Pendidikan Hukum Kita
Topo Santoso ;
Guru Besar dan Dekan Fakultas
Hukum Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 06 April
2016
Korupsi merupakan
masalah kronis di negara kita. Walau naik sedikit, indeks persepsi korupsi
Indonesia masih rendah. Dari semua lembaga negara dan pemerintahan, lembaga
peradilan masih dianggap kurang baik menangani korupsi ini.
Judicial corruption
masih menjadi persoalan berat. Setiap kali ada kasus korupsi yang melibatkan
hakim, jaksa, dan advokat, masyarakat lalu bertanya, apa tidak jera dengan
hukuman yang berat? Apakah tidak ada pengaruhnya upaya reformasi peradilan
selama ini?
Pada berita terakhir
yang menyangkut seorang pejabat Mahkamah Agung (MA) dan pengacara beberapa
waktu lalu, wartawan bertanya, mengapa kasus seperti itu selalu berulang.
Saya menjawab, MA
telah berusaha memperbarui peradilan, memperbaiki rekrutmen calon hakim,
mengawasi, dan menjatuhkan sanksi. Di luar itu masih ada pengawasan eksternal
oleh Komisi Yudisial yang bertugas menjaga martabat hakim. Masih ada lagi
Komisi Pemberantasan Korupsi yang bertugas tidak saja menindak, tetapi juga
mencegah. Belum lagi pengawasan dari masyarakat yang kian meningkat.
Mengapa masih terjadi?
Mengapa kasus demi
kasus judicial corruption masih terjadi? Marsudi Triatmojo dari UGM
menyatakan, "Banyaknya aparat penegak hukum di Indonesia tidak bermoral
karena pengajaran ilmu hukum di hampir semua perguruan tinggi (PT) di
Indonesia belum lengkap, yakni kurangnya soal keterampilan dan
nilai-nilai" (5/3/2016).
Masalah ini penting
didalami, sebab korupsi sektor peradilan menyebabkan rendahnya kepercayaan
dan penghormatan terhadap hukum di negara kita. Kenaikan indeks persepsi
korupsi pun bergerak sangat lamban.
Padahal, sudah banyak
yang dilakukan. Ketika sektor peradilan tidak bisa dipercaya lagi,
pemberantasan korupsi di sektor lainnya menjadi makin sulit diatasi. Itu
sebabnya, indeks persepsi korupsi kita masih di bawah dibandingkan negara
ASEAN lain, seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.
Benarkah perguruan
tinggi hukum di Indonesia mesti bertanggung jawab atas masih meruyaknya
judicial corruption?
Tentu saja jawabnya
sudah semestinya pendidikan tinggi hukum merespons hal ini. Bagaimanapun,
setiap insan yang berprofesi di bidang hukum, seperti advokat, jaksa, dan hakim
ataupun pegawai/pejabat di bidang
peradilan, terlahir dari pendidikan tinggi hukum. Fakultas hukumlah yang mengandung dan
melahirkan calon penegak hukum dan profesi hukum.
Memang setelah lulus
mereka berada di berbagai lingkungan profesi serta aktivitas yang mungkin
bisa memengaruhi perilaku. Akan tetapi, proses selama pendidikan di
pendidikan tinggi hukum tentu merupakan faktor penting untuk melahirkan
sarjana hukum yang memiliki kredibilitas, selain kapasitas dan memiliki
mental anti korupsi.
Lalu, benarkah,
pendidikan tinggi hukum abai dalam mendidik mahasiswa hukum agar menguasai
knowledge, skill, dan values? Ketiga hal ini memang mesti dikuasai mahasiswa
hukum sebelum mereka lulus dan berprofesi hukum.
Di semua fakultas
hukum, pendidikan untuk menguasai pengetahuan hukum diberikan, mulai dari
pengantar ilmu hukum, pengantar hukum Indonesia, hukum tata negara, hukum
administrasi negara, hukum perdata, hukum pidana, hukum Islam, dan
sebagainya. Semua materi tersebut merupakan bekal yang dari sisi pengetahuan
sangat penting.
Bekal mahasiswa
Di luar penguasaan
pengetahuan, mahasiswa juga dibekali dengan keterampilan yang mumpuni agar
siap ketika terjun praktik di berbagai bidang, khususnya bidang atau profesi
hukum.
Semua fakultas hukum
semestinya mengajarkan skill atau keterampilan hukum ini melalui berbagai
mata kuliah, seperti praktik hukum (di FHUI diberikan sejak 1969) yang
diperkuat dengan lembaga konsultasi/bantuan hukum.
Kini praktik hukum ini
diberikan di semua fakultas hukum di Indonesia dan tergolong pendidikan dan
latihan kemahiran hukum. Selain praktik hukum ada praktik diplomasi,
perancangan peraturan negara, pilihan penyelesaian sengketa, penyusunan
kontrak dagang, dan sebagainya.
Kini, bahkan klinik
hukum menjadi mata kuliah di beberapa fakultas hukum. Ini menjadi kelahiran
kembali pendidikan hukum klinis yang sebetulnya telah lama ada di Indonesia,
tetapi kini terintegrasi dalam kurikulum di beberapa fakultas hukum. Melalui
klinik hukum mahasiswa sekaligus mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan
nilai-nilai sehingga lebih siap berpraktik setelah lulus, dan saat yang sama
tetap menjunjung nilai-nilai, khususnya bisa memiliki perspektif social
justice yang kuat.
Apakah pendidikan
tinggi hukum membekali para mahasiswanya dengan nilai-nilai kebenaran dan
etika profesi? Ini yang seharusnya diberikan. Tanpa ini mereka tidak siap
untuk terjun ke profesi hukum yang penuh godaan. Seluruh fakultas hukum telah mengajarkan
filsafat hukum sebelum mereka lulus. Melalui filsafat semestinya mahasiswa
mencintai kebenaran dan kebijaksanaan. Kata filsafat (philosophia-Yunani
kuno) bermakna "orang yang cinta pada kebijaksanaan". Kata
Pythagoras, "Saya hanya pencinta dan pencari kebijaksanaan."
Sejak 10 tahun lalu,
fakultas hukum di Indonesia juga telah memberikan mata kuliah baru, yaitu
tanggung jawab profesi yang kemudian menjadi etika dan tanggung jawab
profesi. Etika berkenaan dengan perilaku yang benar dan baik, pengetahuan
tentang moral dan bagaimana mewujudkannya.
Jadi, jika semua hal itu
telah diberikan, mengapa judicial corruption masih terjadi dan melibatkan
mereka yang telah dididik di pendidikan tinggi hukum? Jawabnya banyak faktor,
seperti lingkungan profesi yang menjadi faktor kriminogen, atau sebab
lainnya. Yang jelas, dunia pendidikan tinggi hukum juga patut melihat ke
dalam, benarkah pembekalan pengetahuan, keterampilan, dan nilai telah
diberikan dengan benar dan dengan metode yang tepat pula? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar