Terorisme: Bukan Karena Agama
Ahmad Juhairi ;
Mahasiswa S2 Filsafat UGM,
Yogyakarta;
Aktif di Pusat Studi Filsafat dan
Interdisipliner, Malang
|
INDOPROGRESS, 11
April 2016
SALAH satu isu penting
era globalisasi yang turut serta mewarnai dinamika kehidupan manusia adalah
terorisme. Setiap tindakan teror yang dilakukan keompok tertentu, yang
kemudian disebut teoris, selalu dikaitkan dengan agama tertentu pula.
Umumnya, agama yang seringkali menjadi sasaran adalah Islam. Akibatnya,
fenomena terorisme semakin membuat citra Islam sebagai salah satu agama
terbesar di dunia semakin buruk. Sehingga wajar, apabila setiap peristiwa
teror yang biasanya identik dengan ‘bom bunuh diri’ di ruang-ruang publik
mengakibatkan ketegangan internal di kalangan umat islam.
Kenyataan ini
mendorong beberapa tokoh terkemuka Muslim, berlomba-lomba menyatakan sikapnya
bahwa Islam menolak segala bentuk tindakan teror sebab Islam tidak pernah
mengajarkan perilaku seperti itu. Kalaupun terdapat perilaku teror yang memiliki
identitas Muslim, teroris tersebut dianggap telah salah memahami ajaran Islam
dan sesat dalam menafsirkan kitab suci. Setiap tindakan teror diarahkan pada
kaum muslim juga akan dianggap sebagai upaya memecah belah kaum muslim dan
melemahkan nilai tawar Islam di dunia. Islam sebagai agama solutif yang
bersifat mutakhir akan dianggap gagal atau bahkan dianggap ‘biang’ dari
perilaku teror. Apapun alasannya, fenomena terorisme yang seperti ini akan
menguntungkan agama-agama lain.
Fenomena terorisme
yang selalu dikaitkan dengan motif agama sebagai direpresentasikan dalam
istilah ‘Jihad’, misalnya, seolah membenarkan tesis Samuel P. Hantington.
Hantington dalam karyanya Clash of
Civilization, mensinyalir bahwa perkembangan mutakhir sejarah umat
manusia ditandai oleh pertarungan peradaban berlatar belakang agama. Tafsir
setiap kelompok masyarakat terhadap agamanya akan menjadi motif utama
perilaku umat manusia dalam realitas hubungan intenasional. Tesis Hantington
tersebut, dengan demikian, tentu dapat dijadikan alasan pembenar atas setiap
tindakan teror sebagai fenemona yang berlatar belang motif agama.
Persoalannya kemudian
terletak pada tafsir kelompok penganut agama terhadap agamanya. Apabila
terdapat kelompok agama tertentu yang menganggap dan meyakini hanya hasil
tafsir meraka saja yang benar, maka sudah cukup bagi mereka untuk
mengkafirkan kelompok lainnya meskipun bernaung pada agama yang sama.
Sehingga, jika benar pula bahwa para teroris memang berasal dari kelompok
aliran agama tertentu, maka tuduhan salah atau sesat terhadap perbuatan teror
yang dilakukan pasti justru akan semakin memperkuat perbuatan teror tersebut.
Sebab, hukum alam telah membuat niscaya logika pikir manusia bahwa nilai
kebenaran selalu beriringan dengan kritik. Tidak ada segolongan manusia yang
berhak menilai salah sebuah hasil tafsir kitab suci. Apalagi, atas nama
agama, kita sama-sama yakin bahwa kebenaran yang mutlak hanya milik Tuhan.
Berdasarkan kenyataan
di atas, sesungguhnya tesis yang menyatakan bahwa terorisme terjadi dan berkembang
karena motif agama hanya merupakan pandangan yang bersifat permukaan. Agama
memang selalu mewarnai, tetapi hanya dalam posisi sebagai alat legitimasi sah
dan tidaknya sebuah tindakan. Atau paling tidak, jargon-jargon keagamaan
dibutuhkan untuk memudahkan rekruitmen dan mobilisasi calon pelaku teror.
Betapapun terkait dengan tafsir pada ajaran dan teks kitab suci, yang paling
tahu pasti hanya pimpinan kelompok atau kelas elit dalam kelompok tersebut.
Lalu, bagaimana seharusnya kita memandang fenomena terorisme? Tentu, ada
baiknya jika terlebih dahulu kita lihat apa yang tersisa dari agama.
Agama
dan Tradisi Kekerasan
Perkembangan agama apa
pun di dunia, secara empiris, pasti terikat dengan kekerasan. Sejarah
menunjukkan persoalan itu dengan sangat jelas. Penyebaran agama selalu
disertai kekerasan, terutama terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang
dianggap menolak kehadirannya. Penolakan ini, baik agama dianggap tidak perlu
atau karena masyarakat tersebut telah menganut agama lain. Islam, Kristen,
dan Yahudi, merupakan tiga agama utama dunia yang paling akrab dengan
kekerasan. Meskipun para pemuka agama masing-masing menolak kekerasan sebagai
bagian ajaran agama, bukti historis menunjukkan sebaliknya terutama saat
agama mulai disebarkan. Bahkan, Islam dan Kristen pernah saling
berhadap-hadapan dalam sebuah peperangan yang sangat dahsyat yang dikenal
dengan Perang Salib. Adapun tradisi kekerasan Yahudi dapat dilihat dalam
kasus pendirian Negara Israel dan perluasannya saat ini.
Potensi kekerasan yang
menjadi anak kandung agama dapat ditelusuri dari beberapa variabel. Pertama,
variabel ketuhanan. Masalah-masalah ketuhanan yang berkembang dalam tradisi
keagamaan sampai saat ini masih bersifat misteri. Apa saja yang dilekatkan
pada diri Tuhan seringkali menjadi bumerang bagi agama itu sendiri. Misalnya,
tentang kehendak Tuhan. Agama-agama besar di dunia memiliki doktrin utama
bahwa Tuhan akan selalu menghendaki yang baik-baik bagi manusia.
Pertanyaannya kemudian, lalu dari mana datangnya kejahatan dan penderitaan?
Sejenak akan terlintas dalam benak kita akan adanya aktor lain yang seimbang
dengan Tuhan pencipta kejahatan dan penderitaan.
Pertanyaan senada juga
bisa digunakan untuk membuat transparan status Tuhan yang disebut-sebut Maha
Kuasa. Kalau Tuhan memang kuasa, mengapa kejahatan dan penderitaan masih
berlangsung? Bukankah Tuhan sungguh kejam membiarkan makhluknya dalam kondisi
seperti itu? Terhadap pertanyaan ini, lahirnya anggapan bahwa Tuhan tidak
lagi Maha Kuasa tidak akan terelakkan. Lalu, apa yang tersisa dari
atribut-atribut ketuhanan di atas? Paling tidak, bagi para pembela agama,
untuk mempertahankan doktrin agamanya itu, mereka harus mengakui bahwa baik
dan buruk, kebahagiaan dan penderitaan, memang datang dari Tuhan.
Apabila eksistensi
Tuhan tidak tergantung pada anggapan makhluknya, khsusnya manusia, maka
atribut “Tuhan Maha Berkehendak” tidak selalu dapat diartikan bahwa Tuhan
selalu menghendaki yang baik dan kebahagiaan, tetapi mengizinkan kejahatan
dan penderitaan terus berlangsung juga merupakan makna dari atribut tersebut.
Begitu pula dengan penjelasan tentang “Tuhan itu Maha Kuasa”. Karena Tuhan
Maha Kuasa, maka segalanya terserah Tuhan. Namun demikian, beberapa kalangan
ahli retorik-konsepsional, biasanya menolak kejahatan dan penderitaan sebagai
realitas kongkrit-aktual dalam kehidupan. Bagi mereka, apa yang disebut jahat
dan derita hanyalah cara pandang saja. Kata mereka: “ yang disebut kejahatan
itu adalah tidak adanya yang disebut kebaikan, yang disebut kebaikan itu
adalah tidak adanya yang disebut kejahatan” seperti “yang disebut malam itu
adalah tidak adanya yang disebut siang, yang disebut siang itu adalah tidak
adanya yang disebut malam”.
Kedua, variabel
kenabian. Otoritas tertinggi dalam sejarah agama aktual di dunia adalah
kehadiran seorang nabi. Apa saja yang dikehendaki Tuhan bagi manusia, nabi
merupakan juru tafsir tertinggi atas kehendak itu. Persoalannya kemudian
adalah ketika era kenabian selesai. Sebagaimana masyarakat Muslim meyakini
bahwa era kenabian telah berakhir pada diri Muhammad bin Abdullah, Nabi
Muhammad SAW. Keyakinan seperti ini ternyata juga dikuatkan oleh Kitab Suci
Al-Qur’an, yang merupakan literatur tertinggi doktrin keagamaan umat Islam.
Konsekuensinya jelas, dalam rentang sejarah pasca berakhirnya era kenabian,
segala tindakan orang, tidak peduli asal dan jenis kelompoknya, yang mengaku
sebagai nabi pantas untuk dibunuh atau dihukum beserta pengikutnya.
Secara historis-filosofis,
fenomena ‘mengaku nabi’ sangat potensial memang akan mewarnai sejarah agama
seiring berkembangnya keyakinan dalam umat beragama bahwa salah satu tanda
datangnya hari akhir (kiamat) adalah lahirnya atau datangnya juru selamat.
Istilah “juru selamat” di sini merupakan reduksi konseptual dari “nabi”.
Sebab, sejarah membuktikan bahwa kehadiran seorang nabi selalu bermaksud
menyelamatkan manusia dari segala bentuk kebodohan, penindasan,
kesewenang-wenangan, dan lain sebagainya.
Kembali pada masalah
datangnya juru selamat. Layaknya gerombolan semut yang melihat gula,
keyakinan ini menciptakan daya tarik yang kuat bagi orang-orang tertentu
untuk mengaku diri sebagai nabi. Selain popularitas pribadi yang sangat
menjanjikan, sumber keuangan pun akan semakin mudah. Kenyataan itu tentunya
tidak terlepas dari gejala putus asa yang mulai menggerogoti batin manusia
atas penderitaan hidup sembari menunggu janji-janji agama akan datangnya Sang
Juru Selamat.
Kristen dan Yahudi, di
lain pihak, tidak memiliki doktrin yang tegas tentang akhir era kenabian.
Umat Kristen dan Yahudi cenderung menganggap pemimpin utama agamanya setara
dengan nabi. Masyarakat Kristen dan Yahudi, bahkan menolak eksistensi Nabi
Muhammad SAW sebagai nabi terakhir atau penutup. Meskipun secara historis,
sebagai sesama agama wahyu, Islam lahir lebih akhir dibandingkan keduanya.
Sepertinya, baik Kristen dan Yahudi, dalam masalah kenabian masih dalam
proses historis menuju akhir era kenabian. Namun demikian, sebagaimana dalam
tradisi Islam, kenyataan ini tidak akan menghapus potensi kekerasan terhadap
orang-orang yang mengaku nabi di luar lembaga tertinggi agama.
Ketiga, variabel
otoritas tafsir atas Kitab Suci. Dalam tradisi masyarakat Muslim, siapa saja
yang berhak menafsirkan maksud yang terkandung dalam kitab suci lebih
bersifat lunak. Orang-orang yang teruji secara keilmuan tertentu, yang
disepakati sebagai syarat menjadi ahli tafsir, berhak melakukan kegiatan
tafsir atas kitab suci. Hasilnya pun dapat menjadi panduan Umat Islam dalam menajalani
kehidupan sehari-hari. Empat Mazhab (Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hambali)
yang dikenal luas oleh Umat Islam adalah salah satu bukti nyata toleransi
kegiatan tafsir atas kitab suci. Sejenak kenyataan ini cukup menggembirakan.
Akan tetapi, ketika kita bertanya siapa yang berhak merumuskan syarat-syarat
untuk menjadi ahli tafsir, persoalan mulai menghantui. Respon yang bisa
diberikan, pastilah orang-orang tersebut memiliki jenis kekuasaan tertentu,
atau paling tidak, dilindungi oleh jenis kekuasaan tertentu.
Tradisi Kristen dan
Yahudi, di lain pihak, pemimpin agama memegang otoritas kebenaran mutlak akan
tafsir atas kitab suci. Artinya, pemimpin agama dan lembaga tertinggi agama
merupakan sumber doktrin agama yang mutlak. Kenyataan ini bukannya tanpa
perlawanan. Kemunculan Sekte Protestan dalam Kristen merupakan upaya
meruntuhkan hegemoni Paus dan Gereja. Atas nama agama, Paus dan Gereja, saat
itu kemudian menganggap Kaum Protestan telah kafir dan kekerasan pun tidak
dapat terelakkan. Sementara itu, perkembangan Yahudi juga tidak terlepas dari
friksi internal, khsusunya dalam kasus pendirian Negara Israel. Ide pendirian
Negara Israel sebagai negara bangsa Yahudi datang dari sekte zionis.
Sedangkan, kaum ortodoks yang menginginkan penyebaran ajaran Yahudi bersifat
kultural dan transnasional menolak pendirian negara.
Berdasarkan ketiga
variabel tersebut, sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa sejarah
agama sangat dekat dengan tradisi kekerasan yang selalu bersifat potensial.
Selain itu, latar belakang kondisi sosio-politik yang melatarbelakangi
kelahiran agama-agama membuat sejarah agama juga sangat dekat dengan
kekuasaan poitik. Bahkan, kekuasaan politik tertentu diperlukan untuk
melegitimasi keberadaan agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebaliknya, sejarah kekuasaan poltiik juga memerlukan agama sebagai instrumen
legitimasi. Persinggungan agama dengan kekuasaan politik inilah yang
menyebabkan tradisi kekerasan dalam sejarah agama sangat kuat.
Terorisme: Implikasi Basis Material
Teror-teror dengan
jargon agama sampai dengan tindakan bom bunuh diri tidak dapat dilepaskan
dari kecenderungan agama itu sendiri yang sangat menghargai pengorbanan
individual. Cerita-cerita yang tertera dalam literatur keagamaan seluruhnya
menggambarkan keberanian dan pengorbanan individual melawan rezim-rezim
‘dzalim’. Bahkan, di antara mereka rela berpisah dengan keluarga dan
orang-orang terdekat demi semua itu. Pengorbanan individual atas nama agama
menjadi ukuran kesalehan seseorang terhadap Tuhan. Doktrin yang demikian,
ternyata ditegaskan oleh suara Tuhan bahwa Tuhan sangat mengistimewakan
ketakwaan seseorang, bukan jabatan dan harta. Derajat ketakwaan dapat dicapai
oleh setiap orang karena memang menjadi urusan privat antara manusia dengan
Tuhannya. Apalagi, surga dan neraka dalam literatur keagamaan merupakan
imbalan individual bukan kolektif.
Tindakan perlawanan
terhadap rezim memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setiap
tindakan perlawanan tersebut memerlukan suatu kerangka ideologis, selain
sebagai alat legitimasi tindakan juga diperlukan untuk memobilisasi massa
supaya perlawanan yang dilakukan bertambah kuat. Di antara kerangka-kerangka
ideologis yang ada, salah satu yang paling populer adalah ajaran-jaran agama.
Tentu hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa masyarakat dunia adalah
mayoritas penganut agama.
Terorisme, apa pun
alasannya terkait dengan doktrin-doktrin tertentu ajaran agama. Tetapi,
keberadaan agama di sini bukanlah sebagai alasan utama (basis fenomena).
Agama diperlukan sebagai alat legitimasi atau alat pembenar tindakan. Apalagi
perkembangan terorisme teridentifikasi dalam konteks tindakan
kolektif-terorganisir. Dalam konteks seperti itu, kerangka ideologis yang
menggunakan ajaran dan jargon agama akan memudahkan mobilisasi massa untuk
menambah dan memperbesar kekuatan perlawanan. Sehingga kritik terhadap siapa
saja yang disebut teroris atau kelompok teroris dengan menyatakan bahwa
tindakan mereka bertentangan dengan ajaran agama, justru akan semakin
memperkuat terorisme. Agama sebagai representasi kumpulan kehendak Tuhan dan
hukum Tuhan, tidak tergantung pada apa yang ditafsirkan segolongan manusia
tertentu. Kehendak Tuhan yang tidak dapat diintervensi manusia dan hukum
Tuhan yang tidak sepenuhnya jelas dalam teks kitab suci serta penghargaan
Tuhan terhadap kesalehan individual lewat pengorbanan individual, memberikan
ruang bagi setiap orang untuk menafsirkan semua itu berdasarkan tafsir
masing-masing. Bukankah kelompok tertentu yang kita sebut teroris selama ini
juga menghukum kita sebagai kafir?
Coen Husain Pontoh
dalam tulisannya Terorisme Sebagai
Pukulan Mundur Bagi Politik Progresif, edisi 15 Januari 2016 menyatakan, “dalam sejarah politik dunia, hampir tak
ada bukti kuat dan meyakinkan yang menunjukkan bahwa sebuah aksi teroristik
bisa menjatuhkan pemerintah atau rezim yang berkuasa….. Justru yang berlaku
sebaliknya. Aksi-aksi teror ini membuat otot-otot rezim semakin kuat dan
semangat represifnya menjadi berlipat ganda.” Terkait dengan pernyataan
ini, kita bisa berdebat satu sama lain. Namun demikian, pernyataan tersebut
mengandung tiga konsekuensi logis dalam memandang perkembangan terorisme.
Pertama, perkembangan terorisme harus diletakkan dalam kerangka historis.
Kedua, aksi teroristik ternyata merupakan salah satu tindakan yang dipilih
manusia untuk mengekspresikan kekecewaannya terhadap rezim pemerintah.
Ketiga, setiap fenomena teror dapat menjadi legitamasi rezim untuk
memperbesar kekuatannya. Ketiga konsekuensi logis ini menegaskan bahwa
terorisme merupakan fenomena historis yang didalamnya terkait dengan realitas
sosio-politik. Kalau sudah seperti itu, lalu apa sebenarnya yang menjadi
alasan utama terorisme?
Perkembangan terorisme
sesungguhnya diakibatkan oleh basis material dalam wujud ketimpangan
material. Sekaligus, basis material inilah yang menjadi pemicu utama
terorisme yang saat ini telah menjadi fenomena global. Adapun tujuannya tentu
tidak lain hanya perebutan sektor material yang kemudian dikuatkan dengan
cita-cita pendirian asosiasi politik negara. Lagipula basis material tidak
berurusan dengan agama tertentu. Orang kaya dan miskin dapat dapat menjadi
penganut agama apapun.
Basis material
perkembangan terorisme bisa dibuktikan dengan dua fakta pendukung utama.
Pertama, sebagian besar pelaku teror berasal dari kalangan ekonomi menengah
ke bawah. Kelas sosial menengah ke bawah jelas merupakan sasaran mobilisasi
massa yang sangat potensial. Kesulitan ekonomi yang mereka hadapi, membuat
mereka mudah diorganisir untuk melakukan tindakan-tindakan teror tertentu,
apalagi ada imbalan finansial yang bisa mereka dapatkan untuk menopang
kebutuhan material. Kedua, beberapa kelompok teroris yang teridentifiksasi
ternyata memiliki sumber keuangan yang sangat besar. Kondisi ini sangat
penting untuk memudahkan kegiatan mobilisasi massa dan kebutuhan logistik.
Bahkan, fenomena terorisme telah membantu perusahaan-perusahaan pembuat
senjata untuk menguji kualitas senjata yang dihasilkan. Kalau sudah seperti
itu, masihkah kita akan menggunakan doktrin-doktrin untuk menghentikan
terorisme?
Bagi aparatur negara,
mungkin penggunaan doktrin-doktrin agama untuk melawan terorisme sangat
penting. Terlebih lagi bila yang menyampaikan doktrin-doktrin agama itu
adalah para pemuka dan tokoh-tokoh agama. Sebab, sebagaimana kelompok teroris
yang membutuhkan agama untuk melegitimasi tindakan teror, aparatur negara
juga membutuhkan agama untuk melawan kelompok-kelompok yang dianggap pelaku
teror. Konsekuensinya jelas, bukannya meminimalisir terorisme, yang terjadi
justru akan memperluas terorisme. Aparatur dengan kewenangan dan kapasitas
perang yang dimiliki dan ditopang oleh legalitas hukum serta dukungan para
pemuka dan tokoh-tokoh agama, dapat menjadi kelompok teror lain terhadap
warganya dan kemanusiaan secara umum.
Karena itu, perkembangan
terorisme, pada akhirnya, harus dilihat sebagai akibat kegagalan negara dalam
mewujudkan kesejahteraan material bagi warganya. Bukannya berupaya mewujudkan
tugas utama itu, rezim pemerintah sebagai representasi pelaksana negara
justru semakin memperbesar struktur kesenjangan sosial antara yang kaya dan
miskin. Pembangunan ekonomi hanya menguntungkan kelas kaya dan hasilnya pun
hanya dinikmati kalangan elit. Sementara itu, penderitaan kelas bawah semakin
parah. Kalau ini terus berlanjut, kita tidak dapat menyalahkan
kelompok-kelompok yang disebut teroris. Fenomena ini harus dibaca dalam
konteks gerakan protes-kritis sebagaimana gerakan-gerakan protes-kritis pada
umumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar