan nuklir
untuk tujuan damai. Pemerintah meyakini upaya memperjuangkan penggunaan
nuklir untuk tujuan damai harus diimbangi dengan kewajiban mendorong keamanan
nuklir di masing-masing negara. Karena itu, pemerintah secara konsisten telah
menunjukkan berbagai upaya terkait peningkatan keamanan nuklir secara
nasional.
Sebagai gambaran,
selain meratifikasi KIPTN, Indonesia secara konsisten terus melanjutkan
penggunaan low-enriched uranium dalam memproduksi radioisotop dan
mengoperasikan reaktor penelitian nuklir. Pemerintah juga melanjutkan
komitmen pemasangan berbagai Monitor Portal Radioaktif di beberapa pelabuhan
laut dan udara untuk mengawasi transportasi bahan nuklir dan radioaktif,
seperti di Pelabuhan Tanjung Priok, Belawan, dan Bandara Soekarno-Hatta.
Terakhir, dalam kerangka KTT KN, pemerintah telah mengambil inisiatif dalam
penyusunan Kit Implementasi Perundang-undangan Nasional tentang Keamanan
Nuklir sebagai suatu model law bagi negara dalam penyusunan legislasi di
bidang keamanan nuklir.
Beberapa penjelasan di
atas menunjukkan betapa kental kepentingan nasional dan kebutuhan memiliki
legislasi nasional di bidang keamanan nuklir. Untuk itu, pembahasan RUU
Keamanan Nuklir perlu dilanjutkan dan terus didukung berbagai pemangku kepentingan.
Dalam rapat akhir
pembahasan ratifikasi KIPTN pada 2014, pemerintah dan DPR sepakat bahwa
Indonesia perlu memiliki UU yang bukan hanya akan menyentuh aspek keamanan
terkait penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab, tetapi
juga mendorong potensi dan pemanfaatan bahan nuklir serta zat radioaktif
untuk memberikan nilai tambah di dalam negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar