Menghapus Tradisi Katebelece Pejabat
Suyatno ;
Dosen Etika Pemerintahan pada
FISIP Universitas Terbuka
|
MEDIA INDONESIA,
05 April 2016
TERBITNYA surat
permintaan fasilitas bagi kolega Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (Kemenpan-Rebiro) Yuddy Chrisnandi dinilai telah menabrak
etika dan semangat reformasi birokrasi. Demikian pernyataan Presiden yang
disampaikan Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi. Masih maraknya
penggunaan katebelece di negeri ini membuat kita bertanya, apa kabar program
revolusi mental? Perkara katebelece ini mengingatkan kita kembali akan
pentingnya revolusi mental yang dicanangkan Presiden Jokowi (Media Indonesia, 2/4).
Tradisi surat sakti
itu patut segera dihapuskan. Tradisi katebelece memang ironi bagi kultur
lembaga penggerak reformasi birokrasi itu berikut semua lembaga di negeri
ini. Permintaan fasilitas itu memang tidak etis akibat ditujukan untuk
keperluan pribadi Wahyu Dewanto Suripman sebagai anggota DPRD DKI dan lima anggota
keluarganya selama berada di Sydney, Australia. Lebih miris ketika beredar
pula katebelece dari Rachel Maryam Sayidina. Rachel meminta Kedubes RI di
Prancis menyediakan fasilitas transportasi selama anggota DPR asal Partai
Gerindra itu dan keluarganya berlibur di Paris.
Revolusi mental bahwa
pemimpin lahir dan hadir dari rakyat ingin dikembangkan Presiden Joko Widodo
pun terusik. Prinsip ini hanya efektif berjalan, salah satunya, apabila
pembangunan revolusi mental mendasarkan diri pada pemahaman dasar langkah
baku dalam hidup berprinsip tepa selira. Ungkapan luhur yang kita tangkap,
'Hidup di dunia ini timbal-balik, balas membalas, tidak melakukan hal-hal
yang kita sendiri tak ingin diperlakukan', tetap relevan. Publik tentu tidak
ingin ada katebelece mengistimewakan seseorang tetapi merugikan banyak orang.
Tepa selira mengandung
nilai yang melampaui toleransi yang mendasarkan ketenangan hidup manusia.
Toleransi hanya bersifat keluar, kepada orang lain. Tepa selira bersifat ke
dalam dan ke luar. Ke dalam diri dan ke luar kepada orang lain. Bila ingin
melakukan sesuatu kepada seseorang apakah berbicara atau bertindak sesuatu,
tanyakan lebih dahulu pada diri kita. Suka apa tidak diperlakukan seperti
itu. Bila tidak, mendingan dihentikan saja.
Etika jomplang
Tepa selira ialah
dasar hubungan di antara manusia yang mampu melahirkan pemimpin yang
merakyat. Pemimpin merakyat merasakan dengan kepekaan dan bergerak dengan
ukuran lalu dengan amanah kekuasaan yang diterimanya menjalankan kehendak rakyat
mengatur kehidupan bersama yang lebih baik. Jika kehidupan bersama sebagai
bangsa ingin melahirkan pemimpin yang merakyat, etika tepa selira merupakan
keutamaan yang dipegang teguh agar kesepakatan hidup bernegara mampu
menampilkan pemegang tradisi dan prinsip yang unggul dari bangsa ini.
Sudah sejak dulu
kabarnya etika sosial kita jomplang dan terpusat pada kecenderungan elite. Hubungan
tidak seimbang seperti feodalisme yang harus diterima siapa saja dalam
interaksi sosial. Katebelece dipaksakan menjadi hal yang lumrah. Bentuk
hubungan yang berasal dari struktur pendelegasian kekuasaan sosiopolitik yang
dijalankan kalangan bangsawan/monarki untuk mengendalikan berbagai wilayah
yang diklaimnya melalui kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal.
Namun, jauh-jauh hari
sebelum negara ini berdiri sudah diingatkan bahwa tepa selira memiliki bentuk
interaksi yang unik dalam legitimasi kekuasaan. Ungkapan tepa selira
merupakan tanggapan atas sikap kalangan kesatria dan kelas bangsawan lain
sebagai penguasa kawasan atas hak tertentu yang berpuncak pada penguasaan
oleh tuan tanah sehingga muncul istilah masyarakat feodal.
Deklarasi HAM membawa
manusia bertanya tentang arti legitimasi dan fungsi pengendalian karena pasti
ada yang salah apabila pengendalian ternyata menegasikan legitimasi itu
sendiri. Tersingkirnya legitimasi elite akibat pengendalian feodalistis
mengajak kita kembali melihat etika tepa selira sebagai bagian penting dalam
berjalannya kepemimpinan.
Etika tepat guna
Pergerakannya pada
relung-relung tersembunyi membuat publik dikejutkan dan dibuat heran oleh
keluarnya katebelece di sejumlah pejabat kita saat ini. Mereka ialah sosok
wakil rakyat yang lahir dari proses demokrasi. Sosok wakil rakyat dan pejabat
publik yang memberi harapan dan telah lahir dari rahim rakyat wakil dan
pelayan yang aspiratif, kritis, membumi, dan tentu problem solver.
Mengapa publik lantas
terkejut? Sepak terjang sebagian pejabat yang terhormat ternyata harus
berhadapan dengan permasalahan etika sebagai pemimpin akibat sejumlah langkah
yang diambil dalam beberapa waktu terakhir jauh dari nalar sehat publik. Mereka
yang sebelumnya merupakan aktivis atau tokoh yang menyatakan diri peduli pada
orang kecil justru menunjukkan perilaku dan tradisi surat sakti yang kian
bertolak belakang.
Mereka mencederai
etika yang menafikan nilai kepantasan kepedulian dan keberpihakan.
Harus segera
diterapkan etika tepat guna dalam menghapus perilaku berkatebelece yang cacat
ini. Keteguhan memegang etika tepa selira dalam membangun kepemimpinan tanpa
katebelece perlu didukung.
Persis hal inilah kini
yang pincang dalam kepemimpinan bangsa kita.
Pemimpin-pemimpin kita
patut memegang teguh kepekaan prinsip timbal-balik terhadap rakyat jelata,
terampil memahami kebutuhan dan pola pikir publik, serta memiliki keberanian
untuk menegakkannya di tengah pusaran tradisi feodal atau pragmatisme.
Etika tepa selira
menjadi salah satu alternatif model berdampingan dengan pola kompromistis
demokrasi yang sudah berjalan, seperti musyawarah dan mufakat. Pemimpin dan
calon pemimpin bangsa ini akan mempertontonkan kemahiran menggunakan ukuran
diri sendiri dalam mencapai keselamatan dan ketenangan hidup bangsa bebas
dari katebelece.
Etika tepa selira
hanya akan tumbuh sejak dini bila dibiasakan di berbagai kesempatan, tempat,
dan media. Hal yang tampak kecil dan remeh bisa dilakukan guna memulainya,
seperti menyapa, mengucap terima kasih, berbagi, berpendapat, dan menghormati
pendapat dengan bahasa yang santun. Hindari sikap selalu merasa paling benar
meraih fasilitas.
Benar pemikiran bahwa
tepa dalam bahasa Jawa adalah ukuran, selira adalah badan untuk mengukur
segala sesuatu disesuaikan dengan ukuran diri kita. Hanya dengan etika tepa
selira yang demikian akan muncul pemimpin yang dari sana mereka lahir dan
menjalani kehidupan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar